23. Mungkin Saking Sudah Terbiasanya

148 19 0
                                    

Jam pelajaran setelah istirahat pertama ini dilanjutkan dengan jam pelajaran olahraga. Sany tentu saja semangat 45 mengingat dia itu seperti cacing kepanasan kalau saat pelajaran olahraga. Baginya pelajaran olahraga adalah pelajaran kedua yang dia sukai setelah seni. Katanya rugi sekali orang yang tidak menyukai pelajaran olahraga. Apalagi dengan alasan takut terkena sinar matahari yang bisa bikin kulitnya hitam. Zaman sekarang udah ada sunblock kali, kan bisa digunain kan. Kata-katanya yang suka keluar setiap kali Sany sedang nyinyir.

"Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan!" teriak Sany ketika sedang melakukan gerakan pemanasan.

Diantara cewek-cewek di kelasnya ini hanya suara dirinyalah yang paling terdengar. Mungkin penjaga sekolah yang diam-diam sedang merokok di belakang sekolah bisa mendengarnya juga.

"Satu dua tiga empat—"

"San! San!" Seru Sharen sambil mengguncangkan lengan Sany yang sedang mengangkat satu kakinya.

"Apa sih Ren?!" tanyanya sedikit kesal karena Sharen membuat posisi badannya sedikit tidak seimbang.

"Kak Daru tuh!"

"Mana?!" tiba-tiba saja Sany menurunkan kakinya dan matanya mencari-cari keberadaan Daru.

"Itu tuh! Yang barengan sama gerombolan lainnya." Sharen menunjuk ke arah koridor yang di mana Daru bersama teman-teman sekelasnya sedang berjalan untuk menuju lab komputer.

"Panggil ah."

"Anjir lo! Ada Pak Farhan di sini," tegur Sharen mengingat ada guru olahraganya.

"Mana? Gak ada, Ren. Ah ribet! Nanti Kak Darunya keburu hilang lagi."

Tanpa menghiraukan Sharen yang celingak-celinguk mencari keberadaan Pak Farhan yang tadi ia lihat sedang mengawasi mereka, Sany langsung memanggil Daru.

"KAK DARU!"

Di sana Daru sudah menahan napasnya tat kala sebuah suara memanggil namanya. Daru sudah mengenal suara cempreng yang sering masuk ke dalam telinganya itu;si Sany bocah bar-bar penganut tai karena menyukai warna kuning. Bahkan teman-teman sekelas lainnya pun langsung menghentikan langkahan kakinya dan tertawa melihat tingkah Sany yang kini melambai-lambaikan tangannya.

"Duilah Dar, dipanggil bebep tuh." Erik menyenggol bahu Daru. Kemudian matanya melihat ke arah Sany. "SANY! SEMANGATIN DONG DARUNYA! BIAR SEMANGAT BELAJARNYA!"

Sialan memang mulut Erik ini. Ingin rasanya Daru menyumpalinya dengan kaos kaki bau.

"SEMANGAT KAK DARU! JANGAN LUPA BERDOA DULU YAH KALAU MAU BELAJAR BIAR ILMUNYA MASUK KE OTAK!"

Sharen sudah berdesis kemudian menahan napasnya ketika melihat sahabatnya yang otaknya harus segera diganti ini. Sudah sering Sharen menasehati Sany agar tidak terlalu agresif tapi apa daya, yang ada makin hari makin korslet.

"San udah kali, malu tau. Kak Darunya juga pasti malu," tegur Sharen.

"Nggak bakalan!" sanggah Sany. "KAK DARU NGGAK MALU KAN GUE PANGGIL PANGGIL KAYAK GINI?!"

"NGGAK SAN NGGAK!"

"DARU BAHAGIA SAN!"

"BESOK KAWIN AJALAH LO PADA!"

Bukan Daru yang membalas teriakan Sany itu melainkan teman sekalasnya. Daru tidak mau memperpanjang hal ini lagi. Ia pun kembali melangkahkan kakinya diikuti Erik dan Ozra, kemudian teman-temannya yang lain.

"Masih ngejar si Daru lu, San?" tanya teman Sany—Bahar.

"Iyalah! Cinta itu kudu diperjuangkan!"

"Tapi yang lo lakuin jatohnya cringe!" teriak Sharen sudah gemas.

"Yeee, tau rasa aja kalau nanti Kak Daru jadi suka sama gue."

"Paling besok dia baikan lagi sama Kak Zita," cibir Sharen.

"Ih lo tuh dukung gue apa nggak sih sebenernya?"

"Gue dukung lo! Tapi tingkah lo udah kelewatan. Gimana Kak Daru bakalan suka sama lo kalau lonya begini terus."

"Kak Daru bakalan mencintai gue apa adanya."

"Najis! Yang ada Kak Daru tetep pilih Kak Zita."

"Ya udah kalau Kak Daru sama Kak Zita lagi gue—"

"Harus nyerah. Ingat itu," potong Sharen.

Sany mencebikkan bibirnya. Ia kesal dengan perkataan Sharen.

*****

Saat ini Daru sudah berada di lab komputer dan mengerjakan tugas yang diperintahkan oleh gurunya. Sebagian pikirannya diam-diam memikirkan kejadian tadi saat Sany memanggil namanya dengan heboh. Daru memang kesal karena Sany selalu memanggilnya seperti itu, namun entah mengapa kini ia merasa oke tidak apa-apa. Seolah-olah Daru memang sudah terbiasa dan kebal. Rasa kesalnya kepada Sany tidak bergumul seperti dulu. Daru seakan-akan bisa mentoleransinya.

Anjir, ngapain gue harus mikirin yang begituan sih, ucap Daru dalam hati sambil menggelengkan kepalanya.

"Dar, ini gimana dah cara ngebenerin spasinya?" tanya Erik yang duduk di sebelahnya. "Lu ngapain geleng-geleng kepala dah?"

"Nggak. Cuman agak pusing aja." Daru mencondongkan badannya untuk bisa melihat layar monitor komputer Erik. "Mana? Spasi gimana?"

"Ini." Erik menunjuk laya monitor.

"Oh." Kemudian Daru segera memberitahukan cara agar spasi antar huruf tidak acak-acakan lagi. Setelah itu ia kembali ke komputernya.

"Lo tadi diem aja Dar waktu diusilin Sany." Kini Ozra yang duduk di sebelah kanannya Daru bersuara. "Lo udah terbiasa kan sama tingkahnya dia?"

Jika ada lomba manusia paling terpeka di dunia Daru yakin Ozra lah pemenangnya. Cowok itu emang lebih banyak mengerti tentang Daru.

"Lo ngomong apaan? Inget Zra, setiap omongan itu doa."

Ozra tertawa pelan. "Iya gue inget. Selama ini lo selalu amit-amit kalau sama Sany. Doa amit-amit lo itu bertentangan sama rencana Tuhan. Jadinya lo sekarang malah semakin dekat sama Sany, kan?"

Iya sih memang. Semenjak Sany diam di rumahnya, Daru merasa malah semakin dekat dengan Sany. Bukan hanya itu, Daru mulai melihat sosok Sany dari sudut pandang lainnya. Jika dulu ia menutup mata untuk melihat Sany barang sedikit saja, sekarang Daru harus melihat Sany dari segala sisi yang ternyata tidak seburuk itu.

"Selama ini lo yang selalu ceplas-ceplos kalau suatu saat gue bakalan suka balik sama itu cewek dan Tuhan bisa dengerin ceplas-ceplosan lo itu," ucap Daru.

Ozra tertawa terbahak-bahak namun sedetik kemudian ia mulai menyadari ucapan Daru yang janggal itu. "Eh bentar. Omongan lu barusan—DAR?! Lu suka sama Sany?" tanya Ozra dengan setengah berbisik ketika mengucapkan empat kata terakhir.

Daru membulatkan matanya. "Apa sih, Zra. Ngaco lo! Bukan suka! Ya gue, cuman mungkin udah saking terbiasanya digituin sama itu cewek, jadi gue udah ngerasa fine-fine aja."

Ozra tidak bertanya kembali ia malah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda paham. Ozra tahu, Daru mencoba sedang mengelak perasaannya. Cowok itu terlalu gengsi dan mungkin hanya Ozra saja yang kini mulai memahami apa yang sedang cowok itu mulai rasakan.

Hey, I Love You! (Completed)Where stories live. Discover now