6. Sebelum Dia Pergi

Start from the beginning
                                    

"Kak..., sebenarnya, aku suka sama Kakak," katamu, gemetar dan pelan, tak berani melihat wajahnya.

Dan, jika ini film romantis, dia akan menunduk, menyejajarkan tingginya dengan tinggimu, menyentuh dagumu, mengangkatnya agar kau memandangnya.

Dia tersenyum lebar tanpa menjawab. Tetapi, dia mengelus rambutmu, dan itu menghangatkan hatimu.

Jika ini adalah film romantis, akan ada pelukan terakhir.

Namun, kenyataannya, kau masih berdiri di pojokan, terus memandangnya, berharap dia balik memandangnmu.

Seakan harapanmu terkabul, dia mengangkat muka dari ponselnya, melihat sekitar, dan menangkap tatapanmu.

Dia tersenyum. Napasmu tercekat.

Lalu, dia mengambil langkah, menuju dirimu, dengan senyum yang sama. Badai dan gempa terjadi bersamaan di dalam dadamu.

"Gimana, Dek? Siap jadi siswa kelas dua belas?" tanyanya, kalian hanya terpisah satu langkah, saling berhadapan.

"Si... siap, Kak," jawabmu. Kau ingin bertanya, tetapi tidak ada pertanyaan yang muncul, melainkan satu kalimat singkat, tiga kata, telah berada di ujung bibirmu.

Katakan, tidak, katakan, tidak...

"Semangat, ya. Jangan malas belajar. Aku pamit dulu," ujarnya, berbalik, memunggungimu, berjalan menjauh.

Katakan, tidak, katakan, tidak, katakan...

"Kak," panggilmu, untuk kali terakhir. Dia berbalik, dan lidahmu sudah kelu, lututmu amat lemas, telapak tanganmu basah oleh keringat dingin.

Katakan, tidak, katakan, tidak...

"Aku... umm, su..."

Kau menelan ludah, berusaha mengembuskan napas yang sedari tadi tertahan.

"Su... sukses selalu, ya, Kak. Mudah-mudahan cita-citanya tercapai," ucapmu, sedikit lebih keras, menguatkan diri untuk tersenyum lebar, menahan napas agar air mata tak jatuh.

Kakak kelas favoritmu tersenyum. Mungkin, ini senyum terakhir yang akan kau lihat.

"Makasih, ya, Dek. Kamu juga. Semoga cita-citanya tercapai."

Dan, dia pergi, begitu saja.

Teman-teman akan bilang kau bodoh.

Suara dalam kepalamu berkata kau akan menyesal selamanya.

Hatimu nelangsa.

Tetapi, aku tidak setuju.

Kau mengucapkan kalimat yang paling bijaksana dari seseorang yang sedang jatuh cinta. Kau bisa saja mengungkapkan cinta, namun akankah itu menjadikan segalanya lebih baik? Dia akan fokus mengejar mimpi-mimpinya di luar kota, apakah kau ingin dia terbebani oleh ungkapan cintamu padahal kalian akan berpisah?

Sungguh, tidak apa-apa, jangan menangis lagi.

Karena kau masih sangat muda hari ini. Perjalananmu masih sangat panjang. Seluruh kisah cinta yang terjadi hari ini hanya akan jadi kenangan di kemudian hari.

Dan, umm...

Sebenarnya, aku ingin mengakhiri bab ini seperti ini:

Karena kau masih sangat muda hari ini. Perjalananmu masih sangat panjang. Seluruh kisah cinta yang terjadi hari ini hanya akan jadi kenangan di kemudian hari. Dan, dia... mungkin jadi jodohmu di masa depan.

Tetapi, aku khawatir kau berharap lebih, terjebak dalam ekspektasi, tak bisa berhenti mengingatnya, maka aku hanya ingin bilang...

Kembali buka bukumu, belajarlah lebih giat, lakukan berbagai hal untuk menemukan hal yang kau sukai, dan kejar mimpimu. Masa-masa sekolah dan kuliah hanya berlangsung sekali seumur hidup.

Tak ada yang mau membersamai seorang pemalas yang mudah berputus asa.

See you on top! []

catatan penulis:

makasih banget kalian udah mau baca sampai di sini. ada yang pergi, ada yang datang, tapi kamu bertahan. thank you. :")

sebenarnya, ini masuk bab sepuluh di buku. jadi, sudah ada empat bab yang tidak kutaruh di sini. ada bab ketika usiamu delapan belas, cerita cinta paling sedih, jodoh yang sedang mendoakanmu, love & body shaming. bab-bab ini ekslusif di bukunya, ya.

btw, yes, judulnya udah keluar: jika kita tak pernah jatuh cinta. gimana kesanmu saat baca judulnya? apa yang kamu bayangkan? apakah kamu menyukainya?

untuk kaver, ini belum official. masih tunggu dari penerbit. ^_^

sampai jumpa di bab berikutnya, ya!

thankyou,

alvi

Jika Kita Tak Pernah Jatuh CintaWhere stories live. Discover now