Sembilan Belas

61.8K 5.6K 249
                                    

Langit begitu cerah siang ini. Awan putih tampak berarak perlahan. Gumpalannya bergulung-gulung membentuk formasi aneka rupa di atas sana.

Gadis bermata bening itu menatap takjub pemandangan di depannya. Dengan berdiri di lantai enam perpustakaan pusat ini, dia bisa memandang dengan jelas puncak gedung rektorat yang atapnya menyerupai limas. Bangunan auditorium kampus yang berbentuk joglo juga terlihat sempurna dari atas. Rerimbunan daun angsana tampak menghijau di antara atap megah itu. Membuat kampus ini terasa menyejukkan.

Puas menatap pemandangan di depannya, dia menjatuhkan pantatnya di kursi berbentuk potongan kayu. Dia sengaja memilih tempat duduk yang berada di tepi gedung perpustakaan, bersebelahan dengan dinding kaca. Dari sinilah, dia bisa leluasa berlama-lama di perpustakaan sembari menikmati pemandangan kampus dari atas gedung.

Brakkk.

Vania berjengit saat beberapa tumpuk buku diletakkan kasar di atas meja. Dia menatap tajam ke arah gadis yang kini sudah duduk di depannya. Gadis yang mengenakan blouse shirt berkerah lengan panjang motif garis horisontal dengan long skirt warna biru navy itu hanya mengarahkan bola mata ke atas.
"Lo lembut dikit, bisa nggak, sih? Kita ini lagi di perpus," ingat Vania pelan.

Sevi berdecih. "Salah siapa lo nggak nemenin gue nyari buku buat referensi tinjauan pustaka?" balasnya sengit.
Sevi benar-benar kesal dengan temannya itu. Saat dia sibuk mencari referensi buku untuk tinjauan pustaka laporan praktikum Fisika Dasar, Vania malah meninggalkannya di lantai empat.

"Tadi, kan, gue bilang, kalau gue nebeng buku hasil hunting lo," tampik Vania dengan nada direndahkan. Dari hasil konsultasi laporan kemarin, mereka masih diminta untuk menambah tinjauan pustaka lagi. Karena Sevi juga mencari buku yang sama, dia berencana meminjam buku yang dipinjam gadis itu.

"Iya, tapi paling nggak lo nemenin gue, bukan malah ninggalin gue," sanggah Sevi yang sedikit mengeraskan suaranya.

"Ssstttt ….” Telunjuk Vania ditempelkan di tengah bibir yang mengerucut. "Agak dikecilin suaranya, Sev. Gue nggak mau kena semprot pengunjung lain," bisik Vania sembari melongok ke meja di depannya. Dia mendesah lega ketika mahasiswi berjilbab lebar itu masih bergeming menekuri buku bacaannya.

“Abisnya lo sih ...,” sewot Sevi memandang Vania kesal. Dia spontan menoleh ke dinding kaca di sampingnya. Manik mata gadis itu seketika melebar. Sorot matanya berkilat takjub. "Wow ... gue baru tahu, kampus hijau kita kalau dilihat dari ketinggian itu indah banget," ungkap Sevi terkagum-kagum seraya menegakkan tubuhnya.

Vania hanya terlongo melihat ekpresi Sevi yang lebih mirip seperti anak desa saat baru pertama kali menjejakkan kakinya di Ibu Kota. Sampai detik ini, terkadang dia heran sendiri jika Sevi adalah anak dari WJ Darmawan, pengacara paling kondang di negeri ini karena sering wara-wiri di televisi mendampingi kliennya yang tersangkut kasus hukum.

Getaran ponsel yang tergeletak di atas meja membuyarkan Vania. Tangannya sigap mengambil benda pipih itu.  Keningnya berkerut saat pop up chats memunculkan nama Mahira. Dia lantas menggeser layar membuka isi chats itu.

Ukh Mahira : Assalamu'alaikum Dik Vania.
Ukh Mahira : Af1, 2 hari ini sy g bisa ngajar iqra.
Ukh Mahira : Kalo diganti hari Minggu gmn? Biar sy yg dtg ke kos Dik Vania.
Ukh Mahira : Tlg sy dikasih alamat kosnya ya Dik. Syukron. 😊

Vania menggigit ujung bibir bawahnya cemas. Dia bingung harus membalas apa. Mahira sama-sama tergabung dalam Lembaga Dakwah Fakultas Pertanian seperti suaminya. Bagaimana jika Mahira sampai tahu status pernikahan mereka saat berkunjung ke rumah? Bagaimana jika Mahira melaporkan pada ketuanya karena Raka ketahuan menikahi perempuan yang belum berjilbab?

Vania tidak tahu apakah ada aturan yang melarang pengurus menikahi perempuan yang belum berhijab atau tidak. Yang jelas, jika status pernikahannya sampai diketahui, Raka mungkin akan dianggap sebagai ikhwan abal-abal. Laki-laki itu juga akan dinilai sebagai pengurus yang tidak bisa menjaga nama baik organisasi dakwah yang diikutinya karena memperistri perempuan seperti Vania. Apalagi—sepengetahuan Vania—Raka digadang-gadang sebagai calon terkuat untuk menjadi Ketua Lembaga Dakwah Fakultas Pertanian tahun depan.

Vania semakin bimbang di antara menolak atau menerima. Kalau menolak, alasan apa yang kira-kira pas sehingga terlihat meyakinkan jika dia tidak sedang mencari alibi?

Vania mendesah pelan. Bagaimana jika suaminya diminta pergi saat hari Minggu nanti? Dia akan mengutarakan soal kedatangan Mahira ke rumah mereka kepada laki-laki itu. Dia berharap, Raka tidak keberatan.

Vania : Wa'alaikum salam wr wb. Maaf, Ukh. Sy g kos.
Vania : Sy tinggal di komplek perumahan di Solo Baru, Ukh.

Vania lantas mengirimkan alamat rumahnya via google maps.

Ukh Mahira : Oh, ty ttinggal di Amaralia Park Residence ya? Sy pikir Dik Vania kos.

Mahira sudah tahu Vania berasal dari Jakarta. Mungkin inilah yang membuatnya mengira Vania tinggal di indekos.

Sebelum Vania membalas, rupanya Mahira masih melanjutkan mengetik.

Ukh Mahira : G nyangka tyt rumah yg ditinggali Dik Vania dkt sama rumah sy.
Ukh Mahira : Sy tinggal di Perum Gadingan Permai, jaraknya 3 kilo dr Amaralia Park.

Vania terenyak. Ternyata rumah Mahira dekat dengan rumah kontrakan yang ditinggalinya. Entah dia harus bahagia atau malah waswas karena mereka bisa saja berpas-pasan di jalan.

Bagaimana jika Mahira secara tak sengaja bertemu dengannya saat tengah bersama Raka?

Ponselnya bergetar lagi.

Ukh Mahira : kl deket gini, seandainya sy g bisa ngajar iqra, sy bisa dtg lsg ke rumah Dik Vania dong. 😊

Membaca pesan itu membuat Vania makin bertambah khawatir.

Ukh Mahira : Hihi, becanda kok, Dik.
Ukh Mahira :Tp, untuk hr minggu jam 9 sy blh ke rumah Dik Vania, kan?

Vania kembali menggigit ujung bibir bawahnya pelan. Meski sudah membagikan alamatnya, dia masih merasa ragu untuk sekadar mengiyakan.

"Chat dari siapa? Kak Genta?" Suara Sevi mengalihkan perhatiannya.

Vania menggeleng. "Bukan. Dari Ukh Mahira."

Mulut Sevi mengerucut membentuk "O" sambil mengangguk-angguk. "Kirain dari Kak Genta.” Sevi sedikit memajukan tubuhnya. “Emang lo masih sering dikirimi WA sama Kak Genta?"

Vania hanya memandang Sevi sejenak. Dia memilih tidak menjawabnya. Dia khawatir jawaban jujurnya mungkin malah mengecewakan gadis itu.
Hampir setiap hari Genta selalu mengirimi pesan, entah menanyakan kabar, mengingatkan untuk segera makan atau menyuruhnya segera tidur. Namun, tak ada satu pun pesan itu yang dibalasnya. Setelah membaca, dia memilih langsung menghapusnya.

"Gue tiap hari selalu kirim chats ke dia. Tapi, nggak ada satu pun yang dibales. Semuanya dicuekin. Padahal gue sampai ngirimin foto selfie gue yang paling cantik. Eh, tetep aja nggak dibales juga," ungkap Sevi dengan mimik muka ditekuk.

Vania terkejut. Dia pikir Genta adalah sejenis cowok playboy yang mendekati banyak perempuan termasuk dirinya. Agak mengherankan jika gadis secantik Sevi yang memiliki paras dan body sekelas model sampai diabaikan oleh Genta.

"Tapi, gue tetep nggak akan nyerah, Van. Sikap cool dia malah bikin gue jadi penasaran," kata Sevi tidak ingin pesimis. Dia tersenyum penuh arti. "Gue mau gabung ke Mapala Faperta kayak Kak Genta. Gue yakin, gue bakal bisa deketin dia kalau gue gabung di UKM itu,” putusnya penuh dengan keyakinan.

***

Raka meneguk air putih hingga tandas setelah menghabiskan makan malam. Manik matalaki-laki itu membalas tatapan Vania yang sedari tadi tampak memperhatikannya. Vania buru-buru menunduk, menekuri piring yang masih menyisakan nasi hingga setengah bagian. Karena sibuk memikirkan bagaimana harus menyampaikan soal kedatangan Mahira yang akan mengajar iqra di rumah, dia sampai belum menghabiskan makanannya.

"Ada apa?"

Vania terenyak. Ternyata Raka bisa menangkap gestur tubuhnya jika dia ingin membicarakan sesuatu dengan laki-laki itu. Dia menggigit ujung bibir bawahnya pelan.Matanya mengerling ke kanan kiri. "Hm ... kalau misalv... hm … Ukh Mahira ngajar iqra di sini, apa Mas Raka bakal bolehin?"

Raka terdiam sebentar. Ekspresinya datar. Namun, sorot mata itu seakan tak mampu menutupi rasa keterkejutannya. Sebelum disadari Vania, dia lebih dulu mengalihkan pandangan.

"Tadi siang Ukh Mahira WA aku. Dua hari ini dia nggak bisa ngajar iqra di kampus,” jelas Vania memulai cerita kenapa Mahira sampai harus ke rumah mereka untuk mengajar iqra. "Karena Ukh Mahira nggak bisa ngajar, sebagai gantinya, dia bakal dateng ke rumah ini buat ngajar iqra hari Minggu nanti," terangnya melanjutkan.

Raka masih bergeming mendengarkan.
"Hm ... apa ... Mas Raka bakal ngizinin kalau Ukh Mahira ke rumah kita?" tanya Vania hati-hati.

Laki-laki itu belum bersuara. Ekspresi wajahnya tak terbaca.

Vania menunggu dengan cemas. Dia baru mendesah lega ketika laki-laki itu akhirnya mengangguk mengizinkan.
"Selama kalian belajar, saya bisa pergi ke toko, sekalian bisa bantu teman-teman packing barang yang sudah di-order."

Vania tertegun. Di luar dugaannya, Raka justru berinisiatif sendiri keluar rumah saat Mahira mengajar iqra. Padahal sejak tadi, dia sampai kebingungan mencari kalimat yang pas agar tidak sampai menyinggung laki-laki itu.

"Jadi, Mas Raka nggak apa-apa kalau keluar sebentar pas Ukh Mahira ada di sini?" tanya Vania memastikan lagi.

Raka mengangguk samar. Dia kemudian memundurkan kursi, bersiap untuk bangkit. "Oh, ya. Saya ke kamar dulu. Tolong nanti diberesi sekalian, ya?"

Vania pun memberikan jawaban dengan sebuah anggukan. Saat Raka beranjak pergi, ekor matanya terus mengikuti hingga bayangan laki-laki itu menghilang menuju ruang tengah.

Dia segera menyantap kembali makan malam yang masih menyisakan setengah bagian itu dengan lahap. Seolah tiap suapan itu terasa nikmat di lidahnya.

Dia tidak menyadari perubahan mimik suaminya ketika nama itu kembali disebut.

Tbc

***

Ngeblenk mau nulis apa. 🤭

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang