7. Percakapan Malam-malam

155 21 3
                                    

Daru melirik ke arah jam wakernya yang menunjukkan pukul sepuluh lebih. Ia pun lantas menutup bukunya dan mengakhiri belajarnya. Tidak lupa Daru membunyikan jari-jari tangannya yang merasa pegal. Mulutnya pun menguap menandakan dirinya sudah mengantuk. Akan tetapi tenggorokkannya terasa kering dan membutuhkan cairan. Maka Daru pun memutuskan untuk pergi ke dapur untuk mengambil minum.

Ketika Daru menutup pintu kamarnya ia melihat pintu kamar Sany masih terbuka sehingga cahaya lampu dari kamar itu terlihat ke luar.

“Tuh bocah belum tidur juga?” tanya Daru entah kepada siapa. Tidak lama kemudian Daru mendengar suara gelak tawa dari kamar Sany. Karena penasaran Daru pun berjalan dan mengintip dari balik tembok yang membingkai pintu kamar.

“Iya, makanya jadi cowok tuh harus banyak duit biar banyak yang suka,” ucap Sany sambil cekikikan menatap layar laptopnya.

Cowok? Oh jadi dia sebenernya udah punya pacar. Bagus deh, batin Daru—mengedikkan bahunya.

“Oke, Bang, udahan dulu yah. Goodnight!” Sany melambaikan tangannya lalu layar laptop pun menampilkan username Reno13 sudah offline.

Bang? Abang-abang? Batin Daru lagi. Dia pacaran sama abang-abang?Nggak nyangka gue ternyata lo punya sisi gelap juga.

Setelah Sany mematikan laptopnya ia pun bangkit dari kasur untuk menyimpan laptop tersebut di atas meja belajar. Akan tetapi, nyaris saja laptop itu terlepas dari genggamannya ketika Sany melihat Daru berdiri di ambang pintu kamarnya yang tidak menyadari Sany sudah memergokinya—Daru menatap ke arah lain seolah sedang berpikir.

“Kak Daru!” panggil Sany sumringah.
Daru konstan tersadar dan terkejut melihat Sany yang kini menatap dengan tatapan penuh binar.

Anjrit ketahuan! Itu cewek bisa-bisa mikirnya macem-macem, ringis Daru di dalam hatinya. Ia pun segera meninggalkan tempat itu dan segera menuju dapur. Sany yang melihat Daru pergi, cepat-cepat menaruh laptopnya di atas meja dan menyusul Daru. Ia masih berpikir kenapa Daru mengintip ke kamarnya? Apakah Daru sedang kangen sama Sany?
Menyadari Sany mengikutinya, Daru pun menghentikan langkahan kakinya di tengah-tengah anak tangga dan berbalik menatap Sany yang sedang tersenyum.

“Lo ngapain ngikutin gue?”

“Hehehe ... soalnya gue penasaran sama Kak Daru kenapa bisa ada di depan kamar gue. Hayo? Ngaku? Pasti kangen, kan?”

Daru memperlihatkan senyum jijik. “Heh, gue kangen sama lo? Dih ogah banget. Mending gue kangen-kangenan sama kambing daripada kangen sama lo.” Daru kembali melanjutkan jalannya dan Sany tetap mengikutinya.

“Kalau gue kambing Kak Daru juga bakalan kangen sama gue dong?”

“Gue bakalan jadiin lo hewan kurban.”

“Ih tega banget sih!”

Daru menghiraukan perkataan Sany dan berjalan menuju dapur yang sebelumnya ia nyalakan terlebih dahulu lampunya. Setelah itu ia mengambil susu kotak rasa cokelat dari dalam kulkas dan meminumnya saat itu juga.

“Kak Daru suka susu?”

“Pertanyaan lo ambigu. Susu yang mana? Gue suka semua susu,” ucap Daru sambil menarik satu sudut bibirnya. Entah mengapa ia merasa geli dengan pertanyaan Sany. Sayangnya, senyum itu saking kecilnya dan tipis membuat Sany tidak menyadari bahwa Daru kali ini merasa baik-baik saja dengan tingkahnya dan malah tersenyum.

“Yah susu yang itu. Emangnya susu yang mana lagi,” jawab Sany sambil menunjuk susuk kotak yang Daru minum dengan polos.

“Oh ini,” Daru mengacungkan susu kotak itu dan tersenyum geli. “Gue emang suka.”

Mata Sany melotot melihat Daru yang tersenyum seperti itu. Senyum itu bukan senyum paksaan dan bukan juga senyum jahat.

“Senyum!” Sany menunjuk wajah Daru. “Kak Daru barusan senyum!”

Daru mengerutkan dahinya tidak nyaman. “Hei! Dari tadi juga gue senyum! Lonya aja yang nggak lihat! Lagian wajar kali kalau gue senyum. Muka-muka gue. Jadi suka-suka guelah!”

“Ya ampun, ini tuh harus diabadikan Kak Daru senyum sama gue itu hal langka!" seru Sany sambil meloncat-loncat kecil.

Daru pun gelisah dengan tingkah Sany yang berisik karena takut ketahuan oleh keluarganya.

“Suuutt! Lo bisa nggak sih jangan berisik! Nanti keluarga gue pada bangun. Lo harus inget janji kita kalau jangan sampai ada keluarga gue yang tahu hubungan kita sebenarnya.”

Saat itu juga Sany berhenti meloncat-loncat. Bibirnya mencebik. "Ya, namanya juga lagi bahagia. Lagian Kak Daru itu nggak pernah senyum tulus sama gue makanya gue seneng. Terakhir senyum tuh waktu pertama kali aja ketemu di lapangan. Setelahnya lo ketus mulu sama gue. Apa salah gue hei?”

“Anjir bego, masih nanya apa salah lo? Salah lo adalah suka sama gue.”

“Rasa cinta itu nggak bisa disalahin. Salahin tuh orangnya.”

“Ya, makanya lo stop ganggu hidup gue.”

“Sekarang di kamus gue nggak ada kata stop. Jadi Kak Daru nikmatin aja dikejar-kejar sama gue.”

Daru geram. Ia ingin sekali melempar Sany.

“Lo bikin gue emosi mulu. Lagian, lo ngapain sih masih ngejar-ngejar gue kalau ternyata lo udah punya pacar?”

“Siapa yang punya pacar? Gue nggak punya pacar tau.”

“Lah, yang tadi ngobrol sama lo, yang abang-abang itu?”

“Oh itu! Wah Kak Daru diam-diam ngintip! Hahaha Itu mah abang aku, namanya Reno,” jawab Sany. “Emangnya kenapa, sih, Kak? Takut kalau gue jatuh ke lain hati?”

Amin ... semoga kejadian.

“Dih, gue malahan bersyukur nyampe sujud-suju tujuh hari tujuh malah, kalau bisa salto sampai monas kalau lo nggak ngejar-ngejar gue lagi.”

Sany tertawa. “Hahaha tenang aja Kak, Kak Daru nggak perlu capek-capek ngelakuin itu semua karena hati gue tetap sama lo kok,” jawab Sany sambil membentuk hati dari jarinya tangan.

Daru memutarkan bola matanya karena merasa mual. Ia semakin tidak nyaman dengan tingkah Sany. Ia tidak tahu dosa apa yang telah dilakukannya sehingga Tuhan mengirimkan manusia semacam Sany ke dalam kehidupannya.

“Dasar nggak jelas!” gumam Daru seraya meninggalkan dapur.

“Biarpun nggak jelas asalkan nggak nge-blur.”

Mati aja lo sana penganut tai!

Hey, I Love You! (Completed)Where stories live. Discover now