Dua Puluh Tiga

85.5K 8.7K 265
                                    

Jendra tahu ada yang berubah dari Monik, tadinya yang cerewet menjadi lebih pendiam. Hingga mobil berhenti di garasi rumah, tak ada percakapan yang keluar dari mulut mereka bertiga.

Ia hanya sekali melihat sosok Wina Efendi, itupun hanya melalui selembar foto yang mereka ambil belasan tahun yang lalu. Dan untuk pertama kalinya ia bertemu langsung dengan sahabat orangtuanya.

Monik bahkan memilih masuk ke kamarnya langsung, dari pada basa-basi dengan Sarma. Ia seakan-akan melupakan keberadaan calon menantunya itu.

Tak ada gairah untuk membuka satu persatu papper bag yang ia taruh sembarang di lantai kamar, Monik memasuki kamar mandi dan membasuh wajahnya. Mencoba menghilangkan bayangan seringaian Wina tadi.

Mencengkeram pinggiran wastafel erat, Monik tak mampu lagi membendung perasaan campur aduk yang bergolak di dadanya.

Delapan tahun ia berusaha keluar dari masa kelam itu. Tapi kehadiran Wina serasa seperti kembali menariknya ke dalam pusaran kegelapan tak terhingga.

Napasnya tiba-tiba memburu, ada kilat amarah terpampang di sana. Ia tak ingin kembali ke masa itu. Tak pernah mau.
.
.
.
Tak mau menunda lagi, setelah mengantar Sarma pulang--dengan terpaksa. Rajendra mengemudikan mobilnya menuju panti asuhan.

Tak sabar rasanya ia ingin menemui Rayya, putrinya--yang  ia klaim secara sepihak. Ingin sekali Rajendra melihat raut wajah bahagia atas kejutan yang diberikan nanti.

Pengurus yang sering melihat kedatangan Rajendra hanya menunduk takzim. Setelah berbasa-basi dengan Bu Tya sebelumnya. Bergegas ia melangkahkan kaki menuju lapangan belakang.

Arlojinya sudah menunjukkan pukul lima petang. Sedikit cemas bahwa Rayya audah dijemput oleh bundanya atau tante sepulang kerja.

Rajendra mengedarkan pandangannya menyeluruh, memindai sosok gadis cilik yang menjadi tujuannya ia datang kemari.

Hingga netra cokelatnya memerangkap sosok Rayya tengah duduk manis dibawah pohon, bermain boneka bersama sesama gadis seumurannya.

Senyum tersungging diwajah Rajendra, melihat tawa bahagia Rayya saat bermain dengan teman sebayanya.

Meraba dadanya, dengan debaran jantung yang menggila bersamaan dengan perasaan hangat dan bahagia menjalar menjadi satu. Rajendra tahu bahwa perasaannya saat ini adalah nyata, dan ia menginginkan hal ini setiap hari.

Rajendra bisa membayangkan seberwarna menyelimuti hidupnya jika Rayya berada disampingnya, dengan tawa ceria selalu ada.

"Ayaaah!" Teriakan Rayya memecah lamunan Rajendra. Tanpa sadar menyunggingkan senyum semringah.

Menekuk lututnya, Rayya menubruk tubuh Rajendra penuh semangat.

Mengurai pelukannya, Rayya mendaratkan kecupan-kecupan kecil keseluruh wajah Rajendra hingga terkikik kegelian. Membuat lelaki itu terjengkang karena tak bisa menopang tumpuannya.

"Rayya kangen sama ayah. Kemana aja coba?" Masih dengan mengecupi wajah Rajendra.

Memilih duduk bersilah di atas rerumputan, Rajendra memangku tubuh kecil Rayya.

"Rayya kangen sama ayah. Kemana aja sih?" Ulang Rayya begitu Rajendra mengecup puncak kepala Rayya. Aroma matahari menguar melalui helaian rambut panjang Rayya.

"Rayya bau matahari!"

Rayya mencebik. "Daritadi kan maen sama anak-anak, Yah."

"Ayah punya kado buat Rayya." Rajendra menyodorkan kotak beludru berwarna biru.

Mata Rayya berbinar kala Rajendra membuka kotak tersebut. "Kalung!" pekik Rayya menoleh cepat yang diangguki oleh Jendra.

Rayya membelai liontin pipih, yang berhiaskan ukiran tulisan yang ia tak tahu bahasa apa. "Ai lov-e yu to t-teh mo-on a-n-d ba-ck." Eja Rayya terbata-bata. "Ah, susah!" gerutunya. "Ini apa tulisannya, Yah?"

Rajendra tersenyum simpul. "I love you to the moon and back." Rajendra membenarkan.

"Itu bahasa Inggris, 'kan? Apa artinya?" Rayya menelengkan kepalanya.

Disekolahnya ada pelajaran bahasa Inggris. Meski ia tak selancar Rajendra, tapi ia sedikit tahu bahwa yang diucapkan oleh lelaki yang sedang membelai rambut lepeknya adalah bahasa asing.

"Aku menyanyangimu sampai kapan pun."

Senyum tersungging di bibir Rayya, begitu mengetahui arti dari kata-kata yang terukir di atas lempengan bundar berwarna putih dengan ornamen bintang dan bulan sabit.

"Rayya juga sayang sama ayah." Kembali gadis cilik itu mendaratkan kecupannya di pipi Rajendra.

Rajendra terkekeh, mendapatkan kecupan dari Rayya. Diambilnya kalung tersebut dan memakaikannya pada gadis yang ia anggap sebagai putrinya.

Binar bahagia jelas tercetak di wajah manis Rayya, tak bosan-bosannya ia memandang dan mengelus liontinya.

"Yah, ini angka delapan, 'kan? Tapi kok nggak bunder?" Rayya kembali menoleh pada Rajendra atas jawabannya.

"Itu lambang infinity."

"Infinity?" Rayya membeo.

"Sekilas memang mirip angka delapan, tapi bentuknya lebih lonjong." Dielusnya liontin tersebut. "Yang artinya tak terhingga."

Rayya menelengkan kepalanya. "Jadi..., makna kalung ini..."

"Aku menyanyangimu kapanpun dan selamanya."

Rajendra terkekeh melihat senyum semringah Rayya, yang kembali memeluk erat lehernya.

"Rayya juga menyanyangi ayah sampai tak terhingga." Rayya mengecup pipi Rajendra kemudian berlari menyongsong teman-temannya yang sedang berlarian.

Ada rasa yang tak bisa Jendra jabarkan. Kejadian hari ini bersama Rayya, membuat dadanya di genangi oleh kebahagian yang membuncah secara tak kasat mata. Anehnya, justru Rajendra menyukainya.

Tanpa tahu, sosok wanita berhijab tengah memandang interaksi mereka. Berusaha keras menahan isakkan agar tak lolos dari mulutnya.

●○●○●○●○

Sori pendek, keluarga saya lagi kena musibah, karena budhe saya meninggal kemarin malem. Sebisa mungkin apdet. Maap kemaren2 masih hetic sama rumah-rumkit. Heheheheehe...

Sori, gak bisa ngetag.

Makasih yang udah nungguin.

Surabaya, 18-10-2018

-Dean Akhmad-

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang