28. Gengsi

160 15 0
                                    

Setibanya Daru dan Zita di sebuah restauran ayam cepat saji, mereka segera memesan makanan dan minuman lalu duduk di bangku yang masih tersedia. Zita menyeruput coke-nya. Sementara Daru sudah siap menyantap daging ayam yang berada di hadapannya.

"Dar, lo mau diterusin ke mana?" tanya Zita sebab sejauh ini ia tidak mengetahui Daru bakalan lanjut kuliah di mana. Saat sebelum mereka berjauhan pun Zita tidak mengetahuinya karena setiap kali Zita tanyai perihal kuliah Daru pasti menjawab; "nggak tahu."

"IPB, Zit."

"IPB? Jurusan?"

"Dokter hewan."

"Waw! Kenapa bisa kepikiran dokter hewan?" tanya Zita dengan mata berbinar. Sejujurnya ia hanya mencoba mencairkan suasana.

Ketika Zita merasa Daru menjauhinya ia tidak menahan Daru sebab bagi Zita itu hal wajar bagi Daru karena Zita merasa sudah menyakiti Daru. Sekarang Zita merindukan Daru. Bagaimana pun juga Daru adalah sosok sahabat terbaik baginya.

"Ada seseorang yang membuat gue mempertimbangkan jurusan itu sampai akhirnya gue pun mantap sama jurusanya." Daru tersenyum singkat kemudian kembali fokus dengan makanannya. Sejujurnya Daru sangat lapar sekali makanya ia lebih fokus ke makanan.

"Siapa? Sany?" tanya Zita langsung membuat Daru tersedak.

Laki-laki itu segera meraih minumannya dan meneguknya sampai dirasa tenggorokannya kembali lega.

"Lo kok—"

"Seminggu yang lalu gue ketemu sama Kak Niko di tempat makan. Terus kita ngobrol dikit deh. Kak Niko juga sadar sama hubungan kita yang merenggang, katanya kenapa gue nggak ke rumah lagi. Dia nanya masalahnya apa, gue ceritain deh. Terus tiba-tiba HP Kak Niko bunyi ada telepon dari nama Sany. Gue bingung kok bisa Sany telepon Kak Niko. Akhirnya gue tanya, Kak Niko cerita deh kalau Sany tinggal di rumah lo. Terus barusan pas gue nebak Sany yang membuat lo pilih jurusan itu gue cuman asal nebak aja."

Daru terkejut mendengar penjelasan Zita. Sekarang ia merasa malu sekaligus kesal.

"Lo nggak kasih tau orang di sekolah tentang Sany yang tinggal di rumah gue, kan?" tanya Daru.

"Nggak, Dar, gue udah dibilangin sama Kak Niko buat nggak ember."

Daru menghela napas lega.

"Tapi orang yang membuat lo pilih jurusan itu Sany, kan?"

Tanpa sadar Daru menarik satu sudut bibirnya. "Sebenarnya bukan sepenuhnya gara-gara dia juga. Tapi dia turut ikut gue meyakinkan."

Zita menarik senyum tipis. Daru yang di depannya ini Daru yang berbeda. Tatapan mata itu terlihat berbeda ketika cowok itu mengucapkan nama Sany.

"Lo suka sama Sany, Dar?"

Daru tiba-tiba saja membelalakan matanya. "Apa? Gue suka sama Sany? Nggak lah, Zit."

Zita terkekeh. "Ya ampun, Dar, jangan ngelak deh. Gue bisa lihat dari tatapan mata lo."

"Emang dari tatapan bisa ketebak? Yang bener tuh dari hati."

"Isi hati emang susah diketahui, Dar. Tapi tatapan mata nggak bisa bohong."

Daru terdiam merasa telak. Sebenanrya entah sejak kapan Daru sudah mulai terbiasa didekati oleh Sany. Entah sejak kapan juga Daru meras Sany tida seburuk yang ia pikirkan.

"Kalau lo nggak suka sama Sany, apa lo masih suka sama gue?"

Bibir Daru merasa kelu. Ia tidak tahu harus berkata apa. Sejujurnya perasaannya kepada Zita sudah biasa saja. Tidak ada hasrat untuk memilikinya lagi. Namun, apabila dikatakan ia tidak menyukai Sany rasanya ada yang ganjal juga dan Daru yakin ia memang tidak menyukai Sany.

Hey, I Love You! (Completed)Where stories live. Discover now