Enam Belas

61.4K 5.4K 357
                                    

Gadis berambut hitam bergelombang yang dikuncir tak rapi itu merentangkan tangannya lebar-lebar. Matanya terpejam menikmati semilir angin yang membelai lembut wajah ovalnya. Beberapa anak rambut mencuat keluar dari tali kunciran, lalu menari-nari bersama desau angin yang tertiup dari areal persawahan.

Dia menghirup udara kuat-kuat, lalu membuangnya panjang. Seutas senyum merekah lebar dari bibir tipisnya.

Sinar mentari yang lumayan terik seolah menembus kulit putihnya. Memang terasa sedikit panas. Namun, dia tetap berdiri di sana. Menikmati kicauan burung pipit yang sesekali hinggap, lalu menyisil bulir-bulir padi yang masih muda. Lambaian orang-orangan sawah yang diembuskan oleh desiran angin membuat burung mungil itu terbang kembali ke udara.

"Sudah puas menikmatinya?" Suara bass seseorang menyadarkan Vania. Dia sontak membuka mata, lalu menarik kedua tangannya yang tadi merentang menjadi merapat.

Vania menyunggingkan senyum—menyembunyikan rasa malu—ketika laki-laki berkaus raglan lengan panjang dengan celana kargo hitam itu sudah berdiri di sampingnya. Tadi, dia memang memilih turun terlebih dahulu. Saat Raka memarkir mobil di tempat yang teduh, dia bergegas melenggang menuju jalanan tanah yang ditumbuhi rumput-rumput liar.

Di sebelah kiri jalan ini, terbentang hamparan sawah yang hijau. Sementara di sebelah kanan, saluran irigasi berukuran lebar mengalir lancar menuju arah timur.

"Ayo lekas dimulai! Ada empat jenis saluran irigasi yang harus kamu ukur debit airnya. Nggak ada waktu lagi buat bersantai-santai," ingat Raka kemudian.

Vania mengangguk paham. Buru-buru dia mengambil tas gendong, lalu mengeluarkan alat tulis dan pelampung dari stereofoam berukuran kecil.

"Mas Raka yang bantu lempar pelampung, ya. Nanti aku yang ngukur waktunya," pinta Vania sambil mengulurkan pelampung mini kepada Raka.

"Baru kali ini, ada Co-ass yang bantuin mahasiswanya mengerjakan praktikum. Masih ditambah harus mencarikan tempat praktikum, sampai nganter ke lokasi," sindir Raka sembari menerima uluran Vania.

Vania mengerucutkan bibir. "Kalau aku sendirian, kan, bakalan kesulitan, Mas. Aku juga nggak tahu saluran irigasi primer itu yang mana. Belum yang sekunder, tersier, sama non teknis," timpalnya dengan muka ditekuk. Dia mendesah pelan. “Ternyata ribet juga jadi mahasiswi pertanian.”

Semalam saat Vania meminta bantuan Raka untuk mencarikan saluran irigasi, laki-laki itu tak langsung mengiyakan. Setelah Vania menceritakan jika dua tidak bisa ikut bersama teman-temannya karena harus menginap, mau tak mau Raka akhirnya bersedia membantunya.

Langkah kaki Vania beranjak menuju ke pinggir saluran yang sisi kanan dan kiri sudah dibangun tembok dari bongkahan batu besar. Saluran selebar dua meter itu—sesuai yang tertulis di sisi tembok bagian kanan—merupakan saluran irigasi sekunder. Raka belum menemukan saluran irigasi primer. Mungkin mereka bisa menyusuri hulu dari saluran ini, selepas mengukur debit airnya.

Vania memberi tanda garis lurus—setelah menggeser pijakan flatshoes—menggunakan kapur semut yang tadi dibawanya. Di rumah tidak ada kapur tulis, adanya hanya kapur ajaib. Daripada harus repot beli, dia terpaksa menggunakan kapur ajaib sebagai pengganti kapur tulis. Setelah memberi tanda garis, langkahnya bergerak mundur sejauh lima meter, lalu memberi tanda lagi.

"Kamu pakai kapur semut?" selidik Raka ketika matanya menangkap semut-semut itu berusaha menghindari garis. "Bagaimana kalau semut-semutnya mati? Semut itu musuh alami. Mereka justru akan memakan telur-telur hama penggerek batang padi."

Vania terperangah. Dia berjingkat menuju tanda garis pertama yang tadi dibuatnya. Dia hanya bisa meringis ketika semut-semut yang sudah mencium kapur ajaib itu berjalan memelan. "Maaf ... aku nggak tahu kalau semut itu jadi musuh alami, Mas. Kupikir semut itu merugikan, jadi nggak apa-apa kalau aku pakai kapur semut," terang Vania sembari menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang