Empat Belas

76K 7.7K 104
                                    

Rania menyesap Cappucino pesannya yang masih mengepulkan asap. Duduk sendirian dalam cafe bukanlah pilihannya. Jujur saja ia membutuhkan kesendirian.

Ia hanya merasa penat.

Masalah kakak ipar dan abangnya Rajendra belum selesai, kini maminya pun ikut-ikutan menambahi masalahnya. Semakin keruh saja pikirannya.

Sekali lagi ia menyesap kopinya, merasakan rasa pahit yang menyapa lidah membuat Rania memeletkan indera perasanya.

"Udah tau nggak doyan kopi. Sok gaya-gayaan minum." Seloroh Rahman yang tiba-tiba duduk tepat di depan Rania.

Rania mendongak. Menatap langsung pada kelereng hitam Rahman.

Pria ini.

Ia tak merasa sedekat itu, hingga Rahman melontarkan ucapan yang terkesan sok kenal sok dekat.

Sebetulnya bukan sksd juga sih. Hanya saja ... Rania memang tak sedekat itu.

Pertemuan mereka bahkan bisa dihitung dengan jari.

Tapi ... ah, sudahlah. Tak ada salahnya jika bedekatan dengan sanak saudara. Meski tak ada hubungan darah secara langsung.

Pertemuan mereka tempo hari di rumah Eliya, sedikit banyak mengurangi kecanggungan yang berjarak diantara mereka. Ya, lumayan lah. Tak ada salahnya punya temen mengobrol.

"Sok tau deh, Mas Rahman." Rania memberengut, mencoba mengais rasa manis di indera pencecapnya.

"Kenapa nggak pesen cokelat aja? Udah tau pahit."

Rania sedikit terkejut dengan pertanyaan retoris Rahman. Tak menyangka, jika pria yang seumuran dengan Abangnya ini tahu kesukaannya. Ia hanya beberapa kali bertemu dalam keadaan berdua seperti ini.

Setahu Rania, ia bahkan tak pernah menunjukkan kesukaannya akan cokelat kepada Rahman. Jadi? Anggap saja pria ini sedang dalam mode sok tahu.

Rania mendengkus, seraya mengembalikan cangkir tersebut pada pasangannya. "Lagi pengen yang pahit, Mas."

"Cokelat lebih cocok buat kamu, Ran. Bisa balikin mood."

Lagi-lagi Rania mendengkus. "Siapa bilang moodku berantakan?"

Sedangkan laki-laki itu hanya mengendikkan bahunya, kemudian menyedot es kopinya lamat-lamat.

"Tumben sendirian?" tanya Rahman megembalikan gelasnya ke meja.

"Mas sendiri kenapa sendirian?" Rahman berdecak mendapatkan pertanyaan yang sama.

"Habis ketemu klien, males balik ke kantor."

"Mas gabung sama firma hukum mana?" Rania mencomot kentang gorengnya.

"Arie Edison." Jawab Rahman mengikuti jejak Rania mencomot kentang goreng berbentuk wedges dengan taburan bumbu keju di atasnya.

Rania hanya manggut-manggut, mencoba mengerti. Padahal ia sendiri tak paham hal-hal berbau hukum.

Rania asik mengunyah kentang gorengnya, hingga usapan lembut di ujung bibirnya menghentikan kegiatan yang ia kerjakan.

"Kamu tuh, jorok banget jadi cewek. Makan kok berantakan," celutuk Rahman yang menarik jempolnya, kemudian menghisap sisa mayonaise yang tertinggal di sana.

Rasanya jantung Rania anjlok ke dasar perut. Berkumpul bersama usus besar yang menyebabkan perutnya melilit.

Jangan lupakan kinerja jantungnya yang tiba-tiba berkejaran, seperti sedang lomba lari.

Ya Allah! Apa itu tadi?

Rania mendadak diam dan mengalihkan pandangannya keluar jendela cafe.

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Where stories live. Discover now