Satu

5.5K 535 100
                                    

Gian agaknya harus berterima kasih pada sepupu katrok-nya yang tidak berhenti mual-mual sejak pesawat mereka lepas landas. Berkat mabuk perjalanan yang dialami Bayu, Gian menyadari kehadiran gadis cantik dengan rambut bob sebahu di kursi seberang, yang sedang menoleh ke arah mereka sembari mengernyit. Lelaki dewasa yang muntah di pesawat sepertinya menjadi pemandangan yang sedikit tak lazim bagi perempuan itu.

"Hoek, hoek."

Suara memalukan dari kursi sebelah, membuat Gian terpaksa mengembalikan fokusnya pada sang sepupu. Sebagian wajah Bayu tertutup kantung muntah. Wajah sepupunya pucat setelah memuntahkan cairan ludah yang bercampur asam lambung.

"Nih, minum dulu." Gian mengulurkan sebotol air mineral. Si gadis cantik sudah mengobrol lagi dengan kawannya.

Bayu menelan air dalam beberapa tegukan. "Bang, siapin ambulans buat jemput aku di bandara nanti. Aku perlu diinfus," ucap Bayu seraya bersandar lemas di kursinya. Dada pemuda itu naik turun, dengan irama napas yang terengah.

"Halah, lebay. Perlu aku siapin mobil jenazah sekalian?"

"Ya Allah, tega banget sama saudara."

"Salahmu sendiri. Tadi aku tawari minum Antimo, tapi kamu nggak mau. Nggak usah sok kuat, apalagi ini pengalaman terbang pertama."

Bayu bergidik. Baginya, meminum obat itu sama buruknya dengan muntah-muntah karena motion sickness. Gian tidak tahu bahwa Bayu tidak bisa menelan obat berbentuk tablet. Selain kedua orangtuanya, di dunia ini hanya satu orang yang mengetahui rahasianya itu. Seorang gadis yang masih sering muncul dalam pikirannya, tak peduli sekeras apa Bayu berusaha mengubur kenangan.

Seorang pramugari berseragam biru menghampiri baris tempat duduk Gian dan Bayu. "Ada yang bisa saya bantu, Mas? Kami ada obat anti mual."

"Nggak, nggak perlu, Mbak. Saya alergi obat anti mual," tolak Bayu cepat.

"Sejak kapan kamu alergi obat?" Dahi Gian mengernyit lantaran tak percaya. Sepanjang mengenal Bayu, ia tidak pernah mendengar kisah tentang alergi yang diderita pemuda itu. Kalau diingat-ingat lagi, Gian bahkan tidak pernah melihat Bayu minum obat apa pun.

"Sejak Negara Api mulai menyerang dan Avatar menghilang," jawab Bayu setengah bersungut.

Pramugari tersenyum mendengar jawaban Bayu. "Kopi atau teh hangat?" tawar wanita berseragam itu. "Beberapa penumpang merasa mual-mualnya mereda setelah minum minuman hangat."

"Kalau begitu, teh saja, Mbak." Pramugari mengangguk lalu kembali ke bagian belakang pesawat. Bayu menoleh cepat ke arah Gian. "Bang, kamu yang bayarin kan?"

"Astaghfirullah, nggak modal banget. Teh aja nggak mampu bayar." Gian baru tahu sepupunya ini pintar memanfaatkan situasi. Sudah untung diajak berlibur, tiket pesawat dan biaya hotel ditanggung, masih juga minta dibayari untuk jajan.

"Namanya juga fresh graduate. Dompetku nggak ada duitnya, isinya fotokopi KTP doang buat ngelamar pekerjaan," kilah Bayu seenaknya.

Telinga Gian menangkap suara kekeh lembut dari kursi di seberang. Saat ia menoleh, si gadis cantik tengah menutup mulut guna menyembunyikan tawa. Mungkin gadis itu mendengar percakapannya dengan Bayu dan merasa geli. Semoga saja perempuan itu tidak berpikir mereka adalah grup lawak yang akan mengadakan pertunjukan di Bali.

Gian tersenyum sopan demi menjaga citra. Gadis itu menurunkan tangannya dari mulut dan membalas senyum Gian. Senyum itu... ya Tuhan, manis sekali.

Bibir merah delima merekah lebar, memamerkan deretan gigi putih yang rapi. Tahi lalat di sudut bibir kiri, sukses mempermanis senyum itu sejuta kali lipat. Gian dibuat terpesona. Ia kini tahu bahwa ungkapan 'senyummu mengalihkan duniaku' itu benar adanya. Seluruh kegiatan di kabin pesawat, mengabur. Yang terlihat jelas dalam pandangan Gian hanyalah gadis itu.

Calon Istri Pilihan Hati Where stories live. Discover now