Enam Belas

1.6K 368 44
                                    

Adisti sungguh sudah kehabisan cara untuk menghentikan upaya Gian mendekatinya. Hari berikutnya, Adisti diberi izin tidak masuk kantor dan di sore hari, Gian mendadak muncul di toko roti milik keluarga Adisti dan  membeli semua kue yang masih ada di rak etalase. Gian berlagak bak CEO tampan yang sedang mengejar gadis perawan, khas novel platform. Telinga Adisti sampai pekak mendengar ibunya terus menyanjung-nyanjung Gian.

"Dis, bosmu dermawan banget. Tuh, kan. Ini hikmah di balik kecerewetan Ibu nyuruh kamu kerja kantoran. Punya bos ganteng plus murah hati itu rezeki yang belum tentu didapat orang lain."

Seminggu berikutnya, Gian tiba-tiba memesankan dua kotak Meat Monsta Pizza dari Pizza Hut untuk tim promotion and development. Dalih yang Gian gunakan, sebagai ucapan terima kasih atas kerja keras membangun branding Prime English yang baru.

Karyawan PE yang lain kontan membuat asumsi bahwa adanya Adisti di tim promotion and development yang membuat divisi itu mendapat perlakuan istimewa dari sang bos besar. Sialnya, Adisti tidak bisa berbuat apa-apa untuk meluruskan rumor tersebut, sebab ia pun memiliki pemikiran yang sama.

Mungkin, terdorong oleh rasa tak enak hati pada karyawan divisi lain, Gian pun tiba-tiba menyelenggarakan darma wisata gratis bagi seluruh karyawan dan teacher PE. Katanya, dalam rangka ulang tahun lembaga kursus bahasa Inggris tersebut. Entah benar atau tidak, tetapi yang jelas timing-nya memang bertepatan.

"Dis, sejak kamu kerja di sini, banyak hal baik terjadi. Mister Gian jadi dermawan. Walau pikniknya kurang jauh, tapi ora popo. Mugo-mugo, tahun depan kita wisata ke Bali atau Singapura." Si biang gosip, Anggun, mulai beraksi.

Adisti hanya mendengkus dan memilih membuang pandang ke luar jendela bus. Tampak Pajero putih Gian memasuki pelataran parkir gedung PE. Enaknya jadi bos itu boleh datang paling akhir dan tetap ditunggu dengan sukacita. Di saat semua orang sudah siap di bus, Gian malah baru datang.

Gian tampil santai dengan kacamata hitam, kaus V-neck dan celana jin. Logo centang hitam di sepatu abu-abu yang senada dengan kausnya, meneriakkan merek mahal original.

"Whoaaa... Mister Gian ganteng banget hari ini." Yuke, salah satu teacher, yang duduk di kursi tepat di belakang Adisti berseru kagum, tanpa malu-malu.

Memangnya kapan Gian pernah terlihat jelek? Adisti berani bertaruh, sekalipun Gian tidur ngorok dan ngiler, pasti tetap tampan.

Gian naik ke dalam bus, pandangannya menyapu seisi kabin kendaraan mencari tempat duduk yang masih kosong. Matanya sempat berserobok dengan netra Adisti, tetapi Adisti cepat-cepat mengalihkan tatapan. Beruntung Anggun sudah duduk di kursi sebelah. Kalau tidak, mungkin Gian tanpa ragu akan duduk di sana.

Namun, bukan Anggun namanya kalau tidak berulah. Gadis itu tiba-tiba berdiri dan memanggil Gian. "Duduk di sini saja, Mister. Saya pindah ke belakang," ucap Anggun lantang dan bisa didengar oleh seisi bus.

Adisti memelotot. "Nggun, apa-apaan sih?"

Semua orang kontan bersorak ciyee ciyee, bahkan ada yang bersiul. Riuh sekali. Sebagian besar berupa ucapan menyemangati Gian.

Bagai api unggun yang disiram minyak tanah, Gian pun merasa mendapat dukungan, semangatnya berkobar, dan tanpa berpikir dua kali, ia duduk di sebelah Adisti.

"Jadian. Jadian." Semua orang kompak menyerukan kata tersebut, membuat wajah Adisti merah padam dan ia pun memilih untuk kembali membuang pandang ke luar jendela. Sementara Gian tidak menunjukkan gestur canggung sama sekali.

Perjalanan ke Sindu Kusuma Edupark atau SKE tidak memakan waktu lama. Tidak sampai satu jam, semua karyawan dan teacher PE sudah berada di salah satu taman hiburan di DIY yang terkenal dengan bianglalanya yang ikonik: Cakra Manggilingan.

Begitu turun dari bus, Adisti langsung memisahkan diri dari Gian. Ia menggandeng Ratna dan Anggun,  mengajak mereka mengantre untuk naik Cakra Manggilingan. Orang Jogja boleh bangga karena ferish wheel setinggi 48 meter ini merupakan yang paling tinggi di Indonesia.

"Mister mau naik juga?" tanya Ratna pada Gian ketika mereka bertiga sudah berada di dalam kapsul bianglala.

Sial. Bagaimana bisa Adisti tidak menyadari kehadiran Gian yang ternyata ikut mengantre di belakang Ratna dan Anggun.

"Ya," jawab Gian singkat.

"Miss, kita naik yang berikutnya aja." Anggun tiba-tiba menarik tangan Ratna keluar dari kapsul. Dengan seenaknya gadis itu pun berkata pada petugas wahana yang menunggu. "Kapsul yang ini diisi mereka berdua saja, Mas."

"Makasih pengertiannya," ujar Gian santai sambil mengedipkan sebelah mata dan menghenyakkan diri di samping Adisti.

Apa? Bola mata Adisti sampai hampir lepas dari rongganya, saking tajamnya ia melotot. Jawaban Gian jelas mengkonfirmasi bahwa lelaki itu memang berniat untuk berduaan dengan Adisti. Adisti melengos dan memasang tampang cemberut saat dilihatnya Ratna dan Anggun justru cekikikan.

Pintu kapsul warna kuning itu ditutup. Perlahan-lahan kapsul tersebut bergerak ke atas. Adisti mencoba mengabaikan kehadiran Gian dengan melihat ke luar. Jika belum berada di titik puncak, paling-paling ia baru bisa memandang sekitar taman Sindu Kusuma Edupark saja.

"Piknik malah cemberut," komentar Gian. Kacamata hitamnya sudah dilepas dan digantungkan pada kerah V kausnya.

"Salah siapa coba?" ketus Adisti seraya menoleh. Berharap Gian melihat ekspresi marah di wajahnya. Namun, pandangan Adisti justru tertumbuk pada seraut wajah tampan milik pria itu.

Bisa nggak sih, Gian ini sehari aja tampil kucel dan jelek, biar nggak klepek-klepek gini rasanya?

"Si Cakra ini cuma muter selama enam menit, jadi waktu kita nggak banyak untuk benar-benar berduaan." Gian mengangkat sebelah alis, menggoda.

"Siapa juga yang mau berduaan sama kamu?"

"Kamu sekarang kok judes banget kalau sama aku."

"People change."

"Tapi di mataku kamu nggak berubah." Air muka Gian berubah serius.  "Kamu masih gadis yang sama, yang membuatku terpesona. Kamu masih Adisti yang sama yang ingin kupandangi setiap waktu, yang selalu ingin kukecup bibirnya."

Tangan kanan Gian menangkup sisi wajah Adisti. Kepalanya mendekat.

"Yan... Jangan." Oh, apakah itu penolakan? Suara Adisti begitu lemah dan bergetar, seolah gadis itu sendiri tidak yakin.

"Kesalahan besar kamu nggak mengganti warna lipstikmu, Dis," bisik Gian. Wajahnya nyaria tak berjarak dengan wajah Adisti.

Pertahanan Adisti pun runtuh ketika Gian mulai menyapukan bibir di atas bibirnya. Gian berlama-lama, menikmati setiap detik sentuhan bibir mereka. Lidahnya membelai, membuai Adisti hingga yang bisa dilakukan gadis itu hanya mengalungkan lengan di leher Gian dan meremas rambut lelaki itu saat ciuman mereka semakin dalam.

Saat kapsul yang mereka tumpangi berada di titik puncak, Adisti dan Gian justru tidak peduli pada hamparan pemandangan seantero SKE, atau pada wilayah sekitar yang hijau royo-royo, atau pada Kota Jogja dan gedung-gedungnya, atau juga pemandangan bukit-bukit di kejauhan dan puncak Gunung Merapi. Mereka terus saling mencecap rasa satu sama lain. Melupakan segalanya, hingga napas terengah dan perlahan ciuman mereka terlepas.

"Sepertinya kali ini, aku berhasil bikin lipstikmu berantakan." Suara Gian serak akibat hasrat.

Ibu jari Gian meraba bibir bawah Adisti yang terlihat sedikit membengkak. Lalu tangannya bergerak ke dada kiri Adisti, tepat di mana  jantungnya berada. Gian tidak butuh stetoskop untuk merasakan degup jantung Adisti yang bertalu tak keruan, sama seperti kondisi jantungnya sendiri sekarang.

"Be my woman, Dis. No more rejection."

Adisti terperangah. Dalih apa lagi yang bisa ia gunakan? Bahkan tubuhnya telah berkhianat dengan memberi Gian jawaban. Otaknya sudah kalah oleh perasaannya. Karena Adisti sendiri sudah lelah melawan. Mungkin Safira dan Hani benar, mungkin rasa insecure Adisti terlalu berlebihan dan tidak beralasan, mungkin saja ia benar-benar sudah sembuh.

Adisti meraih kembali tengkuk Gian. Sambil menyatukan lagi bibir mereka, Adisti membatin satu kemungkinan terakhir. Mungkin ia bisa berbahagia bersama Gian.

------

Yok follow aku, yok. Tinggal klik doang, kan?

Calon Istri Pilihan Hati Där berättelser lever. Upptäck nu