Dua Puluh Empat

1.6K 339 16
                                    

Pintu kamar Adisti tidak pernah ditutup lagi selama seharian Gian berada di sana. Sesekali pria itu masih meledek tentang kegilaan Adisti yang mengadakan 'pertunjukan striptis' di hadapannya.

"Dis, kamu suka bra hitam yang pakai aksesoris renda-renda? Bra yang tadi ada rendanya juga, kan? Atau kamu suka yang model begini?" tanya Gian seraya menyodorkan ponsel pintarnya yang menampilkan gambar satu set bra dan celana dalam dengan model tali-tali kecil yang tentunya lebih banyak menunjukkan alih-alih menutupi.

Kontan saja wajah Adisti memanas dan berubah merah seperti tomat. Jika digambarkan dalam versi kartun, pasti sudah ada asap keluar dari telinga kanan dan kirinya. Ternyata pengamatan Gian sangat jeli, hingga bisa melihat aksen renda pada mangkuk bra Adisti. Padahal renda tersebut berwarna hitam, sama seperti warna kain bahan bra.

"Gian! Kamu kok jadi mesum sih!"

"Kamu aja yang mikir enggak-enggak. Aku sedang cari item buat seserahan lamaran nanti," kelit Gian.

Dalam adat Jawa, pihak laki-laki yang melamar memang pantasnya membawa seserahan sebagai simbol kesanggupannya menghidupi si wanita setelah menikah nanti.

"Harus banget pakai pakaian dalam?"

"Harus dong. Menurut Google, pakaian dalam itu simbol kegiatan seksual suami istri, juga simbol rahasia rumah tangga akan senantiasa terjamin. Nah, ukuranmu berapa, Dis?"

"Yan, apaan sih. Aku nggak bakal kasih tahu kamu."

"Hmmm... tadi aku sempat lihat, sih,"  Gian memincingkan mata. "Tebakanku paling-paling 34B."

Bantal melayang tepat ke muka Gian. Lelaki itu tertawa. 

"Pokoknya aku mau langsung kasih ukuran ke Tante Niken aja," tukas Adisti.

Disebutnya nama ibu Gian membuat Adisti seketika menyadari satu fakta penting. "Yan, orangtuamu gimana?"

Gian berhenti tertawa. Raut wajahnya berubah serius. "Aku rasa sebaiknya kita nggak perlu memberitahu Mama atau Papa."

"Maksudmu, berbohong?"

"Bukan bohong. Cuma nggak bilang aja."

Adisti tidak merasa lebih baik. Dua tindakan itu seolah berbeda, tetapi hakikatnya tetap sama, yaitu tidak mengatakan kebenaran.

"Atau kita tunda mengatakannya sampai setelah kita menikah," usul lain dari Gian. "Setelah menikah nanti, kita nggak akan tinggal serumah dengan Mama dan Papa. Aku sudah berencana untuk beli rumah. Jadi, orangtuaku nggak akan tahu dan nggak akan mencurigai apa pun. Aku rasa itu pilihan yang terbaik, Dis."

Entahlah, Adisti tidak yakin. Apakah merahasiakan penyakitnya adalah pilihan yang terbaik? Adisti teringat keramahan Burhan dan Niken, akankah kelak kedua orangtua Gian berbalik membencinya karena telah menipu mereka?

***

Gian tinggal sampai sore hari ketika Miftah, ayah Adisti, pulang dari kantor. Setelah Miftah membersihkan diri dan menikmati kopi buatan Kartika, Gian meminta waktu untuk berbicara serius dengannya.

Di ruang tamu, dengan didampingi Adisti, dan hadir juga Kartika yang duduk di samping Miftah, Gian mengutarakan maksudnya mempersunting sang putri bungsu kedua suami istri itu. "Om, Tante, izinkan saya untuk meminang Adisti. Saya ingin memperistrinya. Saya janji akan menjaga Adisti dan membahagiakannya."

Miftah berperawakan tinggi, dengan kepala sedikit botak hingga jidatnya terkesan lebar. Wajahnya teduh, menandakan kebijaksanaan. "Apa Mas Gian yakin? Mas Gian sudah tahu kan risikonya?" selidiknya. Berbeda dengan sang istri yang memanggil Gian dengan sebutan Nak, Miftah lebih suka menggunakan Mas untuk menyebut pria kekasih Adisti itu.

"Saya yakin, Om. Saya sudah berpikir masak-masak."

Miftah bertukar pandang dengan Kartika. Sang istri memberi senyum penuh arti seraya menggenggam tangannya. "Om menerima niat baik Mas Gian. Om senang Adisti bisa dicintai oleh lelaki baik seperti Mas Gian."

Kini giliran Gian dan Adisti yang berpandangan dan mengulas senyum. Bau-bau pelaminan dan malam pertama sudah semakin jelas tercium.

Kartika memperhatikan gerakan tangan Adisti menyentuh cincin di jari manis. Kartika yakin sekali cincin itu tidak ada sebelumnya dan itu hanya berarti satu hal: Gian sudah melamar Adisti secara personal. "Nak Gian, apa orangtua Nak Gian sudah tahu tentang keputusan ini?" tanya Kartika.

"Mama justru sering sekali mendesak saya dan Adisti untuk menikah secepatnya." Jawabannya jujur, walaupun Gian tahu bukan itu perihal yang ingin diketahui Kartika.

"Mama Nak Gian sudah tahu tentang kondisi Adisti?" Kartika memperjelas pertanyaannya.

Gian menggeleng berat. "Saya pikir, sebaiknya kita tidak menceritakan tentang kondisi Adisti pada Mama dan Papa."

"Kenapa begitu?"

"Saya takut Mama dan Papa akan melarang jika tahu yang sebenarnya."

Helaan napas panjang Miftah terdengar sangat jelas, sebab semua orang mendadak memilih diam. "Jangan begitu, Mas. Pernikahan itu hal yang baik, sunah dalam agama kita, sebaiknya kedua keluarga saling terbuka, nggak menyembunyikan apa pun. Kondisi Adisti yang hanya memiliki satu indung telur bukanlah aib yang harus ditutup-tutupi."

"Tapi, Om, saya tidak berani mengambil risiko kehilangan Adisti."

"Lebih baik orangtua Nak Gian tahu sejak awal, supaya nggak jadi masalah di kemudian hari. Jangan sampai Pak Burhan dan Bu Niken pikir kami mengelabui mereka. Sepandai-pandainya kita menyimpan rahasia, suatu saat pasti akan terungkap juga," imbuh Kartika.

Gian terdiam. Ia tahu ucapan orangtua Adisti seratus persen benar. Akan tetapi, ada kalanya berkata jujur justru tidak membawa hasil yang baik.

Adisti yang sedari tadi hanya menyimak, kini ikut menimpali. "Bapak dan Ibu benar, Yan. Aku juga nggak ingin kalau orangtuaku nanti dituduh menyembunyikan kecacatanku."

"Dis, kamu nggak cacat!" tegas Gian. Telinganya sudah bosan mendengar segala ucapan merendahkan diri sendiri yang keluar dari lisan Adisti.

"Tapi aku juga nggak sempurna, Yan. Akui itu!" debat Adisti dengan nada suara meninggi. Sepenuhnya lupa bahwa mereka sedang berada di depan orangtuanya.

Sebelum Gian sempat membalas, Miftah berdeham keras. Sepasang kekasih itu menoleh dan kemudian menundukkan wajah.

"Sebaiknya, Mas Gian berterus terang pada orangtua lalu datang lagi ke sini untuk melamar Adisti secara resmi, bersama keluarga Mas Gian," putus Miftah dan Gian tahu ia tidak bisa membantah.

"Dan jangan pula Mas Gian berpikir untuk menikahi Adisti tanpa restu orangtua. Meskipun dari sudut pandang agama, laki-laki tidak memerlukan wali untuk menikah,  tapi pernikahan yang barokah adalah yang mendapat restu orangtua. Sebab, ridho Allah ada pada ridho orangtua. Kita sama-sama berdoa semoga jalan kalian berdua menuju pelaminan dimudahkan."

Saat Gian berpamitan pulang selepas makan malam, Adisti mengantar sampai ke pelataran parkir toko roti yang sudah tutup.

"Aku pulang, ya. Besok insyaallah ke sini lagi." Gian sudah duduk di balik roda kemudi dan menurunkan kaca jendela.

"Minggu depan aku udah masuk kerja. Kamu nggak perlu sering-sering ke sini lagi."

"Kalau masih perlu istirahat, bilang aja. Kamu kan calon istri bos, otomatis punya hak istimewa."

"Tindakanmu ini termasuk nepotisme, tahu nggak?" Adisti mencibir lalu terdiam. Hatinya masih resah. Apakah restu orangtua Gian akan mereka dapatkan?

Gian bisa membaca keresahan itu pada air muka kekasihnya. "Kamu nggak perlu cemas. Semua akan baik-baik saja. Aku pasti bisa meyakinkan Mama dan Papa."

Adisti mengangguk, tetapi ia tahu bahwa dirinya harus selalu siap dengan kemungkinan terburuk.



Calon Istri Pilihan Hati Where stories live. Discover now