Satu

224K 11.7K 179
                                    

"Mbak El ... bikinin kopi dong," pinta Manda dengan nada manja biasanya. "Aku mau ke toilet bentar, biar gak kelamaan si bos nungguinnya."

Belum sempat Eliya menjawab, gadis berparas ayu itu sudah pergi keluar pantry.

Eliya tersenyum simpul, namun tak menolak permintaan sang sekertaris bos tertinggi di kantornya.

Eliya menyukai aroma kopi, membuat pikirannya lebih jernih. Selain itu juga meredakan tingkat stress. Jika dulu seseorang begitu menyukai kopi buatannya, yang ia sediakan setiap pagi. Kini ia sendiri yang menyesap cairan hitam pekat tersebut.

Eliya merebus air di dalam sebuah teko khusus kopi, dengan mulut teko yang memanjang. Diambilnya alat penyeduh kopi manual berbentuk gelas kaca, dengan gelas kaca lain berbentuk kerucut dan memasangkannya terbalik.

Eliya membuka rak khusus di atas sebelah kiri, dan mengambil selembar kertas filter. Dan mencelupkannya dengan air panas yang ia sisihkan sedikit.

Eliya sedikit kaget, saat pertama kali melihat rak di pantry yang ternyata diisi dengan peralatan lengkap penyeduh kopi. Usut punya usut ternyata itu kepunyaan si bos besar, yang ternyata maniak kopi.

Dulu sekali. Eliya dengan senang hati menyuguhkan secangkir kopi di pagi hari, dan pria itu akan senang hati menyesap perlahan kopi buatannya, setelah menghirup aroma kopinya.

Dan kegiatannya saat ini kembali menyeretnya ke dalam ingatan delapan tahun lalu.

Eliya menipiskan bibirnya. Menuangkan air panas di atas tumpukan kopi yang sudah ia tata di atas filter basah. Setelah dipastikan air membasahi bubuk kopi, Eliya menunggu hingga air meresap sempurna, dan kembali menuangkan sisa air panas dengan arah memutar.

Dengan cekatan, Eliya memindahkan seduhan kopinya dan menambahkan sesendok gula pasir dan krimer.

Eliya tersenyum lebar melihat kopi hasil racikannya. Sempurna.

"Mbak El. Udah kelar, 'kan?" Kepala Manda menyembul dari balik pintu dengan cengiran khasnya.

"Udah kok."

"Mbak El bisa ya bikin kopi seribet itu? Kupikir cuma pak bos aja yang bisa bikin." Manda melirik seperangkat alat penyeduh kopi yang tergeletak tak berdaya di atas meja pantry.

"Dulu bikin kopi ribet itu, pernah jadi rutunitasku setiap pagi." Eliya berguman, tapi Manda masih bisa mendengarnya.

Merasa tak enak, Manda mengambil kopi dari tangan Eliya. "Makasih ya, Mbak, buat kopinya."

Eliya memandang punggung Manda yang menjauh. Wajahnya berubah sendu ketika menatap perlengkapan braw tersebut.

"Dulu ... ya, itu dulu."

Eliya menghembuskan napasnya, kemudian membongkar peralatan Hairo V60 dan mencucinya di wastafel.
.
.
.
Manda mengangsurkan cangkir kopi buatan Eliya, sedangkan pak bosnya hanya berdeham tanpa menoleh.

Manda menyilangkan jari tengah dengan telunjuk di belakang tubuhnya, berharap bahwa atasannya menyukai kopi tersebut.

Pria setelan Armani berwarna abu-abu tua itu melirik cangkir kopi berwarna merah, dan mengambilnya.

Sejenak ia menghirup aroma kopi yang terasa panas di genggamannya, dan menyesapnya pelan.

Sekali

Dua kali.

Tiga kali.

"Sempurna!" decak pria tersebut yang kembali menyesap kopinya hingga setengah cangkir.

"Kopinya enak, Pak?"

"Ya! Takarannya pas, dan rasanya sempurna."

Manda tersenyum semringah. Tidak salah ia meminta bantuan Eliya membuatkan kopi. Ternyata si bos besar meminumnya hingga separuh.

Tahu begitu tiap hari saja Manda meminta janda beranak satu itu membuatkan kopi untuk atasannya.

"Saya permisi dulu." Pamit Manda.

"Man ...."

Manda menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah atasannya. "Iya, Pak?"

"Saya tahu kopi ini bukan buatanmu." Manda menahan napasnya, "Bisa gak, kalo kopiku dibuat seperti ini lagi."

Hah!

Manda melongo. Unbelieveable! Bosnya bahkan tahu kopi itu bukan buatannya.

Wow ... sekarang ia tahu betapa maniaknya si bos ini dengan kopi. Hebat! Dan itu bukan isapan jempol belaka.

"Laksanakan, Pak!" ucap Manda langsung keluar dari ruangan.

Sedangkan si bos itu. Ia kembali mengambil cangkir kopinya dan menyesap perlahan, sembari menatap ke luar jendela.

Dipandangnya cangkir kopi tersebut yang berada di dalam rengkuhan kedua tangannya, membuat pikirannya menerawang.

Rasa kopi ini sama seperti dulu. Kopi yang selalu ia nikmati dipagi hari, di temani sepiring sandwich salmon asap, juga wanita yang ia cintai membuat harinya sangat sempurna.

Mereka sama-sama maniak kopi. Wanita itu bahkan sangat menyukai makanan yang mengandung kopi. Jika di rumah ia memiliki satu set lengkap alat pembuat kopi, maka ia pun menyediahkan juga di kantornya.

Ia penggila kopi, bahkan dikategorikan maniak kopi. Sama seperti wanita itu.

Wanita yang ia benci sekaligus ia cintai, membelengu dirinya dari dulu hingga sekarang. Membuat ia tak bisa berkutik dari kenyataan pahit yang menyertai kehadiran wanita itu.

Kembali ia menyesap kopi tersebut, menaruh kembali di atas lepek. Menyingkirkan bayangan sang mantan istri yang tiba-tiba merasuk di otaknya

Ia sudah menanamkan kebencian setengah mati pada wanita pengisi hari-harinya delapan tahun lalu, tapi ia tak bisa memungkiri bahwa ia juga merindukan kehadirannya. Meski seberapa keras ia menyangkal, kerinduannya menyelip di dada.

Ya ... ia harus membencinya, seperti yang ia lakukan sedari delapan tahun yang lalu. Sekarang pun ia harus bisa.

★★✩✩✩✩★★

Buahahahahahaha, ngakak dulu deh. Sumpah ya, akutu kerajingan banget posting cerita baru lagi, padahal satunya belum kelar.

/plak/ authornya gak konsisten. Dimaafkan 'kan? Di maafin dong.

Tenang aja, lapak Senja Itu Jingga tetep aku lanjutin kok.

Mohon vomennnya yak. Aku tunguuuuuuuu. 😘😘😘😘😘😘

Cipok basah 😘😘😘😘
-Dean Akhmad-
03-06-2018

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Where stories live. Discover now