7. Bukan merapuhkan

5.4K 760 4
                                    

Allah memberikan cobaan yang berat, karena Allah tau kamu pasti bisa melewatinya. Bukan untuk merapuhkan mu, melainkan untuk menguatkan mu.

"Lo masih mau sama gue, di sini?" goda Dhafin.

"Gak Kak! Assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban, Afifa langsung berlari meninggalkan Dhafin.

"Waalaikumsalam." Dhafin tersenyum. Dia menatap Afifa yang tengah berlari seperti anak kecil.
"Lucu," lirihnya.

***

Malam ini Dhafin tidak lagi ditemani Raka dan Fabio, karena Bi Imah sudah kembali bekerja di rumahnya.

Setelah lama berkutat dengan laptopnya, Dhafin menatap buku bimbingan Sholat yang ada di antara dokumen-dokumem. Perlahan dia meraih buku itu. Dibukanya halaman pertama, kedua, ketiga, sampai pada halaman yang membahas tentang cara berwudhu. Dhafin dengan serius membaca doa setelah berwudhu, dengan mudah dia dapat menghafalnya. Dia beralih lagi ke halaman selanjutnya, yang membahas tentang tata cara Sholat dan bacaannya. Dhafin sudah tau tata cara Sholat, tapi bacaannya yang dia masih belum sempurna. Dhafin dengan mudanya menghafal bacaan-bacaannya, dia membacanya bukan lewat tulisan arab, melainkan membaca tulisan yang ada di bawahnya. Dia dianugerahi otak yang luar biasa. Dari kelas 10 sampai dia sudah menduduki kelas 12 sekarang, dia selalu mendapat juara umum se-Ips. Sifatnya seperti orang yang tidak peduli, tapi ternyata itu sama sekali tidak benar. Dia peduli hanya saja caranya sedikit berbeda dengan orang lain.

***

"Astaghfirullah! Kenapa jadi mikirin itu terus, sih? Gak boleh Afifa, gak boleh!" Sambil memukul-mukul bantal yang ada di pangkuannya.

Seharian ini dia teringat akan Dhafin. Benar-benar senyum Dhafin itu jahat sekali, kenapa juga Afifa harus melihatnya tadi. Afifa harus membuang jauh-jauh pikiran tidak penting itu, tapi kenapa dia semakin mengingatnya.

"Asem! Senyumnya biasa aja kok!" gerutu Afifa. Dia berguling-guling di tempat tidurnya, wajahnya ia tutup dengan bantal.
"Afifa gak seharusnya mikirin itu, Afifa sama sekali gak ada hak. Sadar Fa dia bukan mahram mu," lirihnya, sambil menghembuskan nafas pelan.

Afifa bangkit dari aktivitas guling-gulingnya. Dia meraih Al-Qur'an kecil yang ada di meja, di samping tempat tidurnya. Afifa memutuskan untuk melanjutkan hafalannya, daripada dia terus berfikiran yang tidak jelas, khawatir hal itu akan berlarut-larut meracuni otaknya.

***

Hari ini adalah hari pertama kegiatan ekskul menghafal Al-Qur'an.

Setelah pulang sekolah, Afifa, Alya, Rania, dan Keyla, kini sudah berada di dalam ruangan.

"Assalamualaikum," ucap Afifa serentak dengan ketiga temannya.

"Waalaikumsalam." serentak.

"Seperti yang Kakak bilang kemarin, hari ini kita mengadakan sesi perkenalan terlebih dahulu, kalo masih tersisa banyak waktu, kita bisa langsung masuk ke kegiatan," ucap Alya ramah.

"Mau nanya sama Kak Afifa." Sambil mengacungkan tangannya.
"Kak Afifa kenapa bisa membimbing di ekskul ini? padahal Kakak udah memberikan contoh yang tidak baik kemaren. Berantem dengan Kakak kelas, di mana rasa hormat Kakak?" tanya salah satunya.

Deeeg...
Apa-apaan ini, Afifa merasa tidak salah. Padahal jelas-jelas dia yang disiram, dijambaki, tapi kenapa malah dia yang dipojokkan seperti ini. Afifa memilih diam.

Ruangan riuh, bisikan-bisikan yang menyayat hati, dapat Afifa dengar. Rasanya dia ingin menangis, tapi dia mencoba menahannya.

"Mohon perhatiannya! Ini tempat kita belajar, bukan tempat ribut, apalagi mencibir orang," lerai Alya. Dia dapat merasakan sakitnya Afifa.
"Apalagi itu urusan yang di luar pembahasan kita, Kakak harap kita fokus aja untuk mulai kegiatan hari ini," sambung Alya.

CHANGE [END]Where stories live. Discover now