18. Pilihan Masa Depan

141 20 0
                                    

Saat bel istirahat berdering, Sany mendapat panggilan dari Wali Kelas untuk menghadapinya di kantor. Sany tidak tahu kenapa ia dipanggil oleh Wali Kelas sementara ia belum pernah melakukan ulah. Apa selama ini ia bilang 'I Love You' ternyata ketahuan oleh Wali Kelasnya? Ah, tidak mungkin!

Sany menghela napas berat ketika ia sudah berada di depan kantor lekas segera memasukinya.

"Permisi Bu, Ibu panggil saya?" tanya Sany kepada Bu Nilam ketika sudah berada di hadapan Bu Nilam.

Bu Nilam yang sedang berkutat dengan laptopnya mengalihkan pandangannya dan tersenyum kecil. "Eh iya, Sany."

Sany tersenyum. "Bu kenapa yah panggil Sany? Apa Sany ngelakuin kesalahan?"

Bu Nilam terkekeh geli. "Ah bukan Sany, bukan masalah itu."

Sany mengernyitkan dahinya sementara itu Bu Nilam mengeluarkan kertas dari tumpukan kertas yang sepertinya itu kertas-kertas penilaian.

"Coba kamu lihat nilai kamu." Bu nilam menunjuk absen Sany dan memperlihatkan sederet nilainya. "Nilai kamu sebagian lumayan, terutama dalam seni nilai kamu bagus sekali. Tapi, nilai kamu untuk mencapai rata-rata masih jauh, cuman pelajaran Matematika, Kimia dan Fisika nilainya masih rendah."

Sany tidak terkejut melihat nilai ketiga pelajaran itu yang rendah sebab ia sadar diri karena tiga pelajaran itu paling busuk baginya.

"Nah, sebentar lagi UAS, kan? Ibu mau kamu sedikit meningkat dari tiga pelajaran tersebut. Kalau misalnya nilai ulangan kamu nanti tetap rendah, Ibu bakalan sulit menambahkan nilainya. Padahal nilai kamu ini sudah Ibu tambahkan dari nilai sikap dan ulangan harian tapi tetap saja masih rendah."

Sany mengangguk. "Baik Bu, Sany bakalan berusaha."

Bu Nilam menepuk bahu Sany. "Kamu nggak perlu kejar nilai tinggi-tinggi banget, cuman sedikit meningkatkan saja. Jangan jadiin beban yah."

Sany tersenyum. Sebagian dari dalam dirinya merasa sedih karena harus menanggung beban tiga pelajaran memuakkan itu. "Baik, Bu."

"Jangan diambil stres yah, Sany. Kamu cuman butuh meningaktkan saja walupun sedikit. Ibu gak mau sampai anak Ibu stres karena belajar. Lagipula kenapa waktu naik sebelas kamu nggak pindah ke IPS saja?"

Sany tersenyum sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Ada alasan saya tetap memilih IPA, Bu."

"Oh begitu. Ya sudah kamu bisa kembali ke kelas."

Sany mengangguk. "Baik Bu terima kasih."

Bu Nilam mengangguk lalu kembali melihat sederet nilai-nilai anak didiknya. "Ini juga Jaka, tolong yah nanti kamu panggil dia."

"Baik, Bu."

*****

Sementara itu Daru yang sama-sama sedang menghadap Wali Kelas di kantor, ia melihat Sany sedang mengobrol dengan Bu Nilam. Entah apa yang sedang mereka obrolkan, namun ketika Sany berbalik badan untuk keluar dari kantor, Daru bisa menyimpulkan dari raut wajah Sany yang terlihat sedikit muram sepertinya cewek itu sedang mendapat masalah.

"Daru?" panggil Bu Ridha.

Daru terperanjat dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah Bu Ridha.

"Iya, Bu?"

"Kamu dengar apa yang Ibu katakan?"

Daru menggaruk kepalanya. "Maaf Bu, bisa diulang?"

Bu Ridha menghela napas lelah. "Semua anak-anak sudah mengumpulkan formulir karier, mereka sudah menentukan pilihannya. Dan cuman kamu yang belum mengumpulkan, ada apa sama kamu? Kamu masih bingung pilih jurusan atau bagaimana? Nilai kamu bagus, Daru, Ibu rasa kalau kamu masuk kedokteran ada harapan."

Hey, I Love You! (Completed)Where stories live. Discover now