Tujuh

1.8K 359 20
                                    

Adisti berdiri mematung. Gian berdiri dan mengitari meja. Pria itu masih segagah dulu. Dengan setelan kerja berupa celana panjang hitam, kemeja abu-abu lengan panjang dan dasi, Gian menguarkan aura eksekutif muda yang memikat. Tampan, muda, dan sukses.

"Duduk, Dis. Kamu mau berdiri di situ sampai kapan?" ujar Gian sambil menarik kursi untuk Adisti.

Adisti tersentak dan melangkah kikuk menuju kursi di depan meja sang pemilik Prime English. Gian melepaskan pegangannya dari kursi setelah wanita itu duduk. Tata krama khas seorang gentleman yang membuat Adisti salah tingkah. Bagaimana sekarang? Apa Gian akan mencecarnya dengan pertanyaan tentang kencan mereka yang gagal setahun kemarin? Jika Gian melakukannya, sanggupkah Adisti berterus terang?

"Apa kabar, Dis?" Gian sudah kembali duduk di kursinya sendiri yang bersandaran tinggi dan berlapis kulit.

"Baik. Kamu, maksudku, Pak Gian---"

"Panggil Gian saja, seperti dulu," potong Gian.

Adisti menggeleng. Situasi mereka tidak lagi sama seperti dulu. Dulu, mereka setara, dua orang asing yang sama-sama saling tertarik. Sekarang Adisti adalah bawahan Gian, seseorang yang digaji dan harus siap melaksanakan semua perintah Gian.

Tiba-tiba satu pikiran buruk terlintas di benak Adisti. "Apa kamu menerimaku karena motivasi subjektif?" tuduhnya. Ah, ternyata memang sulit memanggil Gian dengan sebutan formal seperti 'Bapak'.

"Motivasi apa?" kejar Gian.

Adisti gelagapan mencari jawaban. Terlalu percaya diri jika ia sampai berani melontarkan tuduhan bahwa Gian menerimanya bekerja di sini agar bisa mendekatinya.

"Masa kamu meremehkan kemampuanmu sendiri,  Dis? Aku juga nggak mau menggaji karyawan yang nggak becus bekerja. Aku jamin kamu diterima karena kemampuanmu, bukan karena apa yang pernah terjadi di antara kita."

Adisti merasakan pipinya memanas, padahal udara dingin menyembur dari AC yang terpasang di dinding belakang kursi Gian.  Ucapan pria itu tentang apa yang pernah terjadi di antara mereka sontak membuat ingatan Adisti melayang pada kenangan ciuman mereka. Bagaimana mungkin ciuman yang sudah berlalu satu tahun, masih terasa segar di ingatan?

"Bisa kita langsung briefing?" pinta Adisti. Kursi yang ia duduki sudah selayaknya kursi panas. Sayangnya, ia bukan duduk untuk memperjuangkan hadiah senilai satu miliar rupiah, tetapi untuk bertanggung-jawab atas kesalahannya setahun yang lalu. Entah bagaimana, Adisti punya dugaan bahwa, cepat atau lambat, Gian pasti akan menuntut penjelasan atas peristiwa silam di Bali.

Gian mencermati penampilan Adisti. Gadis itu tidak berubah. Tahi lalat di bawah bibir, pulasan lipstik merah delima, rambut bob sebahu.  Semua hal tentang Adisti masih sama. Gian membuang napas, mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia harus bersikap profesional. Ini kantor dan Adisti adalah bawahannya.

"Ya. Tugasmu sebagai content creator adalah mengoptimalkan penggunaan medsos Prime English.  Untuk Instagram, aku ingin agar konten yang disajikan beragam, bukan hanya liputan kegiatan dan informasi program kursus."

Gian memutar laptop agar Adisti pun bisa melihat gambar yang ditampilkan di layar. Ia sudah mengambil banyak gambar tangkapan layar akun-akun Instagram yang menarik. "Kesan yang harus ditonjolkan: Prime English adalah tempat belajar bahasa Inggris yang menyenangkan dan kekinian."

"Noted. Aku minta satu hari untuk riset."

"Silakan. Kamu juga akan dipasrahi untuk mengurus web kita. Aku ingin tampilannya lebih trendi dan eye catching, mengingat sebagian besar program PE ditawarkan untuk kawula muda."

"Oke. Mungkin kita bisa membuat page khusus di website untuk dijadikan semacam blog."

"Kurasa itu ide yang bagus. Kamu bisa bekerja sama dengan Mas Bara di bagian IT."

"Ada lagi? Mungkin kamu ingin kita membuat channel YouTube?"

"Boleh. Zaman sekarang semua orang tidak bisa lepas dari YouTube. Kamu konsep dulu seperti apa kontennya, lalu kita diskusikan bersama." Gian membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah tas cangklong berwarna hitam. "Isinya laptop. Inventaris selama kamu bekerja di sini. Kalau perlu software yang berbayar, bilang saja. Akan kami usahakan."

Adisti menerima tas laptop tersebut. "Baik. Ada lagi? Bisa aku kembali ke ruanganku sekarang?"

"Sebenarnya ada satu hal lagi."

Adisti menunggu dengan resah, sebab Gian tak kunjung berkata-kata. Lelaki itu hanya memandangnya cukup lama. 

"Tolong jelaskan kenapa kamu nggak datang di kencan kita tahun lalu?" ucap Gian pada akhirnya.

Nah, dugaan Adisti terbukti benar. Gian tentu tidak akan melepaskannya dengan mudah.

"Something important happened," jawab Adisti singkat.

"Kamu bahkan mengabaikan semua panggilan teleponku. Dengan kata lain, menemuiku atau memberi kabar padaku bukan termasuk hal penting bagimu."

Adisti mengangkat bahu. "Ya, semacam itu. Aku tiba-tiba sadar bahwa menjalin hubungan dengan laki-laki tidak ada dalam agenda hidupku saat itu."

Senyum miring Gian terkesan mengejek. "Kesadaranmu sedikit terlambat, ya? Kita sudah telanjur berciuman."

Adisti berusaha keras memasang tampang acuh tak acuh. "It was just an ordinary kiss."

"Ordinary?" Gian mengangkat alis. Tak heran jika pria itu merasa sangsi. Ia masih ingat bagaimana bibir Adisti bergetar setelah mereka berciuman. Mereka berdua jelas terpengaruh oleh keintiman itu. Ciuman biasa? Omong kosong!

Adisti menarik napas panjang. Gadis itu memberanikan diri menatap mata lawan bicaranya. "Dengar, Yan. Aku tahu aku berhutang permintaan maaf karena meninggalkanmu tanpa kabar. Karena itu, aku minta maaf. Aku harap kamu bisa memaafkan sikapku yang bikin kamu kecewa. Sekarang aku ada di sini untuk bekerja. Rasanya sangat tidak nyaman, jika kamu sebagai atasanku masih menyimpan dendam masa lalu."

Gian mendengkus. Dendam? Jelas tidak, bukan dendam yang sedang ia rasakan sekarang. Penasaran? Mungkin, terlebih sedari tadi Adisti sama sekali tidak mengatakan alasannya secara gamblang. She's going around the bush. Kesan yang ditangkap Gian yakni Adisti tengah menyembunyikan sesuatu.

"Aku bukan cowok pendendam, Dis. Kamu boleh bernapas lega. Dan, ya, permintaan maafmu aku terima."

Adisti merasa satu beban di hatinya terangkat. Setidaknya hutang maafnya telah lunas. "So let's open up the new blank page for both of us," tawarnya.

"Tawaranmu memberi kesan seolah kita ini mantan pacar yang putus tidak dengan baik-baik."

"Kita bukan mantan."

"Lebih tepatnya, belum sempat jadian." Sorot mata Gian menantang Adisti untuk membantah. Ketertarikan di antara mereka saat berada di Bali begitu nyata. Hanya orang idiot yang akan menyangkalnya. Jika segala sesuatunya berjalan lancar, Gian yakin mereka sudah resmi berpacaran sepulang mereka dari Bali.

"Terserah apa katamu. Pokoknya aku ingin hubungan kita murni profesional. Sebagai atasan dan bawahan." Adisti mengingatkan diri sendiri, begitu ia keluar dari ruangan ini, ia harus berlatih memanggil Gian dengan sapaan Bapak atau Mister, seperti yang dilakukan karyawan PE lainnya. Jangan sampai pria itu melihat celah untuk kembali menjalin keintiman seperti dulu.

Adisti bangkit dari kursinya dan seolah ingin menegaskan tekadnya, ia pun berbicara dengan nada formal. "Saya pamit kembali ke ruangan, Pak. Terima kasih."

Gian memperhatikan gadis itu keluar dari ruang kerjanya. Embusan napas frustrasi lolos dari lubang hidungnya. Secara fisik Adisti sama sekali tidak berubah, tetapi secara mental, gadis yang baru saja resmi menjadi karyawannya itu jauh berbeda dengan gadis ceria yang Gian kenal di Bali.

Apa yang terjadi dalam satu tahun terakhir, hingga mampu mengenyahkan jiwa periang dari diri Adisti?

Calon Istri Pilihan Hati Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα