Dua Puluh

61.3K 5.4K 177
                                    

Raka duduk termenung di depan meja komputer. Nama itu ternyata masih mengganggunya sampai detik ini. Allah seakan tengah menguji hatinya dengan kedatangan Mahira ke rumah untuk mengajari Vania belajar iqra. Laki-laki itu seperti dihadapkan pada ujian yang sulit. Perasaannya benar-benar diuji ketika seseorang dari masa lalu itu menjadi guru iqra bagi istrinya.

Ingatan Raka tiba-tiba berkelindan ke masa dua tahun lalu. Mahira yang mulanya terlihat biasa saja—seperti halnya teman-teman perempuan se-jurusan Agrobisnis lainnya—entah mengapa sejak saat itu menjadi tampak lain di mata Raka.

Sore itu, jalanan kampus terlihat sepi. Awan hitam menggantung menyembuyikan matahari yang sudah bergeser menuju kaki langit. Tak ada sinar jingga yang ditorehkan. Hanya cahaya dari lampu-lampu jalan yang mulai dinyalakan. Jam baru menunjukkan pukul 5 sore. Namun, hari itu seolah disulap seperti waktu  mendekati Maghrib.

Motor ninja Raka melaju dengan kecepatan sedang. Laki-laki itu memelankan lajunya saat dari arah berlawanan, seorang gadis berkerudung merah muda yang berukuran lebar tengah menuntun motor butut dengan sempoyongan.

Mata Raka menyipit ketika dia tahu gadis itu adalah teman satu jurusannya. Raka sekadar tahu karena mereka satu kelompok praktikum. Dia tidak mengenalnya lebih jauh selain nama gadis itu.

Raka menoleh ke belakang. Setelah dilihatnya kosong, dia membelokkan motor. Gadis itu berhenti menuntun bebek bututnya ketika tahu ada seseorang yang memarkir ninja hijau di depannya.

"Motornya kenapa?" tanya Raka saat sudah berada di dekat Mahira, nama gadis itu.

Gadis dengan tinggi 160 cm itu mendadak kikuk. Mahira tak biasa berhadapan dengan laki-laki yang jaraknya sedekat ini. Dia tahu laki-laki itu merupakan salah satu temannya di jurusan yang sama. Hanya sebatas itu. Meski tergabung dalam satu kelompok praktikum, dia juga tidak tahu siapa nama laki-laki itu.

"Ku-kurang tahu. Tadi ... pas di depan kantor pos tiba-tiba motornya mogok. Saya coba menghidupkan berkali-kali, tapi tetap saja nggak bisa," jawab Mahira sedikit gugup dengan menundukkan pandangan.

Raka menatap Mahira sejenak. Disingsingkannya lengan kemeja kotak-kotak warna hitam itu hingga ke siku. "Coba saya cek dulu."

Mahira menggeser standart ke bawah. Lalu dia berjalan mundur, sedikit menjauhi Raka.

"Memangnya kamu mau nuntun motor sampai ke mana? Bengkel jam segini sudah tutup semua," ujar Raka sembari berjongkok memeriksa bagian busi.

"Saya berniat menitipkan motor ke kos teman saya di depan kampus. Kalau mau balik lagi ke kos teman saya yang ada di belakang kampus, jaraknya malah lebih jauh," terang Mahira yang sudah tidak segugup tadi.

“Bukannya bisa telepon teman untuk jemput di sini? Nggak perlu sampai repot nuntun motor sejauh itu, kan?" timpal Raka sembari membersihkan busi lalu meniup-niupnya.

"Saya nggak mau merepotkan teman saya. Lagi pula agak repot juga kalau naik motor yang macet sambil ditarik motor lain. Bagi kami, itu terlalu menyulitkan. Nggak seperti para lelaki yang bisa melakukan itu.”

Raka terkekeh lirih. "Padahal motornya bisa dititipin pas masih di kantor pos tadi. Besok tinggal telepon bengkel buat benahin motor. Beres, kan?"

Mahira menelan ludahnya. Kenapa dia tidak berpikir seperti itu tadi? Lagipula jika motornya ditinggal, sudah pasti tidak akan ada orang yang mau mencurinya. Selain macet, motor itu juga sudah butut.

Setitik air dari atas mulai menetes.  Tetesan-tetesan kecil itu semakin banyak. Mahira segera membuka tas ransel untuk mengambil payung lipat. Meski baru gerimis, dia tidak mau laki-laki baik hati yang telah membantunya itu sedikit kebasahan.

Raka yang tengah memasang kembali busi, sontak terpaku saat disadari ada sesuatu yang menaungi di atasnya. Pelan-pelan kepala laki-laki itu mendongak. Dua pasang mata itu bersirobok. Hanya beberapa detik karena Mahira cepat-cepat memutus pandangan dengan membuangnya ke arah lain.

Raka tersenyum tipis. Dia menepuk-nepuk telapak tangan, lalu mengangkat tubuh tingginya menjadi tegak berdiri. Sejurus kemudian, dia menaiki motor. Kedua tangannya memegang setang dengan jempol menekan tombol starter. Tidak menyala.

"Starter-nya sudah mati," jelas Mahira.
"Oh?" ucap Raka yang sedikit menoleh ke arah Mahira.

Raka akhirnya menggunakan manual starter untuk menyalakan motor. Satu hentakan, motor belum mau hidup. Dua kali hentakan, hampir hidup, lalu mati lagi.

"Motornya jarang diservis, ya?" tanya Raka yang masih berusaha menyalakan motor melalui kick starter.

"Kurang tahu. Itu motor punya mbak yang biasa bantu Ibu bikin kue. Motor saya lagi diservisin sama Bapak," ungkap Mahira.

Raka hanya mengangguk kecil. Kaki kanannya menghentak engkol sekali lagi. Suara deru motor terdengar. Tangan kanan Raka segera menarik persneling. Motor menderu semakin kencang.

"Alhamdulillah ...,” ucap Mahira secara spontan.

Raka menoleh. Laki-laki itu tersenyum hangat. Dia segera berdiri. Sembari masih memegang persneling agar mesin tetap hidup, Raka menggeser tubuhnya dari motor bebek itu.

"Sudah menyala. Buruan dinaiki!" pinta Raka kemudian.

Tangan kiri Raka sigap memegang gagang payung di atas tangan Mahira. Gadis itu sontak tertegun.

"Biar payungnya saya bawa. Kamu naik saja dulu."

Mahira gugup. Dia menaiki motornya, lalu mengambil alih pegangan persneling tanpa bersentuhan dengan Raka.

"Kamu nggak bawa mantel?" tanya Raka yang baru disadarinya jika Mahira akan nekat menaiki motor tanpa mengenakan mantel.

Gerimis belum mereda. Tidak deras. Namun, cukup membuat gamis dan kerudung yang dikenakan gadis itu menjadi sedikit basah jika terus terkena air gerimis.

"Nggak usah dulu. Karena saya nanti masih mampir ke kos teman," terang Mahira.

Raka mengangguk paham. "Ya, sudah. Hati-hati!"

"Terima kasih banyak atas bantuannya."

"Hm."

Motor Mahira melaju lambat. Kecepatannya semakin ditambah. Iris hitam Raka terus mengikuti hingga bayangan Mahira menghilang di kelokan jalan kampus. Kedua sudut bibir laki-laki itu terangkat. Beberapa detik kemudian, dia tercenung saat menyadari payung Mahira masih dibawa olehnya. Dia menggeleng geli. Senyumnya merekah lagi. Mengetahui fakta jika dia masih punya alasan untuk menemui Mahira membuat hatinya menghangat.

Suara ponsel yang bergetar membuyarkan lamunan Raka. Desahan pelan keluar dari mulutnya seolah menyesali kenapa dia sampai mengingat bayangan itu lagi.

Setelah terdiam sebentar, diraihnya benda pipih yang tergeletak di atas meja komputer itu. Ada satu pesan yang masuk. Laki-laki itu mendengus pelan saat tahu pesan tersebut berasal dari operator seluler.

Raka tepekur menatap layar ponsel yang masih menyala. Sebagai laki-laki yang sudah menikah, dia harus mengenyahkan nama itu dari hatinya. Bagaimanapun, sudah ada Vania yang menjadi istrinya. Sebisa mungkin dia harus menjaga hati untuk seseorang yang sudah menjadi tanggung jawabnya, bukan?

Dia menarik napas dalam, lalu mengembuskan panjang. Ibu jarinya kini menggeser layar. Lagi dan lagi. Kemudian, meng-klik aplikasi yang belakangan ini menjadi favoritnya. Dia akan menyunggingkan senyum saat membaca caption yang ditulis satu-satunya pemilik akun IG yang diikutinya.

Kening Raka mengernyit saat dia mendapati foto buku iqra yang tengah dibuka dengan latar belakang atap gedung rektorat dan auditorium yang diapit rerimbunan daun angsana.

vaniaaurelia Belajar iqra di usiamu yang ke-18 tahun itu emang rada malu-maluin. Tapi, nggak ada kata terlambat untuk belajar.

Senyum Raka tersungging lebar. Beberapa waktu ini, entah mengapa Vaniahanya mengunggah foto tanpa memperlihatkan dirinya. Meskipun tidak pernah mengunggah foto selfie, tapi feeds Instagram-nya tetap saja dipenuhi foto wefie bersama teman-temannya atau fotonya yang diambil candid dengan latar belakang yang instagram-able.

Raka lantas menekan kolom komentar. Dari belasan komentar yang masuk itu ada yang menyemangati, ada yang sedikit nyinyir, dan ada juga yang berkomentar kocak. Raka terus menggulir layar ke bawah. Dia tertegun begitu nama itu juga ikut memberikan komentarnya.

gentapratama Kamu keren @vaniaaurelia Kamu nggak malu belajar iqra di usia 18 tahun. So proud of you, Vania. Semangat, ya!

Dahi Raka berkerut. Genta sekarang punya IG? Setahu Raka, Genta tidak memiliki satu pun akun media sosial. Laki-laki itu juga se-tipe dengannya yang sama-sama anti bermedia sosial.

Dua minggu lalu, Raka terpaksa membuat akun samaran karena terlalu penasaran dengan isi feeds Instagram maupun instastories Vania—setelah beberapa kali memergoki istrinya berselancar di jejaring sosial itu. Sedang Genta? Mengapa laki-laki itu akhirnya juga memiliki akun Instagram?
Apa karena ...?

Raka menelan ludah hingga membuat jakunnya bergerak begitu menyadari kemungkinan itu. Sejauh dia mengenal Genta, laki-laki itu selalu bersikap dingin dengan perempuan—kecuali dengan beberapa teman yang sudah dikenal baik. Ikut berkomentar dalam posting-an foto di Instagram Vania, jelas bukan gaya Genta. Jika Genta sampai rela melakukan hal yang tidak biasa dilakukannya, itu berarti dia memang menyukai ... Vania?

Rahang Raka semakin mengeras. Genta tidak tahu bila Vania sudah menikah. Tidak heran jika Genta mendekati Vania karena mengira gadis itu masih berstatus single.

Raka mendesah pelan. Inilah risiko yang akan dihadapinya karena Vania belum mau menunjukkan status pernikahan mereka selama berada di kampus. Raka jelas paham alasan apa yang menyebabkan Vania terpaksa menyembunyikan hubungan mereka untuk sementara waktu. Padahal dia tak mempermasalahkan soal itu.

Dari awal menikahi Vania, dia yakin suatu saat nanti hati gadis itu akan terbuka untuk menutup aurat sesuai yang dituntunkan dalam Islam. Raka harus bersabar mendidik istrinya. Sebagai seorang pemimpin, dia memang tidak mau memaksa. Karena menurutnya, sesuatu yang dilakukan karena terpaksa itu hasilnya tidak akan baik. Tapi, sampai kapan Vania akan menunaikan kewajibannya menutup aurat?

Tbc

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang