15. Bara

4.7K 440 14
                                    

Kadang seseorang mempunyai alasan tertentu atas apa yang dia perbuat. Tapi apapun alasan itu jangan sampai menjauhkan kita dari-NYA.



Dhafin melihat Bara sudah duduk, sambil memegangi kepalanya, sedangkan kedua temannya masih terbaring.

Bara melihat Dhafin yang sedang berdiri. Kesadaran Bara perlahan kembali.
"Ngapain lo?" tanya Bara sinis.

"Lo yang ngapain? Udah mau ujian tapi masih mabuk-mabukan," cibir Dhafin.

"Maksud lo apa, ha?" Bara berdiri dari duduknya. Dia langsung mencengkram kerah baju Dhafin.

"Gue gak bermaksud apa-apa," jawab Dhafin santai. "Kenapa lo segitu niatnya mau buat Afifa menderita?" tanya Dhafin.

"Gue pengen aja, karena dia gampang dibodohi ... Gue juga belum pernah dapet apa-apa, dan karena lo deket sama dia."

"Jaga mulut lo! Gue gak deket sama dia!" tegas Dhafin. Bara masih setia mencengkram kerah bajunya.

"Gue pikir lo akan fokus jagain cewek bodoh itu, dan gak akan mikirin perusahaan, tapi ternyata perusahaan lo tambah maju."

"Gak ada hubungannya Afifa sama perusahaan, dia gak tau apa-apa!" tegas Dhafin.

Bara melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Dhafin. Entah kenapa dia terasa lemah.
"Tapi perusahaan Papa gue malah tambah ancur, kalah saing sama perusahaan Papa lo. Ditambah Mama sama Papa gue berantem terus di rumah. Hidup gue udah ancur, gak kayak hidup lo Fin," ucap Bara tenang tidak seemosi tadi.

"Perusahaan kalian ancur itu gara-gara kalian sendiri. Demi perusahaan kalian maju, lo sama Papa lo sampe rela ngelakuin hal itu. Lo merasa hidup lo paling ancur? Lo gak tau hidup gue yang udah sengaja kalian ancurin. Gue sendiri di rumah, tanpa Mama dan Papa gue."  Dhafin menghembuskan nafas kasar. "Apa yang buat orang tua lo berantem?" tanya Dhafin.

Bara memejamkan matanya sebentar, lalu membukanya kembali. Entah apa yang membuatnya ingin bercerita, mungkin dia sudah lelah memendamnya sendiri.
"Mama gue sering jalan sama cowok, parahnya lagi, cowoknya kebanyakan seumuran sama gue. Dia juga sering pulang malem. Wajarlah kalo Papa gue marah. Dari situ gue sekarang suka mainin cewek, karena gue merasa cewek sama aja, buktinya Mama gue aja kayak gitu," jelas Bara.

"Lo gak coba tanya Mama lo, kenapa dia sampe ngelakuin hal itu?" Lagi-lagi Dhafin membuang nafasnya kasar. "Semua pasti ada alesannya. Jangan bilang semua cewek sama kayak di pikiran lo. Itu belum tentu!" tegas Dhafin.

"Gue liat dia aja males. Makanya apa yang Papa gue suruh, gue selalu nurut, bahkan soal buat ngancurin perusahaan Papa lo ... Gue gak peduli, menurut gue cewek sama aja!"

"Coba lo tanya Mama lo. Buang dulu rasa benci saat ngeliat dia. Oke soal itu terserah lo," pasrah Dhafin.

"Mending gue minum bergalon-galon alkohol, daripada harus pusing dengan Mama gue yang gak pernah ngasih perhatian."

"Astaghfirullah ... Jadi alesan lo minum gara-gara, itu?"

"Iya kenapa?" tanya Bara. Tatapan matanya seperti menantang seorang Dhafin Ghifari.

"Lo salah Bar. Seharusnya lo bukan minum ... Itu hanya akan merusak diri lo sendiri!"

"Terus gue harus ngapain? Dengerin mereka ribut banting-banting barang?"

"Seharusnya lo pisahin mereka."

"Haha ... Gue, pisahin mereka? Lo tau gak gara-gara gue sempet mau misahin mereka, kepala gue malah kena piring terbang. Parahnya kepala gue yang udah berdarah, mereka malah saling menyalahkan." Sebelah sudut bibir Bara terangkat saat mengingat masa kelamnya.

CHANGE [END]Where stories live. Discover now