Sembilan

64.3K 5.7K 194
                                    

Ba'da Maghrib ini terasa berbeda dari hari sebelumnya. Selama seminggu disibukkan dengan seabrek kegiatan sebagai mahasiswa baru, Vania memang tidak sempat bertilawah bersama Raka di ruang tengah sehabis shalat Maghrib. Raka paham dengan kondisi istrinya yang tampak keletihan tiap kali pulang dari kampus saat hari sudah mulai gelap.

Setelah masa perkuliahan dimulai, jam pulang Vania kembali normal. Inilah mengapa sehabis shalat Maghrib, dia mengajak Vania untuk tilawah bersama di ruang tamu.

Aktivitas seperti ini belum pernah dilakukan Vania sebelumnya. Keluarganya tidak serelijius Raka. Mereka hanya sebatas mengerjakan kewajiban yang harus ditunaikan sebagai seorang muslim. Beruntung, mushaf Alquran yang jarang dia buka itu, turut dibawa ke Solo. Entah bagaimana reaksi Raka jika sampai dia tidak membawanya.

Vania terkesima memandang Raka yang tengah melantunkan ayat Alquran di sofa berukuran single, tepat di depannya. Suara laki-laki itu terdengar syahdu. Terasa begitu menentramkan hati. Vania makin dibuat takjub dengan laki-laki yang sudah mempersuntingnya itu. Dulu, seingatnya, Raka belum selancar ini ketika membaca Alquran. Bertahun-tahun tidak bertemu, ternyata ada banyak perubahan dalam diri Raka.
Vania buru-buru menekuri mushaf Alquran saat Raka menghentikan tilawahnya. Bibir gadis itu hanya bergumam pelan, pura-pura membaca surat pendek yang sudah dia hafal di luar kepala.

Alis Raka bertaut. Dia menangkap ada yang ganjil dari sosok yang duduk di sofa berukuran panjang itu. Sedari tadi Vania hanya bergumam sangat pelan. Bahkan, Raka sampai tidak bisa mendengar dengan jelas apakah istrinya tengah bertilawah atau tidak.

Raka menegakkan tubuh. Kaki panjangnya mendekati Vania, memastikan apakah dia betul-betul bertilawah atau sekadar berpura-pura. Vania membeku begitu menyadari Raka sudah ada di sampingnya. Gerakan bibirnya terhenti. Meskipun hanya bergumam seolah-olah membaca, lidah gadis itu mendadak kelu.

"Kenapa tilawahnya hanya bergumam saja? Pas duduk lebih dekat seperti ini, saya juga nggak bisa dengar dengan jelas," selidik Raka kemudian.

Vania melirik hati-hati ke arah Raka. "Itu...." Dia menggigit ujung bibir tipisnya pelan, bingung harus mencari alasan apa.

Kening Raka berkerut. "Apa... kamu belum bisa baca Alquran?” tanyanya sedikit ragu bercampur khawatir jika tebakannya benar.

Vania hanya meringis kikuk. Rasanya memalukan sekali dia belum bisa membaca Alquran saat usianya sudah menginjak delapan belas tahun.
Raka menghela napas pelan. Dia tidak menyangka jika istri yang dinikahinya itu belum bisa membaca Alquran.

Raka segera beringsut ke kamar. Diambilnya buku iqra yang biasa dia gunakan saat mengajar TPA di masjid dekat kos dulu. Sejurus kemudian, dia sudah kembali ke ruang tamu.

"Ini! Tolong dibaca dari iqra satu biar saya tahu kamu belum bisa mulai dari mana," pinta Raka sembari mengulurkan buku iqra.

Vania membuka buku iqra itu pelan-pelan. Dia berjengit saat Raka menggeser tubuhnya hingga lengan mereka saling bersentuhan. Rasanya seperti tersengat aliran listrik. Dengan sekonyong-konyong alirannya itu memacu jantung berdegup kencang dan terasa bertalu-talu.

Dengan gugup, Vania mulai membaca dari huruf alif dan ba'. Tiba di halaman delapan belas, tepat di huruf dhot, dia mulai kesulitan.

Raka terkesiap. Dia seakan tidak memercayai jika istri yang dinikahinya itu sekadar iqra satu saja dia tidak mampu menyelesaikannya.

"Gimana bisa iqra satu saja masih belum lancar? Kalau iqra satu belum lancar, gimana dengan bacaan shalat kamu?" tanya Raka heran sendiri.

"Kalau bacaan shalat, kan bisa dihafalin...,” balas Vania pelan tanpa berani menatap suaminya. Dengan gerakan lambat, dia menggeser posisi duduknya, sedikit menjauh dari Raka.

Raka hanya menghela napas panjang. Dia berusaha bersabar menghadapi Vania. Meskipun—tidak dipungkiri—ada rasa kecewa yang menyesaki hati kecilnya.

"Memangnya Mama nggak ngajarin kamu belajar iqra?"

"Kamu tahu sendirikan, kalau keluargaku itu nggak relijius. Paling kami cuman ngejalanin kewajiban seorang muslim aja.”

Ya, Raka memang tahu itu. Keluarganya dulu saat tinggal di Jakarta juga begitu. Namun, semenjak bergabung di Lembaga Dakwah Fakultas Pertanian, laki-laki itu pelan-pelan mendakwahi kedua orangtuanya. Dulu, shalat berjamaah di masjid hanya sesempatnya, kini ayahnya malah tak pernah absen. Ibunya yang semula belum berkerudung sekarang sudah mengenakan hijab, meskipun ukurannya hanya sebatas menutupi dada.

"Pas masih sekolah dulu, apa guru agamamu nggaknyuruh kamu belajar baca Al-Qur’an?" cecar Raka masih diliputi penasaran. Dulu, dia memang belum serelijius seperti sekarang. Pun begitu, dia tidak seperti istrinya yang sama sekali belum bisa membaca Al-Qur’an. Meskipun Raka hsekolah di SMP dan SMA Negeri favorit, guru agamanya selalu mendorong semua murid untuk belajar membaca Al-Qur’an. Agar lebih mudah, dia memilih belajar dari video yang di-download dari You Tube.

"Aku kan, sekolah di swasta yang bukan sekolah Islami. Makanya, guru agama nggak terlalu nekanin murid-muridnya biar pada lancar baca Al-Qur'an," terang Vania menekuri buku iqra yang sudah diletakkan di atas paha. Jemarinya saling memilin satu sama lain. “Waktu kecil dulu, kita juga cuman ikut TPA pas bulan Ramadhan aja, kan? Itu juga karena sekolah yang nyuruh. Pas aku SMP, aku udah mulai lupa cara baca iqra karena sekolahku nggak Islami. Dan ...  asal kamu tahu. Mama sama Papa juga sampai sekarang belum bisa baca Al-Qur’an.”

Raka mendesah pelan. Dia tidak tahu lagi harua berkata apa setelah mengetahui kenyataan ini.

"Maaf ... kamu pasti kecewa banget sama aku. Tapi, kamu nggak perlu khawatir soal itu. Aku bakalan belajar iqra mulai dari awal. Aku bisa cari guru iqra di kampus. Mungkin minta bantuan akhwat buat ngajarin aku baca Al-Qur’an."

"Kenapa harus cari guru lain? Saya yang berkewajiban untuk mendidik kamu. Jadi, saya yang akan mengajari kamu belajar iqra."

Raka meraih kembali buku iqra. Lagi-lagi gerakan spontan Raka ini membuat Vania berjengit. Kegugupan kembali menyergapnya.

“Ayo kita mulai belajar iqra-nya."
Vania menahan napas saat lengan mereka kembali bersentuhan. Bahkan, posisi tubuh Raka yang mendekat—agar Vania bisa membaca iqra dari buku yang dipegangnya—membuatjarak kepala mereka hanya selisih lima senti. Parfum beraroma lavender menguar menerobos penciuman. Vania menelan ludah. Entah laki-laki itu sadar atau tidak jika posisinya saat ini justru membuat sekujur tubuh Vania terasa menegang.

"Ayo, dibaca!" pinta Raka sembari menuding huruf alif dengan menggunakan pulpen. Ketika Vania tak kunjung bersuara, Raka menoleh tipis. Reflek Vania langsung menjauhkan kepalanya. Jika gerakan Vania tidak cepat, mungkin jarak pipinya dengan hidung Raka yang mancung itu hanya bersisa tiga senti saja.

Pelan-pelan—tanpa disadari Raka—Vania menggeser posisi duduknya menjadi sedikit berjarak. "A-aku ... hm … bisa ... cari guru iqra yang lain, Ka,” jelasnya gugup.

Raka mengernyit heran. "Kenapa harus cari guru lain?” tanyanya mengulang pertanyaan yang sama. “Kan, sudah ada saya yang siap ngajarin kamu."

"Nggak perlu!” balas Vania cepat dan dengan intonasi sedikit tinggi. “Hm ... maksudku ... kamu nggak perlu ngajarin aku iqra. Lebih baik aku belajar iqra sama guru perempuan aja,” jelasnya menurunkan nada suaranya lebih pelan.

"Memang kenapa? Saya kan, suami kamu."

"Iya, tapi aku yang nggak nyaman belajar iqra sama kamu. Kalau nggak nyaman, nanti malah sulit nangkap, kan? Aku bisa cari guru sendiri di kampus." Vania hendak mengangkat tubuhnya. Lebih baik dia bergegas menjauh ketimbang harus tersiksa dengan kinerja jantungnya yang belingsatan seperti ini. "Aku… hm… ke kamar dulu," pamitnya tanpa menatap Raka.

Raka hanya termangu. Pikirannya sibuk menerka-nerka sendiri. "Kenapa... dia malah jadi nggak nyaman?" batinnya terus bertanya mengapa Vania malah menolak diajar olehnya.

Tbc

***

Masih ngikutin, kan? 😌

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang