Tiga

71.1K 6K 193
                                    

Makan malam itu berlangsung hangat. Obrolan semakin seru ketika mereka sudah sudah menandaskan makan malamnya. Kenangan saat masih bertetangga dulu seakan melayang-layang di atas kepala, lalu berebutan seolah tak sabar untuk diceritakan.

Hanya Raka yang sedari tadi diam saja. Vania sesekali melirik Raka ketika obrolan itu diselipi dengan tawa. Bahkan, ketika semua tergelak, dia tetap bergeming menekuri meja makan yang piringnya sudah disingkirkan.

Raka di masa kecil dulu memang bukan sosok yang ekspresif, tapi dia tidak sekaku sekarang. Saat Vania bercerita lucu, sesekali dia akan tersenyum. Terkadang dia sampai tertawa pelan menanggapi kelucuan Vania.

Tapi, sekarang?

Dia seperti tidak mengenali sosok di depannya ini.

"Besok kalau Vania kuliah di Solo, Om sama Tante bakalan sering ke Solo jenguk Vania. Selama kuliah di sana, Raka nanti juga bisa bantuin Vania. Soal itu, anak Om bisa diandalkan. Jangan segan-segan minta bantuan Raka kalau Vania butuh bantuan, ya?"

Vania hanya tersenyum tipis saat ayah Raka itu berbicara kepadanya.


"Jadi, Mas Awan sama Mbak Rahma nggak perlu khawatir kalau Vania kuliah di Solo karena Raka bisa jagain Vania selama kuliah di sana," ungkap Pambudi penuh keyakinan.

Vania lagi-lagi melirik Raka. Laki-laki itu masih tepekur dalam diamnya. Sedari tadi yang terus meyakinkan bahwa Raka bisa menjaganya selama kuliah di Solo hanya ayah dan ibunya. Sementara dia hanya diam, tidak mengiyakan atau pun membantahnya.

"Apa ... saya boleh berbicara?" Setelah terdiam cukup lama, akhirnya dia mulai bersuara.

Semua mata kini mengarah pada Raka.


Laki-laki itu menautkan jemarinya di atas meja. "Sebetulnya saya nggak masalah kalau Om Awan sama Tante Rahma minta saya jagain Vania." Dia menghela napasnya. "Tapi, masalahnya saya sama Vania itu bukan mahram. Kalau saya sering terlihat bersama dia, bukankah nanti akan timbul fitnah? Apalagi saya aktivis di kampus, bagaimana kalau mereka menganggap kami ada apa-apa? Saya harap, Om Awan sama Tante Rahma termasuk Ayah dan Ibu bisa paham dengan yang saya ungkapkan ini."

Vania terpaku. Ruangan makan ini mendadak hening. Tak satu pun yang berniat menanggapi apa yang dikatakan Raka barusan. Seolah mereka tengah menunggu kalimat lanjutan yang hendak diutarakan laki-laki itu.

"Mungkin saya bisa mencarikan kos-kosan yang lingkungannya aman buat Vania, termasuk teman-teman yang baik untuknya. Tapi, saya mohon maaf sama Om Awan dan Tante Rahma, karena bantuan saya cukup hanya itu. Saya harap Om sama Tante bisa mengerti."

Meski alasannya tidak ingin terjadi fitnah, sudut hati Rahmawati terasa seperti tercubit. Sebagai ibu, dia jelas merasa tersinggung karena Raka menolak menjaga Vania selama kuliah di Solo. Padahal dia hanya diminta sekadar menjaga, memastikan gadis itu hidup dengan baik dan tidak mengalami kesulitan saat berada di kota yang masih begitu asing baginya. Entah mengapa Rahmawati menganggap Raka hanya mencari-cari alasan sebagai penolakan halus agar tidak membuatnya tersinggung. Soal timbul fitnah, toh mereka tinggal di tempat yang berbeda dan Raka sendiri juga bisa menjaga jarak dengan Vania.

Sartika yang menangkap mimik tak suka dari Rahmawati, sontak merasa sungkan dengan mantan tetangganya itu. Dia tidak mengira jika Raka justru mengutarakan penolakannya. Saat diberitahu ayahnya, Raka memang tidak menanggapi apa pun. Dia pikir, putranya itu akan setuju ketika diminta menjaga Vania selama kuliah di Solo.

"Ka, kamu nggak perlu harus deketsama Vania. Paling cumin bantuin dia pas lagi butuh bantuan aja. Sebagai maba dan belum punya temen kenalan, dia pasti butuh seseorang yang dikenalnya buat bantuin dia kalau dia lagi kesulitan. Ibu yakin, itu nggak sampai terjadi fitnah, kok. Yang jelas, Om Awan sama Tante Rahma itu cuma minta kamu jagain Vania tanpa perlu harus deketan sama dia. Kalau ada yang jagain, seenggaknya Omsama Tante kan, bisa tenang melepas Vania," terang Sartika mencoba menengahi.

"Tapi, tetap saja kalau sering berhubungan meskipun hanya lewat HP itu termasuk berkhalwat, Bu. Berkhalwat itu dilarang dalam Islam," kilah Raka keukeuh.

Vania tertegun. Bukan dia terkejut dengan yang dikatakan Raka barusan. Bagaimana reaksi Raka ketika menyanggah pernyataan ibunya, setidaknya menjadi bukti: laki-laki itu memang menolaknya.

Ketika menyadari ini, ada sebagian hatinya yang terasa nyeri. Waktu delapan tahun telah membuat seorang Raka berubah banyak. Dulu, Raka selalu ada untuknya. Saat dia jatuh dari sepeda, saat dia tersandung, saat dia dijaili teman sekelasnya, Raka selalu menjadi orang pertama yang menolongnya.

Tapi, kini? Laki-laki itu seakan tidak pernah mengenalnya. Dia seolah melupakan hari-hari masa kecilnya yang banyak dilalui dengannya.

Raka memang telah berubah. Ada perbedaan yang terasa membentang jauh. Raka yang terlihat alim itu tidak akan menyukai gadis yang belum mengenakan hijab sepertinya. Mungkin malah begitu membencinya karena membiarkan auratnya terbuka.

Vania tercekat. Menyadari perbedaan di antara mereka, pantas jika Raka bersikap dingin dengannya.

Mata bening itu memanas. Airnya menggantung di pelupuk mata. Meski berusaha ditahan, buliran jernih itu akhirnya melompat keluar. Dia cepat-cepat menyusutnya. Bagaimana pun dia tidak ingin dikasihani karena ketahuan menitikkan air mata.

Tanpa disadari Vania, gerakannya yang menghapus air mata itu tertangkap oleh ujung mata Raka. Secara reflek, pandangannya kini tertuju pada gadis itu. Meski kepalanya tertunduk, air muka sendu itu seakan menjelaskan bagaimana perasaannya. Melihat wajah sedih itu entah mengapa terasa mengusik hati Raka.

Mungkin penolakannya tadi menyinggung hati gadis itu. Bagaimanapun mereka pernah akrab, dulu. Jika dia sampai menolak di saat ayah gadis itu berusaha mencarikan seseorang yang bisa menjaga putrinya selama berada di Solo-bahkan sampai rela jauh-jauh datang dari Jakarta ke Semarang hanya untuk mengutarakan niat baiknya-alangkah tidak berperasaan dia sebagai seorang laki-laki. Meski alasan Raka karena tidak ingin berkhalwat dan menghindari fitnah, tetap saja penolakannya itu terasa seperti tidak memikirkan perasaan orang lain.

Raka tepekur. Pikirannya sedang menimbang-nimbang sesuatu. Saat ayahnya memberitahu keinginan Setiawan yang mencari teman untuk menjaga Vania selama kuliah di Solo tiga hari lalu, dia sempat memikirkan ini andaikata penolakan itu bukan menjadi solusi terbaik.

Raka menarik napas panjang, lalu mengembuskan dalam. "Baiklah, Om, Tante." Dia menatap Setiawan, lalu beralih sekilas ke arah Rahmawati. "Sesuai permintaan Om dan Tante, saya bisa menjaga Vania selama kuliah di Solo nanti. Maaf, kalau tadi saya sempat menolaknya karena alasan berkhalwat dan khawatir timbul fitnah."

Kepala Vania kembali terangkat. Keningnya mengernyit heran. Baru hitungan menit berlalu, mengapa laki-laki itu berubah pikiran?

"Om sama Tante nggak perlu khawatir karena Vania akan aman bersama saya. Saya harap, Om dan Tante bisa memercayakan Vania kepada saya ...."


Raka berhenti sejenak. Dia kembali menghela napas panjang. "Jadi ...." Raka menatap Setiawan, tepat di pupil matanya. "Bolehkah ... saya menikahi putri Om?"

Semua yang duduk di ruang makan itu tercengang. Rahmawati yang sedari tadi berusaha menahan diri untuk tidak bersuara, semakin dibuat kesal karena Raka-setelah menolak-tiba-tiba malah memilih menikahi putri semata wayangnya.

Umur Vania baru delapan belas tahun. Usianya masih belia. Meskipun hubungannya dengan Pambudi dan Sartika baik, dia tidak akan gegabah menerima pernikahan yang ditawarkan Raka begitu saja.

"Vania nggak jadi kuliah di Solo. Dia lebih baik kuliah di Jakarta aja. Maaf, Tante jadi ngerepotin kamu sampai kamu tiba-tiba mau nikahin putri Tante," putus Rahmawati berusaha menjaga kalimatnya agar tidak menyinggung Pambudi dan Sartika. Bagaimanapun mereka bersahabat baik.

"Saya serius ingin menikahi Vania, Tante. Tante bisa melihat kesungguhan saya." Raka terdiam sejenak. "Lagipula, apa Tante mau memaksa Vania kuliah di tempat yang nggak dia inginkan? Tante tentu nggak mau menghalangi keinginan Vania yang mau kuliah di Solo, kan?" Raka berusaha menyakinkan Rahmawati. Dia memang sudah membulatkan diri untuk menikahi gadis itu. Demi kebaikan bersama.

Rahmawati tertegun. Dua malam lalu, dia tak sengaja membaca diari Vania yang masih terbuka ketika putrinya itu sudah terlelap. Dalam buku harian itu, dia tahu betapa Vania benar-benar menginginkan bisa kuliah di Solo. Gadis itu berharap ibunya akan menyetujuinya. Bahkan, dia membuat daftar apa saja yang akan dilakukannya saat dirinya sudah berada di Solo.

Wanita paruh baya itu menatap Raka. Diselaminya sorot mata meneduhkan itu. Ada kilat kesungguhan dari manik kelamnya. Meski terlihat sungguh-sungguh ingin menikahi Vania, dia jelas tidak akan menerima begitu saja tanpa memikirkan matang-matang.

Pernikahan itu sakral. Dia tidak ingin membuat keputusan yang gegabah, meskipun pernikahan ini dinilai sebagai solusi terbaik. Vania bisa mewujudkan impiannya. Sementara dia sendiri akan lebih tenang memasrahkan putrinya bersama seseorang yang dia yakini bisa menjaganya.

Pun begitu, dia tidak akan mengizinkan begitu saja. Dia tidak bisa membayangkan jika putri kesayangannya itu menikah di usia belia.

"Om bisa bicarakan itu nanti sama Tante, Ka. Setelah Om pikir-pikir, Om jadi setuju sama niat baikmu itu," ungkap Setiawan setelah terdiam cukup lama.


Rahmawati terbeliak. "Papa ...." Nadanya sedikit ditekan. Meskipun tidak tegas menolak, dia tidak suka mendengar jawaban suaminya yang terang-terangan menyetujuinya.

"Demi kebaikan bersama, Mam. Nanti kita bicarakan berdua," kata Setiawan menatap istrinya seraya mengusap punggung tangannya.

Pambudi dan Sartika hanya memilih diam. Mereka menyerahkan keputusan itu pada Vania dan kedua orangtuanya. Mengenai pernikahan-meskipun sempat membuat terkejut, mereka setuju andai Raka menikahi Vania. Niat baik harus didukung. Toh, mereka sudah kenal baik dengan calon besannya. Bahkan, calon menantunya pun sudah dianggap seperti anak sendiri.


Vania masih terpaku. Keputusan Raka yang tiba-tiba ingin menikahinya membuatnya bingung sendiri.

Apakah demi menghindari fitnah dan tidak ingin berkhalwat dia harus menikahinya?

Apa laki-laki itu serius atau karena tidak punya pilihan lain?

Dia berusaha mencerna maksud Raka melamarnya. Nalarnya jelas tidak memercayai jika Raka ingin menikahi gadis sepertinya. Raka aktivis dakwah kampus. Laki-laki itu terlihat relijius sekali. Sedang Vania? Dia hanyalah gadis yang masih enggan mengenakan hijab dan belum lancar membaca Alquran. Ya, begitulah dirinya. Selama ini, sebagai penganut agama Islam, dia sekadar menunaikan kewajiban shalat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan saja.

Nama Raka memang sudah bersemayam lama di dasar hati Vania sejak dia mengalami pubertas. Terpisah delapan tahun justru membuat rasa itu semakin membuncah. Lalu, bagaimana dengan Raka? Melihat reaksi dingin laki-laki itu, Vania tidak yakin jika Raka menyimpan perasaan yang sama. Bahkan, sedikit saja dia meragukannya.

Ah, bagaimana mereka menjalani pernikahan jika perasaan itu bertepuk sebelah tangan?

Tbc

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang