Dua Puluh Tujuh

1.8K 362 31
                                    

Sudah empat hari ini, ada sosok baru yang ikut mengisi kursi di sekeliling meja makan di kediaman keluarga Hanafi. Khusus bagi kedua orangtua Gian, kehadiran sosok tersebut setidaknya bisa menguraikan sedikit urat tegang yang tercipta antara mereka dengan sang putra sejak kepergian Adisti enam bulan yang lalu. Selama Bayu ada di rumah mereka, paling tidak, Niken bisa mendengar Gian tertawa lepas saat sedang bersenda gurau dengan sepupunya itu.

"Gimana wawancaranya, Bay? Pakdhe lupa tanya kemarin." Burhan membasahi tenggorokannya dengan dua teguk air sebelum mulai menyantap sarapan.

Bayu tengah menimbang hendak memilih nasi uduk atau roti gandum dan selai. Gian di sebelahnya sudah mulai mengoles selai pada selembar roti. "Lancar, Pakdhe. Feeling Bayu sih, Bayu bakal diterima," jawab pemuda itu kemudian seraya menyendok nasi uduk ke dalam piringnya.

"Menuh-menuhin Jogja aja kamu nih. Emangnya di Jakarta nggak ada lapangan pekerjaan buat kamu, sampai-sampai kamu terdampar di sini?" sindir Gian.

"Sinis banget. Padahal aslinya senang, aku balik ke Jogja."

"Nah, benar tuh. Nanti kalau kamu kerja di Jogja, tinggal di sini saja, Bay. Temani Gian. Kalau ada kamu kan dia jadi ada kesibukan." Niken bergabung dalam obrolan. Diperhatikannya mulut Gian yang membentuk segaris senyum tipis. Rasanya sudah lama sekali putra tunggalnya itu tidak tersenyum lebar. Semenjak hari itu....

"Jangan, Budhe. Nanti Budhe repot. Bayu kos aja."

Gian meletakkan pisau dan memilih menyantap rotinya langsung dengan tangan. "Memangnya Gian masih kurang sibuk, Ma? Sampai dikasih kerjaan jadi babysitter-nya Bayu."

Niken tersenyum kecut. Ia tahu kesibukan Gian meningkat dua kali lipat daripada enam bulan yang lalu. Lebih tepatnya, Gian sengaja mencari-cari kesibukan dengab terus menambah beban kerja. Bahkan pemuda itu kini bersedia ikut mengurus manajemen di toko mebel milik keluarga mereka.

"Kamu hari ini nggak jalan sama Nayla, Yan? Ini hari Minggu."

"Ya, nanti sore juga mau pergi sama dia. Mama senang, kan?"

Hati Niken mencelus. Ia mengerling suaminya yang sedang memandang wajah putra mereka lalu menggeleng.

Ya, sudah empat bulan ini Gian menurut untuk mencoba dekat dengan Nayla, tetapi Niken justru merasa kepatuhan Gian hanyalah sebuah cara lain menyuarakan protesnya.

"Setelah kerja nanti, kamu mau langsung nikah, Bay? Udah ada calonnya, kan?" Niken mengalihkan perhatian pada keponakannya. Dalam sekejab saja nasi uduk di piring Bayu sudah ludes. Pemuda itu punya nafsu makan yang sehat.

"Nggak deh, Budhe. Bayu nggak mau buru-buru."

"Justru menikah itu di usia muda, Bay. Tubuh masih bugar, subur."

Gian mendengkus keras. "Pantas pemerintah kesulitan mengendalikan pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Semua orang mikirnya kayak Mama. Banyak anak, banyak rezeki. Padahal negara-negara maju itu justru yang angka kelahiran bayinya terkontrol," sergahnya kasar.

"Memang begitu, kan. Setiap anak bawa rezeki masing-masing."

"Setiap makhluk hidup memang sudah punya jatah rezekinya masing-masing, Ma. Tapi anak itu berarti tanggung jawab. Mulut yang harus diberi makan, jiwa yang harus dicintai dan kepribadian yang harus dididik. Dan nggak semua pasangan dikaruniai anak, karena setiap rumah tangga sudah ada jatah rezekinya sendiri-sendiri."

Gian menyudahi makannya. "Ayo, Bay. Kamu ketinggalan kereta, baru tahu rasa." Meneguk sedikit air putih, Gian lalu meninggalkan meja makan.

Niken mendesah lelah, melihat punggung anaknya menghilang di balik pintu. "Gian sekarang jadi rada sinis sama Budhe ya," ujar wanita itu sendu.

Calon Istri Pilihan Hati Where stories live. Discover now