Tiga Puluh

3.2K 387 61
                                    

"Bapak? Ibu?" Adisti bingung ketika diantarkan Gian menemui orangtuanya sendiri di sebuah rumah makan. Miftah dan Kartika menantinya sembari duduk di bangku taman.

"Kenapa ada di sini? Kenapa nggak langsung ke rumah Mbak Dini?" tanya Adisti. Saraf-saraf otaknya pasti sudah saling tumpang tindih, membelit di sana-sini seperti benang kusut, lantaran hal aneh yang terjadi bertubi-tubi. Kemunculan Gian, lalu cara tak lazim yang dipilih ayah ibunya untuk bertemu.

"Bapak dan Ibu sampai sini tadi malam. Nginap di hotel sama Mas Gian," terang Kartika.

"Kenapa menginap di hotel? Ini ada apa sebenarnya?" Adisti menoleh pada Gian. "Yan, apa maksudmu? Kamu maksa Bapak Ibu ke sini? Supaya bisa tahu aku di mana?"

"Dis, Nak Gian jangan dimarahin. Nggak baik galak-galak sama calon suami," tegur ibu Adisti.

"Calon suami?" Adisti kini berkacak pinggang pada Gian. "Kamu mau jadiin aku calon istri kedua setelah si Nayla-Nayla itu? Aku nggak sudi, Yan."

Kartika memandang putri bungsu dan calon menantunya bergantian.  "Calon istri kedua piye tho?"

"Bu, Gian sudah punya calon istri---"

"Kamu kalau cemburu jadi suka jump to the wrong conclusion ya," potong Gian. "Nayla itu anak temannya Mama. Dia lebih pilih kuliah S2 di Australia daripada nunggu aku yang nggak jelas karena masih ngarepin kamu."

Adisti melengos.

"Dis, duduk dulu yuk. Kita ngobrol di dalam." Kartika menuntun putrinya masuk ke dalam rumah makan. Pengunjung di waktu sarapan tidak sebanyak saat makan siang atau malam. Kartika mengarahkan Adisti pada satu meja besar yang ditempati seorang wanita.

"Tante Niken?"

Niken bangkit dari kursi dan menghambur memeluk Adisti. "Dis, maafin Tante ya," isaknya. Air mata membasahi pipi Niken.

Adisti diam, membiarkan Niken terisak lalu mengurai pelukan. "Kenapa Tante minta maaf?"

Miftah mempersilakan Niken untuk duduk kembali. Gian lalu duduk di sebelah ibunya, sedangkan Adisti duduk di seberang meja diapit kedua orangtuanya.

Niken menyusut air mata dengan sapu tangan. "Tante udah bertindak kejam sama kamu. Tante egois, sementara kamu bahkan rela mengorbankan perasaanmu buat Gian. Karena itu, tolong maafkan Tante."

Adisti bergeming. Sesungguhnya ia sangat memahami tindakan Niken yang memintanya menjauhi Gian. Kendati demikian, Adisti tidak akan sok suci dengan berkata bahwa hatinya sama sekali tidak terluka. Ia tetap merasa kecewa atas ketidakmampuan Niken berempati pada kondisinya, padahal mereka sama-sama perempuan.

Melihat Adisti tidak merespons permintaan maaf Niken, Miftah mulai bersuara. "Dis, beberapa hari yang lalu, Bu Niken dan suaminya datang ke rumah kita, bersama Mas Gian juga. Intinya, mereka melamar kamu untuk jadi istrinya Mas Gian."

Kejutan lagi. Oh, ada berapa banyak kejutan untuk Adisti hari ini?

"Melamar aku?"

"Tante dan Om sudah berpikir masak-masak, Dis. Kami hanya ingin hidup Gian bahagia dan kami percaya, bersamamu Gian akan bahagia," terang Niken.

"Tapi Tante bilang----"

"Maafkan Tante, Dis. Omongan Tante jahat banget ya..." Niken kembali terisak. Air mata yang jatuh meninggalkan jejak coreng hitam di bawah mata, karena maskara yang luntur. Gian menggenggam tangan ibunya.

Sungguh Adisti tidak tega melihat Niken menangis seperti ini. Rasanya berdosa sekali, hampir sama seperti menyakiti ibu kandung sendiri. "Tapi Tante benar. Saya nggak sempurna. Saya mungkin nggak bisa memberi cucu yang Tante impi-impikan."

Calon Istri Pilihan Hati Where stories live. Discover now