Sembilan Belas

1.5K 312 24
                                    

Simple Bakery  tidak pernah sepi di hari Minggu. Aneka pastry dan kue lezat dengan tampilan cantik kini menjadi pilihan buah tangan yang banyak diminati. Pelataran parkir toko roti milik keluarga Adisti penuh oleh kendaraan pembeli, hampir saja Pajero kepunyaan Gian tidak mendapatkan tempat parkir.

Mas Beno, sang juru parkir, sudah hapal betul dengan mobil Gian. Dengan cekatan, ia mencegah sebuah sedan yang hendak masuk ke pelataran dan mempersilakan mobil Gian menempati spot parkir itu.

"Bales kiri, Bos. Yaaa... kanan, lurus. Oke, sip!"

Gian turun dari mobil dan mengulurkan selembar sepuluh ribuan pada Mas Beno. "Makasih, Mas."

Beno tersenyum semringah menerima uang itu. "Pasti mau pacaran sama Mbak Adisti. Hari Minggu ya, Bos."

Gian hanya membalas dengan senyuman. Hubungannya dan Adisti sudah berjalan selama tiga bulan.  Sesuai dugaannya, mereka sangat cocok. Dengan cepat mereka saling mengenal kebiasaan masing-masing.

"Eh, Nak Gian. Ayo, masuk," sambut Kartika  seraya mendorong semacam lemari aluminium beroda yang berisi susunan cooling rack dengan bolu-bolu bulat di setiap kolomnya. Aroma manis gurih campuran tepung, telur, dan gula selepas dipanggang, tercium.

"Adisti ada, Tante?"

"Kalian mau pergi?"

"Iya, Tan. Mau cari hadiah ulang tahun buat Mama."

"Kalau begitu, Nak Gian masuk saja. Tunggu di dalam. Mungkin Adisti masih siap-siap."

Gian mengangguk dan melangkah ke pintu belakang bakery, ada sebuah koridor dengan ujung  bercabang. Sebelah kiri mengarah pada sebuah dapur luas tempat produksi roti, sedangkan sisi kanan menuju pada area rumah. Ada sebuah taman kecil dengan kolam ikan hias di depan teras, Gian melintas dan mengucapkan salam sambil melepas sepatu sebelum masuk ke ruang tamu.

Tidak ada sahutan apa pun dari dalam rumah, maka Gian mengirimkan chat pada Adisti, mengabarkan kedatangannya. Adisti muncul tak lama kemudian, berjalan pelan menuruni tangga.

Gadis itu cantik seperti biasa. Riasannya natural. Kardingan hijau lumut sepanjang lutut menutupi kaus putih gading di baliknya. Rok asimetris hitam membalut tubuh bagian bawah. Melihat Adisti yang seperti ini sungguh Gian tidak bisa membayangkan ada penyakit yang menghinggapi tubuh bugar itu.

Entah bagaimana, Gian berhasil menahan rasa penasarannya tentang kondisi Adisti, selama satu minggu ini. Namun, ia sudah bertekad untuk membuat Adisti berterus-terang hari ini dan hal itu hanya bisa dilakukan jika mereka berbicara berdua di tempat yang memberi privasi. Karena itulah, ia tetap menjalankan agenda mereka mencari hadiah untuk Niken. Setelah dari mall, Gian bisa mengajak Adisti makan di rumah makan yang tidak ramai pengunjung.

Namun, ada yang tidak beres dengan Adisti. Kekasihnya itu duduk bersandar di sudut antara pintu mobil dan kursi penumpang. Berkali-kali Adisti merapatkan kardigannya sambil mendekap perut, seolah sedang kedinginan.

"AC-nya terlalu dingin?" Tanpa menunggu jawaban Adisti, jemari Gian memencet tombol pengatur suhu AC dan menaikkan temperatur. "Wajahmu pucat. Sakit?" tanyanya lagi saat mobil berhenti di lampu merah dan ia punya kesempatan untuk mengamati air muka Adisti dengan seksama.

Adisti menggeleng. "Biasa, Yan. Bulanan. Hari pertama, sedang banyak-banyaknya dan sedang sakit-sakitnya."

"Kamu selalu sakit kalau sedang haid. Sebaiknya diperiksain, Dis. Seandainya ada penyakit kan bisa ditangani sejak dini."

Lampu lalu lintas berubah hijau. Gian menginjak pedal gas dan kembali melajukan Pajero-nya.

"Aku nggak apa-apa. Nyeri haid ini turunan dari Ibu. Katanya, dulu Ibu juga sakit kalau sedang mens dan baru hilang setelah melahirkan Mbak Andini."

Penjelasan itu cukup masuk akal. Gian pernah mendengar hal tersebut. Konon, pola haid atau tanda-tanda kehamilan bisa sama antara ibu dan anak. Akan tetapi, tetap saja, ada ketidakpuasan dalam hati Gian. Sebab ia tahu Adisti punya penyakit yang sedang berusaha disembunyikan.

"Untuk berjaga-jaga, Dis. Lebih baik dipastikan ke dokter, ya. Aku temani," bujuk Gian. "Demi kebaikanmu juga."

"Nggak perlu, Yan. Ini cuma nyeri haid biasa," tolak Adisti, kukuh. 

Gian mengembuskan napas. Mengapa Adisti begitu keras kepala? Apa nyeri haid ini berhubungan dengan penyakit sebenarnya yang sedang disembunyikan gadis itu?

Pikiran Gian semakin kusut, bahkan ketika mereka sudah berada di Galleria Mall. Adisti tampak memaksakan diri memilih sepatu yang akan dihadiahkan untuk Niken. Berkali-kali Gian mendapati Adisti menekan perut bagian bawah. Wajahnya pun semakin pucat.

"Dis, kita pulang aja. Kamu sedang nggak sehat."

"Tanggung, Yan. Udah sampai sini. Masa kita nggak beli apa-apa. Besok ulang tahun Tante Niken kan? Udah nggak ada waktu lagi untuk cari kado selain hari ini."

"Kado bisa menyusul, Dis. Mama pasti ngerti kalau aku bilang kamu sedang sakit."

"Jangan. Mamamu bakal kecewa kalau anak kesayangannya nggak kasih hadiah di hari ulang tahunnya."

Adisti menimbang antara sepatu pantofel putih bersol datar atau sandal tumit tinggi dengan aksen gliter yang berkilau. Pilihan Adisti jatuh pada sepatu pantofel putih. Wanita paruh baya seperti Niken pasti tersiksa dengan heels yang tinggi. Lagi pula, wanita seusia Niken tidak lagi terobsesi untuk tampil seksi di mata pria.

Adisti menyerahkan sepatu pilihannya pada pramusaji toko. Tangannya menyeka keringat yang membulir di kening. Oh, sial. Perutnya sakit sekali. Mengapa tadi ia lupa meminum paracetamol sebelum pergi?

Tangan Gian tiba-tiba menyentuh kening Adisti. Pria itu mengernyit tak suka dengan satu fakta yang baru ia sadari. "Kamu berkeringat dingin. Kita pulang sekarang. Jangan membantah lagi."

Gian bergegas membayar sepatu hadiah untuk ibunya. Lalu ia menggandeng tangan Adisti keluar dari toko. Adisti tertatih mengikuti langkah Gian. Kepalanya semakin pening, keringatnya semakin deras mengalir, dan rasa sakit di perut semakin menusuk. Gadis itu berhenti dan menarik lepas tangannya dari genggaman Gian.

"Yan, tunggu sebentar."

Adisti membungkuk, meremas perut. Rasanya sakit sekali. Saat kembali menegakkan tubuh, pandangannya mengabur, lututnya mendadak gemetar dan tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Tubuh Adisti terhuyung dan ambruk, kemudian semuanya gelap.

-----------



Calon Istri Pilihan Hati Where stories live. Discover now