Empat

86.7K 9.1K 97
                                    

Eliya meletakkan segelas kopi yang baru selesai ia seduh, di atas meja kerja Manda. Sudah jadi rutinitasnya menyediakan kopi untuk si bos besar, atas dasar titah dan maha besar kekuasaan si CEO.

"Mau nitip apa, mbak Man? Saya mau keluar, sekalian beliin titipan yang lainnya." Tawar Eliya.

"Ehm ... apa, ya?" Manda mencoba berpikir, menu apa yang sekiranya cocok untuk hari ini.

Jujur saja, ia lagi tidak begitu mood baik keluar kantor hanya untuk makan siang.

Bertumpuk-tumpuk map sudah melambai manja, tepat berada di depan matanya. Dan itu sungguh menyilaukan.

Uuugh! Ini kerjaan sekertaris harus sebanyak ini ya? Rutuk Manda dalam hati. Ia takkan mau mengambil posisi ini, hanya karena iming-iming pengendutan rekeningnya. Sayangnya ia masih butuh gaji dari si bos besar

"Nasi padang ya, Mbak El." Putus Manda, yang kemudian mengangsurkan selembar uang lima puluh ribuan.

Satu jam kemudian, Eliya sudah kembali dengan sebungkus nasi padang pesanan Manda.

Eliya sedikit meringis dalam hati, melihat begitu fokusnya Manda pada pekerjaannya. Sedari tadi yang Eliya lihat, tumpukan map di atas meja Manda tak berkurang satupun.

"Aaargh ... bisa gilak aku." Rutuk Manda pelan. Tanpa ampun ia mengacak rambut yang sudah dicepolnya itu. Stress sedang menyambanginya.

"Kenapa sih, mbak Man?"

"Stres aku, Mbak. Dari tadi kerjaan gak kelar-kelar, sedangkan pak bos minta sore ini harus kelar. Astaga! Beneran gila aku, Mbak." Racau Manda, kembali membenturkan pelan keningnya di atas meja.

"Saya boleh liat gak, Mbak?"

"Liat aja deh, Mbak. Dijamin kepala langsung pening seketika. Bahan segitu banyaknya harus dirangkum buat materi rapat besok pagi. Alamat lembur aku."

Eliya meraih salah satu map dan membaca isinya. Ada senyum yang mengembang di bibirnya.

Delapan tahun yang lalu, Eliya pernah membaca bundelan kertas yang di dalam map seperti ini. Dulu, semasa menempuh bangku kuliah Eliya sesekali membantu ayah mertuanya—Jetro,Eliya membantu merangkumkan bundelan map tersebut, agar bisa menjadi materi rapat keesokan harinya. Dan itu berlangsung beberapa kali.

"Mbak Manda makan dulu gih, ntar lambungnya kasian, Mbak. Boleh saya coba bantuin?"

"Makasih ya, Mbak." Manda meraih bungkusan nasi padangnya dan berjalan menuju pantry khusus lantai teratas ini.

Sedangkan Eliya, mencoba melemaskan jermarinya sebelum menyentuh keybord komputer.

Ah, rasanya sudah lama sekali ia tak bercumbu dengan komputer beserta kawan-kawannya. Semenjak tragedi itu.

Manda membulatkan matanya tak percaya. Ia terkejut. Sungguh!

What the hell! Demi Dewa Neptunus dan seluruh penghuni alamnya. Ini seriusan?

Manda cuma pergi satu jam setengah, dan tumpukan map di atas mejanya langsung raib tak tersisa. Tergantikan dengan satu map berisi rangkuman materi rapat yang diminta pak bos.

Siapa sebenarnya Eliya, kenapa ia begitu lihai. Jangan-jangan dia nyamar lagi.

Astaga! Pikiranmu, Man.
.
.
.
Rajendra meraih map yang disodorkan oleh Manda tadi siang.

Ia tak menyangka bahwa Manda cepat juga menyelesaikan rangkuman tersebut, mengingat banyaknya tumpukan map yang ia berikan tadi pagi.

Jendra mulai membacanya, hingga beberapa kali kerutan dikeningnya semakin bertambah.

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang