Delapan

73.6K 5.2K 192
                                    

Vania menelungkupkan wajah ovalnya ke meja yang menyatu dengan kursi kayu. Selama seminggu menjalani rutinitas sebagai mahasiswa baru (mulai dari kegiatan PKKMB, ikut Grand Opening Asistensi Agama Islam, tes kemampuan Bahasa Inggris dan ESQ hingga konsultasi KRS) benar-benar membuat tubuhnya kelelahan. Andai tidak ada Raka, inginnya Vania membolos di hari pertama kuliah. Jika nekat absen, laki-laki itu sudah pasti akan menceramahinya panjang lebar. Apalagi hari Minggu kemarin, hampir seharian—jeda shalat dan makan—dia sudah beristirahat penuh di dalam kamar.
Ruangan berukuran besar di lantai tiga gedung A ini masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa baru yang duduk di deretan kursi paling depan. Vania memilih duduk di kursi paling belakang dekat pintu masuk di bagian timur.

Cahaya mentari pagi menelusup di balik jendela kaca yang terbuka. Bias sinarnya menerpa rambut pendeknya. Kelopak mata yang terpejam itu tiba-tiba terbuka saat menyadari ada seseorang yang duduk di sebelah kursinya. Kepala Vania terangkat, lalu menoleh pada sosok di sampingnya.

Gadis berkulit kuning langsat, berhidung mancung dan berambut lurus panjang yang dibelah tengah, duduk dengan angkuh di sebelahnya. Tatapannya lurus ke depan tanpa berniat memandang Vania yang sibuk memindai gadis itu.
Tampilan gadis itu terlalu modis untuk dikenakan saat kuliah—apalagi kuliah di universitas negeri yang ada di Solo. Blus tipis berkerah berwarna putih dengan lengan panjang yang digulung hingga ke siku. Skinny jeans warna biru tua. Dan wedges abu-abu. Gayanya itu benar-benar kontras dengan mahasiswi lainnya yang mengenakan pakaian sederhana.

Di balik kerah blus yang dikenakannya tergantung sebuah kalung dari batu etnik berbentuk bulat pipih. Gelang besar dari arkilic berwarna hitam melingkar di tangan kirinya.

Dibanding Vania yang hanya mengenakan tunik lengan panjang motif kotak-kotak warna merah dengan celana jeans gelap, memang sedikit timpang. Riasan gadis itu juga lumayan tebal, meski tidak dibilang menor. Bibir tipisnya dipulas lipstik warna pink. Bulu matanya diberi maskara agar kelihatan lentik dan lebih hitam. Hanya alisnya yang dibiarkan masih alami.

Vania merasa asing dengan wajah gadis yang duduk di sebelah kanannya ini. Sepertinya gadis itu bukan satu jurusan dengannya karena semasa menjalani masa Program Kenal Masuk Mahasiswa Baru (PKKMB), dia tak sekali pun pernah melihatnya.

Tebakan Vania, mungkin dia dari Agrobisnis karena kelas pagi ini ada dua jurusan yang mengikuti—tak hanya dari Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP) saja.

"Udah puas ngelihatin gue?" tanya gadis itu dengan nada ketus tanpa memandang Vania.

Vania terenyak. Sejurus kemudian, dia buru-buru melempar pandangan asal. Ketahuan meneliti orang itu sungguh memalukan, apalagi jika reaksinya kurang baik.

"Gue emang cantik, sih. Jadi, wajar kalau lo ngelihatin gue sampai segitunya," cicit gadis itu terdengar sombong.

Vania tercengang. Dia tidak mengira jika sikap gadis itu akan seperti tokoh antagonis di sinetron.

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, dia segera membenahi tali tas selempang yang masih tersampir di pundak. Lebih baik dia menjauh karena tidak mau berurusan dengan gadis songong sepertinya. Sepasang kakinya bergerak mencari tempat duduk di barisan tengah.

Kelas mulai terisi mahasiswa-mahasiswi dari jurusan PKP dan Agrobisnis. Vania berdecih pelan saat tahu gadis tengil itu malah mengikutinya. Tanpa merasa bersalah, dia duduk di kursi sebelah kirinya. Vania memilih tak menghiraukan. Lebih baik dia menekuri ponsel yang baru dikeluarkannya ketimbang mengacuhkan gadis itu.

Sebuah tangan dengan kuku-kuku yang diwarnai pacar Arab terulur ke arahnya. Vania terpaku. Sejurus kemudian, dia menatap gadis songong itu dengan pandangan penuh selidik. Kedua alisnya sampai bertaut karena merasa heran dengan perubahan sikap gadis itu.

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang