Dua Belas

59.5K 5.9K 121
                                    

“Buruan langsung nanya, gih! Ukh Aziza pasti ada di dalem.”

Vania menatap kesal Sevi ketika mereka sudah sampai di depan pintu masuk masjid bagian putri. “Suaranya tolong dipelanin dong, Sev,” tegur Vania dengan suara lirih.

Sevi nyengir. Dia menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya sebagai tanda “peace”. “Sorry,” ucapnya hanya dengan gerakan bibir.

Setelah kelas dijam pertama selesai, mereka bergegas menuju masjid kampus untuk mencari Azizah. Senin kemarin, kelompok Asistensi Agama Islam (AAI) sudah diumumkan. Atas saran Sevi,Vania berencana meminta bantuankakak asisten di program AAI itu untuk menjadi guru iqra-nya. Dia belum tahu seperti bagaimana rupa Azizah. Kegiatan follow up baru dimulai pekan depan.

Vania hanya bisa meringis menahan malu saat berpasang-pasang mata tertuju ke arahnya. Rupanya, suara Sevi yang terdengar lebih keras tadi sampai menghentikan tilawah mereka.

Vania menundukkan kepala sopan. “Maaf, Kak.” Setelah mengatakan “maaf”, dia segera menyeret Sevi pergi.

“Kok nggak jadi masuk, sih?” tanya Sevi setelah mereka sampai ke undakan masjid bagian selatan.

Vania melirik sebal. “Suara lo yang terlalu kenceng itu bikin malu gue, tahu nggak?” Meski kesal, dia tetap menurunkan nada suaranya.

“Gue kan cuman kelepasan kenceng aja, Van. Abisnya lo nggak gercep, sih. Kan, gue jadi gemes.”

Vania duduk di undakan paling atas untuk memakai sepatu converse-nya.
“Berarti kita nggak jadi nemuin Ukh Aziza nih?”

Vania hanya menggeleng lemah.
Sebenarnya bukan hanya karena suara Sevi yang membuatnya enggan memasuki masjid. Tatapan mereka—meski tidak menatapnya dengan pandangan berbeda—seakan menyiutkan nyalinya. Entah mengapa dia merasa sungkan ketika harus berhadapan dengan mereka yang sudah menutup rapat auratnya. Apalagi dia baru belajar iqra ketika umurnya sudah menginjak 18 tahun.

“Lo terlalu ribet sih, Van. Emang kenapa kalau lo baru belajar iqra pas umur segini?” Sevi seperti mengerti apa yang dirisaukannya.

Vania hanya diam. Dia memperhatikan Sevi yang tengah mengenakan flatshoes. Gadis berambut lurus sepinggang itu memang sudah mengganti wedges sepuluh sentinya dengan flatshoes trendi setelah ditegur dosen hari Jumat lalu. Peraturan di kampus memang melarang mahasiswinya menggunakan segala jenis sepatu berhak tinggi termasuk wedges. Penampilan Sevi kini juga lebih sederhana tanpa aksesoris yang berlebihan. Dandanan gadis itu pun lebih tipis, tidak setebal sebelumnya.

“Terus gue harus gimana?” Suara Vania terdengar lemah. Dia dilema antara masuk ke dalam masjid, mencari Azizah, atau pergi dengan catatan akan ditanyai Raka soal guru iqra-nya lagi.

Sevi memutar bola matanya malas. “Gue bilang juga apa? Lo tuh terlalu mikir ribet, Van.”

Suara derit pintu mengalihkan perhatian mereka. Seorang perempuan berkerudung lebar warna biru muda dengan gamis polos biru gelap keluar dari pintu sekretariat Lembaga Dakwah Fakultas Pertanian. Di masjid kampus ini memang ada ruangan kecil yang digunakan untuk ruang sekretariat khusus akhwat.

Perempuan itu menatap mereka bergantian. Sejurus kemudian, seulas senyum tersungging dari bibir tipisnya. Dia sedikit menundukkan kepala sopan sebagai salam hormat.

Vania tersenyum kikuk. Sementara Sevi membalasnya dengan senyum yang lebar.

Tanpa bersuara, perempuan itu lantasberjalan menuju ke bagian selatan. Sepertinya hendak ke toilet sebentar.

"Van?"

"Hm ...."

Mereka sudah mengalihkan perhatian, tetapi belum beranjak pergi.

"Kayaknya gue tahu siapa yang pantes jadi guru iqra lo deh.”

Alis Vania bertaut. “Emang... siapa?”

“Akhwat yang tadi. Senyumnya aja nentramin ati gitu. Dia juga keliatan ramah. Mendingan lo belajar sama dia aja.”

"Terus Ukh Azizah?"

“Kita kan belum tahu Ukh Aziza yang mana. Kali dia emang Ukh Azizah, kan?”

Vania mengedikkan bahu. “Terserah lo, deh.”

Sevi mengangguk paham. Dilepasnya kembali flatshoes berwarna merah marun itu. Diikuti Vania yang juga melepas converse hitam putihnya. Mereka lantas menunggu di depan pintu Sekretariat. Saat seseorang yang ditunggu berjalan menuju ruang sekretariat, mereka lantas mengulum senyum sopan.

Kening perempuan berkulit kuning langsat itu mengernyit ketika mendapati dua sosok gadis yang tidak mengenakan hijab berdiri di sebelah pintu masuk sekretariat seraya tersenyum menyambutnya.

“Maaf ... ada perlu apa, ya? Apa adik-adik mau berkunjung ke sekretariat kami?" tanya perempuan berkerudung itu setelah membalas salam dari Sevi seraya berjabat tangan.

"Iya, Ukh. Kami mau bicara sesuatu sama anti. Apa anti ada waktu sebentar?" Sevi sengaja menyelipkan panggilan menggunakan bahasa Arab. Meski shalat lima waktu banyak bolongnya, dia sudah paham bagaimana harus berbicara dengannya.

Vania hanya mengerling sekilas. Dia sedikit heran dengan temannya itu. Sevi yang suka ceplas-ceplos ternyata bisa juga mengganti sapaan "kamu" (untuk perempuan) dengan menggunakan bahasa Arab.

"Tentu saja saya ada waktu.”

Perempuan itu lantas menyilakan mereka masuk ke ruang sekretariat. Saat melangkah masuk, Vania hanya bisa menahan geli karena akhwat itu justru memilih menggunakan bahasa Indonesia. Padahal Sevi sudah berusaha menyesuaikan diri.

"Begini, Ukh. Teman saya ini mau belajar iqra. Dia pengin banget bisa baca Alquran," ungkap Sevi setelah mereka duduk lesehan di atas tikar.

Perempuan berparas ayu dengan hidung yang mancung  itu sedikit terkejut. Vania yang menyadari ekspresi terkejut itu sontak menunduk malu.

"Maaf, Dik. Bukannya saya merasa aneh.” Perempuan itu buru-buru menerangkan ekspresi wajahnya yang sepertinya ditangkap lain oleh Vania. “Saya memang sedikit terkejut, tapi jujur, saya malah takjub sama adik yang nggak segan belajar iqra saat sudah kuliah seperti ini. Buat saya, itu malah luar biasa karena nggak ada kata terlambat untuk belajar," terang perempuan itu sembari menyunggingkan senyum.

Vania terkesima. Senyum perempuan yang duduk di depannya itu memang benar-benar meneduhkan.

"Oh, ya. Sampai lupa kita belum kenalan.” Perempuan itu menepuk dahinya pelan. “Saya Almahira Fauzia. Panggil Mahira saja. Saya dari Jurusan Agrobisnis semester lima," ungkap Mahira sembari menjabat tangan Vania yang dibalas dengan kikuk.

Ternyata perempuan itu bukan Azizah, seperti tebakan Sevi. Dia sedikit terkejut karena Mahira satu jurusan dengan suaminya. Satu angkatan pula. Mungkin mereka saling kenal. Atau mungkin juga tidak jika mengingat latar belakang mereka yang tergabung dalam organisasi dakwah kampus.

"Saya Vania, Ukh. Saya dari jurusan PKP. Baru semester satu," balas Vania sopan. Sikap Mahira yang hangat membuatnya tidak merasa sungkan lagi.

Sevi pun mengenalkan diri kemudian.
"Oh ... jadi kalian mahasiswi baru, ya? Pantas saja wajahnya masih asing," celetuk Mahira kemudian. Meski sudah memanggil "Dik", sebetulnya Mahira hanya mengikuti insting saja karena wajah mereka belum familier.

"Ini yang mau belajar iqra, Dik Vania atau sama Dik Sevi juga?" tanya Mahira lagi.
Sevi kontan menggeleng. "Nggak, Ukh. Vania aja kok yang mau belajar iqra."

Dia memang belum bisa membaca Al-Qur’an. Namun, hingga detik ini dia belum berencana untuk belajar iqra. Menjalankan shalat fardlu saja masih banyak bolongnya, apalagi harus belajar iqra. Belakangan ini, dia sering menunaikan shalat Zuhur karena diajak Vania untuk ikut shalat berjamaah di masjid kampus. Andai tidak ada Vania, dia biasa mengerjakan shalat semaunya saja. Itu pun dalam seminggu bisa dihitung dengan jari.

"Baiklah. Kalau begitu, Dik Vania mau belajar iqra mulai kapan?"

"Terserah Ukh Mahira aja bisanya kapan. Insha Allah, saya bisa menyesuaikan, Ukh."

Mahira tampak berpikir sejenak. "Bagaimana kalau mulai besok? Kita belajar iqra setiap hari sehabis shalat Zuhur di masjid ini. Toh kalau ada kelas lagi kanmulainya masih jam satu. Jadi, kita bisa belajar sebentar," tawar Mahira.

Vania mengangguk. "Boleh, Ukh. Saya ikut Ukh Mahira aja."

Setelah bertukar nomor HP, mereka akhirnya berpamitan. Vania menghela napas lega. Dia bersyukur Allah mempertemukannya dengan guru iqra sebaik Mahira. Semoga ini menjadi awal yang baik baginya untuk mengkaji Al-Qur’an. Bagaimanapun, Vania ingin menjadi pendamping yang pantas untuk Raka. Pelan-pelan dia akan berusaha memperbaiki diri hingga suatu saat nanti bisa menjadi seorang istri yang shalihah.

Tbc

***

Ketemu lagi entar malem, ya. InsyaAllah 😉

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang