Delapan

1.9K 363 29
                                    

Adisti sedang memberi efek lengkung dengan menggunakan shape tool pada gambar yang ia buat di program Corel Draw. Tiga hari yang lalu Gian mendadak memintanya membuat gambar maskot.

Adisti masih ingat perintah Gian dengan detail.

"Buat maskot yang lekat di benak khalayak, terutama kawula muda."

Hmm...endorse saja member BTS lalu buat gambar versi chibi-nya seolah mereka sedang belajar Bahasa Inggris. Dijamin cewek-cewek abg bakal melipir ke Prime English.

"Di setiap konten kita, maskot harus muncul. Bikin yang eye catching, Dis. Supaya mata orang-orang langsung melotot begitu lihat maskot kita."

Kalau begitu, pasang saja gambar biduan dangdut yang hits dengan goyang semangka. Dijamin cowok-cowok akan melotot.

"Maskot ini akan saya taruh di papan nama di depan kantor, juga di baliho-baliho promosi."

Perintah Gian sudah mirip dengan wejangan emak-emak. Tentu saja,
Ketika diberi perintah, Adisti hanya bisa mengiakan. Mana berani ia membantah. Paling mentok hanya menggerutu dalam hati. Sialnya, Gian hanya memberinya waktu seminggu. Ini bikin maskot, lho... bukan undangan rapat RT. Apa Gian pikir mengkonsep maskot itu mudah? sungut Adisti dalam hati.

Adisti telah membaca visi misi Prime English, mencoba membuat sketsa kasar maskot berupa kartun kamus tebal yang dipersonifikasi dengan memberi mata, mulut, tangan dan kaki, tetapi ia sendiri tidak puas dengan hasilnya. Kamus justru menampilkan kesan bahwa belajar bahasa Inggris itu merepotkan dan susah. Akhirnya, Adisti mengganti total idenya dengan karakter pelajar perempuan yang selalu membawa kaca pembesar. Desain maskot ini menyimbolkan siswa yang senantiasa didera rasa ingin tahu. Adisti menyesuaikannya dengan konsep konten Instagram yang ia usung.

"Ke kantin, yuk. Makan siang dulu, Dis."

Ajakan Anggun membuat Adisti mengangkat wajah dari layar laptop. Tak terasa sudah waktunya makan siang. Pantas saja perutnya sudah keroncongan. Jika sudah membuat desain gambar, ia memang sering lupa waktu.

Adisti mengangguk dan mematikan laptop. Setelah mengambil dompet, ia bergegas menyejajari langkah Anggun yang sudah keluar dari ruangan. Hari ini weekend pertama yang menggenapi hitungan satu minggu Adisti bekerja di sini dan untunglah selama seminggu ini ia tidak pernah bertemu Gian. Komunikasi di antara mereka terjalin melalui telepon atau chat.

Kantin cukup ramai saat jam makan siang. Masakan Bu Yanti enak dan yang terpenting bersih. Menunya pun berganti-ganti setiap harinya. Yang makan di sini kebanyakan para karyawan, sedangkan siswa sendiri jarang makan siang di sini karena kelas kursus paling awal baru dimulai pukul 14.00.

Anggun dan Adisti sedang melihat menu masakan yang disajikan di balik etalase kaca. Sayur bening bayam, ayam cabai hijau, tumis jagung muda, tahu bacem, menjadi pilihan hari ini. Adisti memesan nasi, tumis jagung muda, dan tahu. Sedangkan Anggun memesan sayur bayam dan ayam. Mereka bergegas menempati meja di dekat wastafel. Bersamaan ketika pesanan mereka diantarkan, kantin mendadak hening. Para karyawan memasang senyum seraya mengangguk, seolah ada pejabat yang datang berkunjung.

Memang benar ada pejabat yang datang. Pejabat internal Prime English. Entah sedang inspeksi kondisi kantin atau benar-benar sedang ingin merakyat, Gian memutuskan untuk makan siang di kantin.

"Tumben banget Mister Gian makan di kantin," bisik Anggun.

"Memangnya dia nggak pernah makan di sini?" tanya Adisti dengan nada suara berbisik pula.

"Bos besar? Ya enggaklah. Makanan yang diantar ke ruangannya. Masa kaum borjuis makan bareng kaum proletar kayak kita?"

Adisti tahu Gian pastilah kaya, tapi ia tidak pantas diasosiasikan dengan kaum borjuis yang berkonotasi dengan perilaku negatif, seperti senang menyiksa rakyat kecil, arogan, dan sebagainya. Saat di Bali dulu, Gian bahkan tidak ragu memberi uang lebih pada petugas parkir di Monkey Forest dan pemilik warung makan.

Seorang perempuan dengan setelan blazer dan celana panjang menyapa Gian dengan keceriaan yang berlebihan.

"Itu Miss Yuke. Teacher yang paling heboh kalau ketemu Mister Gian," bisik Anggun.

"Dia suka Gian---eh, Pak Gian?" Adisti ikut merendahkan suara.

"Bukan suka dalam arti cinta. Tapi lebih seperti fans aja. Tapi Miss Yuke mah ngefans sama semua cowok ganteng. Pernah ada siswa kelas English for Children yang blasteran bule. Itu pun Miss Yuke ngefans. Padahal tu bocah masih kelas 6 SD."

Adisti terkikik kecil. Ia menoleh dan pandangannya berserobok dengan Gian. Cepat-cepat ia menundukkan kepala, berlagak menikmati makanannya ketika dilihatnya Gian menyudahi obrolan dengan Yuke dan sedang mencari meja.

Ada satu meja di pojok yang kosong. Semoga saja Gian duduk di sana. Namun, mungkin Gian punya radar sebagai objek ghibah, ia bisa tahu siapa yang barusan menggunjingkannya. Pria itu berjalan menghampiri meja Adisti, membuat orang-orang di kantin tercengang.

"Boleh gabung?"

Suara Gian mengalun tepat dari sebelah Adisti. Hati Adisti mencelus. Demi bumi yang berputar pada porosnya, mengapa Gian memilih meja yang ia tempati bersama Anggun?

"Eh, Mister. Silakan." Anggun mempersilakan dengan sedikit salah tingkah. Mau menolak? Mana berani karyawan rendahan menolak bos?

Adisti dan Anggun duduk berhadapan, maka Gian dengan santainya menghenyakkan bokongnya di kursi sebelah Adisti. Ini cowok sengaja pengin digosipin, ya?

"Tumben makan di kantin, Mister?" tanya Anggun basa-basi.

"Pengin ganti suasana. Mungkin saya harus lebih sering makan di sini mulai Senin besok, supaya bisa lebih dekat dengan semua karyawan, termasuk karyawan baru."

Sial, Adisti nyaris menggigit lidah saking kagetnya. Matanya memelotot, bahkan Anggun tampaknya juga menangkap maksud tersirat dari ucapan Gian. Tadi itu kode, bukan, sih? Ah, whatever!

Gian tahu Adisti pasti menyadari maksud tersirat dari ucapannya, tapi Gian tak peduli. Ia dilanda rasa penasaran hebat pada gadis ini. Hatinya tergelitik ingin membuat Adisti tertawa lepas seperti dulu, ketika berada di alam lepas Bali yang indah.

"Dis, desain maskot yang saya minta sudah siap? Minggu depan presentasi di ruangan saya, ya."

"Iya, Pak. Sedang saya kerjakan. Tapi sepertinya saya butuh tambahan waktu, Pak."

"Boleh. Saya kasih waktu tambahan satu hari."

Pelit banget, ya Allah. Apalah artinya extra time satu hari?

"Kalau buntu ide, jalan-jalan ke luar, Dis. Sepedaan, jalan-jalan ke sawah, atau ngapain gitu."

Gian seolah-olah sedang memberi saran tetapi Adisti menangkap maksud di balik ucapan Gian. Pria itu sedang mengingatkannya pada kenangan mereka setahun yang lalu.

"Monggo pesanannya, Mister." Seorang pelayan kantin mengantarkan semangkuk mi instan rebus,  dengan telur dan tanpa sayuran.

"Nge-mi, Mister?"

Gian menoleh pada Adisti sebelum mulai menyendok suap pertama. "Saya punya kenangan makan mi instan dengan seseorang yang istimewa. Menurut dia, mantan mahasiswa yang kuliah di Jogja wajib hukumnya suka intel rebus alias Indomie rebus. Iya nggak, Dis?"

"Uhuk!" Adisti tersedak potongan tahu di mulut yang ia telan tanpa dikunyah terlebih dahulu.

Gian brengsek!

Calon Istri Pilihan Hati Where stories live. Discover now