Satu

99.5K 6.7K 151
                                    

"Pokoknya Mama tetap nggak setuju kamu kuliah di Solo," cetus Rahmawati, ibu Vania, di sela-sela makan malam keluarga.

Suapan Vania terhenti. Sendok yang berisi nasi dengan rendang kesukaannya diletakkan kembali ke atas piring porselen. Selera makan gadis itu mendadak hilang karena ucapan ibunya. Padahal baru tiga suapan, rasanya dia sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan.

Sudah tiga hari sejak pengumuman Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), Rahmawati tetap dalam mode penolakannya. Kebahagiaan Vania yang diterima menjadi salah satu mahasiswi sebuah universitas negeri di Solo seakan terempas saat sang ibu menolak keras jika putri semata wayangnya tetap kuliah di kota budaya itu.

Vania memang diam-diam memilih jurusan yang ada di sebuah universitas negeri di Solo untuk pilihan pertama dan kedua. Sedari awal, gadis itu ingin belajar hidup mandiri. Dia sudah merasa jenuh dengan sikap overprotektif dari Rahmawati. Setidaknya dengan kuliah di Solo, jauh dari kedua orangtua, Vania akan bisa memulai hidup lebih mandiri. Dia bahkan sengaja memilih pilihan kedua yang grade-nya tidak terlalu tinggi agar peluang diterima menjadi lebih besar. Gadis itu cukup sadar diri dengan kemampuan otaknya yang tergolong biasa saja. Meski hanya diterima untuk pilihan kedua—yaknidi program studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP), dia tetap bersyukur karena keinginannya untuk bisa hidup mandiri akan segera terkabul. Sayang, wanita paruh baya yang duduk di depannya itu belum juga menyetujui hingga sekarang.

Beruntunglah, Setiawan, ayah Vania, langsung memberikan izin setelah gadis itu mengungkapkan alasan mengapa dia memilih kuliah di Solo. Tidak seperti ibunya yang terlihat meremehkan jurusan yang Vania pilih, Setiawan justru menghormati pilihan putrinya. Bagi pria paruh baya itu, jurusan apa pun yang dipilih, asal ditekuni, pasti akan maju. Vania bersyukur memiliki ayah seperti Setiawan. Selama tiga hari ini pun, ayahnya selalu berusaha membujuk Rahmawati agar mengizinkan putrinya pergi ke Solo untuk menuntut ilmu.

"Lagian, bukannya Mama nyuruh kamu pilih yang ada di Jakarta, kenapa malah milih yang di Solo? Mama kecewa sama kamu karena bohongin Mama," tuduh Rahmawati sedikit kesal.

Vania memilih diam. Lidahnya sudah lelah untuk menimpali penyataan Rahmawati. Toh, apa yang dikatakan ibunya itu hampir selalu sama. Tetap menolak dan mengungkapkan kekecewaannya.

Vania jelas tidak merasa membohongi ibunya. Ketika wanita berukuran lebar dengan rambutnya yang selalu digelung itu menyarankan untuk memilih Jurusan Psikologi dan Farmasi di univesitas negeri yang ada di Jakarta, Vania hanya diam saja, meski dalam batinnya dia mengungkapkan penolakannya.

"Kamu kuliah di Jakarta aja. Di universitas swasta juga nggak apa-apa," putus Rahmawati sepihak.

"UKT-nya udah telanjur dibayar, Ma." Vania akhirnya bersuara, mencoba mengingatkan Rahmawati jika Uang Kuliah Tunggal sudah dibayar.

Selepas mendapat izin dari ayahnya, Vania langsung melakukan register secara online. Begitu UKT ditetapkan, ia meminta Setiawan untuk menransfer saat itu juga. Pekerjaan Setiawan sebagai senior manager di salah satu operator seluler membuat UKT yang dibayar Vania masuk salam kelompok yang paling tinggi.

"Nggak masalah. Ketimbang kamu kuliah di sana," timpal Rahmawati tidak mau tahu.

"Udahlah, Mam. Kita ini lagi makan. Biar makannya diselesaiin dulu, baru lanjut lagi," ujar Setiawan yang sedari tadi menyantap makan malamnya mencoba menengahi.

Rahmawati melirik ke arah pria berbadan tambun yang duduk di sampingnya dengan mimik sebal. "Mama juga kecewa sama Papa. Kenapa Papa malah ngizinin Vania kuliah di Solo, sih? Kalau ada apa-apa sama dia gimana? Di sana nggak ada satu pun kerabat kita lho, Pap," tukasnya dengan sorot yang tajam.

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang