Epilog

4.7K 343 7
                                    

Beberapa bulan kemudian.

Gian mengetuk-ngetuk ujung marker ke meja. Aura seram menguar dari belakang punggungnya, membuat dua orang perempuan yang duduk di seberangnya mengkerut.

"Income dari blog belum nambah juga?" tanyanya pada Lastri, content creator baru pengganti Adisti.  "Udah tiga bulan, masa belum nyampe 100 dolar?" Gian menyorot tabel yang tertampang di layar proyektor LCD dengan infra red pointer.

" Biaya per klik iklan Google Adsense untuk blog Indonesia memang kecil, Mister. Banyak blogger yang baru bisa menghasilkan 100 dolar dalam setahun," kilah Lastri.

"Kamu jangan niru mereka, dong. Saya maunya 3-4 bulan kita bisa dapet 100 dolar."

"Kita bisa mengajukan pasang lebih banyak iklan ke Google Adsense, Mister," usul Anggun.

"Enggak. Jangan seperti itu. Saya nggak mau tampilan blog PE jadi penuh iklan. Di atas ada iklan, di tengah ada juga, nanti di bawah pun ada iklan lagi. Traffic pengunjung blog yang harus dikencengin. Bikin konten yang lebih menarik."

Gian lalu menggerakkan dagunya pada Anggun. "Kamu bantuin Lastri bikin konten, Nggun. Jangan cuma bisa bikin gosip," perintah Gian.

"Siap, Mister. Tapi gosip dari saya akurat, tho?" ujar Anggun tak tahu malu. Tentu saja ia mengacu pada gosip antara Gian dan Adisti yang bukan sekedar isapan jempol semata.

Gian menatap tajam pada Anggun, hingga gadis mantan rekan kerja Adisti itu salah tingkah. Pelototannya Gian itu super horor. Untunglah, gawai canggih milik Gian yang tergeletak di meja, berdering. Fokus sang bos besar pun beralih. Anggun dan Lastri terselamatkan.

"Ada apa, Ma?" tanya Gian tanpa mengucapkan halo pada si penelepon yang ternyata adalah mamanya.

"Yan, kamu dan Adisti kapan bisa ke Delmora.  Baju pengantin itu lama bikinnya. Kalau nggak ngukur sekarang, bisa-bisa pas hari H bajumu dan Adisti belum jadi. Mana baju yang harus dibikin kan banyak, untuk akad nikah, untuk resepsi, untuk acara pengajian, acara ngunduh mantu." Suara Niken melengking dari ponsel di telinga Gian. Tanpa mengaktifkan loud speaker saja, Gian yakin staf PE yang berada di dekatnya mampu mendengar suara Kanjeng Mama dengan jelas.

"Kenapa harus bikin sih, Ma? Kan bisa sewa aja."

"Nikah cuma sekali, masa mau pakai baju sewaan? Samaan gitu sama pengantin-pengantin lain? Ih, Mama sih ogah. Nggak sakral. Lagian kalau bikin itu jadi bisa disesuaikan dengan baju panitia yang lain."

Gian memijat pelipis. Memang tidak mungkin menang berdebat melawan ibunya, terutama jika menyangkut persiapan pernikahan. Padahal Gian adalah pihak mempelai pria, seharusnya ia lebih santai. Ini malah kebalikan. Pihak keluarga Adisti sebagai calon mempelai wanita justru lebih santai dan ikut saja apa yang dikendaki Niken.

"Iya deh. Terserah Mama. Minggu nanti Gian dan Adisti ke sana. Udah dulu, Gian lagi meeting sama staf."

Anggun dan Lastri kompak menyembunyikan tawa di balik telapak tangan yang menutupi mulut. Mister Gian, sang bos besar, ternyata tak berkutik menghadapi mamanya. Yah, di atas langit memang masih ada matahari.

"Kalian cepat pikirkan kontennya, ya. Apa ada yang ingin ditanyakan?" Gian menutup meeting.

"Nggak ada, Mister," jawab Anggun setelah lirik-lirikan dengan Lastri.

Calon Istri Pilihan Hati Onde as histórias ganham vida. Descobre agora