Epilog

41.4K 2.2K 268
                                    

Eliya menatap gundukan tanah basah yang baru saja ia siram dan ditaburi bunga setaman. Mengelus perlahan batu nisan Rayya, Eliya tidak kuasa menitikan air mata.

Ia sangat merindukan gadis kecilnya ini, Eliya masih ingin membersamai Rayya. Namun, sayangnya Tuhan berkehendak lain. Allah lebih sayang pada putrinya agak tak lagi merasakan kesakitan.

"Bunda kangen sama kamu, Nak. Sesekali muncullah dimimpi Bunda dan Ayah. Bantu Ayah untuk sembuh ya, Ayah pasti bahagia kalo kamu dateng dimimpinya." Mengusap lelehan air matanya, Eliya berdiri dari duduk jongkoknya.

Perutnya yang membesar jelas membuat gerak tubuh Eliya kesusahan. Menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, Eliya mencoba menapaki tanah becek yang menggenang sisa hujan semalam.

Enam bulan kepergian Rayya tidak pernah mudah bagi Eliya pun Rajendra. Keduanya sama-sama dilanda perasaan bersalah dan menyesal sekaligus.

Meski Eliya menerima kenyataan tentang perginya sang buah hati, bukan berarti dirinya baik-baik saja.

Ia sama hancurnya seperti Rajendra, hanya saja Eliya berusah tegar dan menerima kehendak yang sudah digariskan untuknya.

Jika boleh, Eliya masihlah ingin berkubang dalam kesedihan. Namun, sayangnya ia tidak boleh egois. Ada satu nyawa yang harus ia jaga.

Dalam satu waktu Eliya mendapatkan kepedihan sekaligus kebahagiaan, hanya euforia bahagianya terkikis hebat dengan berita kematian Rayya.

"Pelan-pelan, El."

Eliya tersenyum mendapati uluran tangan kekar yang lengan kemejanya tergulung sesiku. "Makasih, Mas."

"Kamu mau mengunjunginya lagi?" tanya suara bariton di sebelah Eliya kala menduduki kursi di sebelah kemudi.

"Hmm! Aku nggak mungkin diem aja, Mas. Ada tanggung jawab yang harus aku pikul di sana. Dia emang bersalah, tapi aku juga nggak bisa tutup mata gitu aja."

"Baiklah! Pakai sabuk pengamanmu," lanjut pria tadi kemudian menjalankan mobilnya keluar area pemakaman umum.

Hujan rintik-rintik kembali menerpa, saat mobil yang ditumpangi Eliya membela jalanan Ibu Kota.

Saat-saat seperti inilah yang membuat semua memori dalam kepala Eliya saling berkejaran, memuntahkan segala kenangan yang tersimpan.

Eliya tidak bisa memungkiri, jika kenangan itu menjadikan dirinya sangat sentimentil yang berujung isak tangis.

Semua berbaur, menjadikan Eliya tak berdaya jika sudah diterpa badai kenangan. Meluluh lantakkan tembok ketegaran yang selama ini dibangunnya.

Gerimis menyambut kedatangan Eliya ketika turun dari mobil. Mengedarkan pandangannya ke segala penjuru bangunan berlantai dua, Eliya sama sekali tak mengucapkan sepatah kata apapun.

Ia tidak pernah menyangka akan menginjakan kaki di tempat ini, bahkan tidak pernah ada dalam bayangannya sekalipun.

Sedikit ngeri memang, tapi Eliya tahu ia hari selalu datang ketempat ini. Baik sendirian atau ditemani. Awalnya Eliya sedikit parno tentang stigma tempat ini. Namun lambat laun ia terbiasa mendatanginya sendirian.

Berpamitan pada sang pria yang baik hati menjadi supirnya hari ini, Eliya melangkah ke dalam lobi dan menyapa gerombolan wanita berseragam khusus khas tempat ini.

Sama halnya Eliya yang terbiasa, para suster jaga yang berada di sana pun terbiasa dengan kehadiran Eliya yang selalu datang dua hari sekali untuk menjenguk pasien.

"Pasien ada di kamarnya, Bu. Mungkin sekarang lagi tidur, barusan minum obat kok."

"Makasih, ya, Sus."

Eliya tidak perlu lagi pengantar, ia tahu di mana letak kamar yang akan diturunkan.

Kembali ia mengembuskan napas panjang, Eliya susah bersiap diri memeganh grendel pintu kamar di depannya.

Membuka perlahan daun pintu, Eliya mengintip ke dalam kamar dengan melonggokan kepala. Benar saja, dia sudah tertidur pulas.

Melebarkan daun pintu, Eliya memasuki perlahan kamar berukuran 4x4 meter tersebut.

Mendekati ranjang pasien, Eliya bisa melihat pria berpakaian rumah sakit ini sedang tertidur.

Ragu, Eliya berusaha menyentuh kening sang pria dan berusaha merapikan anak rambut yang berantakan.

"Kamu harus sembuh, Jen. Jangan begini terus, ada dia yang butuh perhatianmu. Kamu harus menebus waktu yang terlewatkan saat Rayya hadir di tengah-tengah kita. Janji sama aku, kamu harus sembuh. Kami nungguin kamu pulang ke rumah."

Mengecup kening Rajendra dengan penuh perasaan, Eliya kemudian beranjak dari tempatnya dan keluar dari kamar tersebut.

Sebelum benar-benar menutup pintunya, sekali lagi Eliya menatap Rajendra yang tengah tertidur. Berdoa dalam hatinya kalau semua ini akan segara berlalu.

🌾🌾🌾🌾

Fix! Tamat. Jangan nagih epilog. Wkwkwkwkwkwk.

Ada yang nungguin gak nih? #plak #pede banget.

Cerita ini ada di platform  Hinovel, juga lho. Silakan baca di sana. Karena mulai malam ini saya akan menghapus sebagian ceritanya.

Terima kasih. Aku cinta kalian. #emot cipok basah#

Surabaya, 13 Maret 2021
-dean akhmad-

Chegaste ao fim dos capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Mar 13, 2021 ⏰

Adiciona esta história à tua Biblioteca para receberes notificações de novos capítulos!

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Onde as histórias ganham vida. Descobre agora