Prolog

161K 7.2K 108
                                    

Gadis berambut pendek bergelombang itu mengerling perlahan pada sesosok laki-laki tinggi di sebelahnya. Fortuner hitam yang mengantar mereka menuju kompleks perumahan ini sudah menghilang dari balik pintu gerbang sejak lima menit yang lalu. Pandangannya masih saja terkunci pada titik yang sama. Seolah bayangan mobil itu masih berjejak. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini.

Vania, gadis berambut pendek bergelombang dengan poni menutupi dahi itu buru-buru mengalihkan pandangan saat laki-laki itu menoleh. Dari ekor matanya, Vania bisa menangkap bagaimana ekspresi datar dari laki-laki berkulit putih bersih itu. Sejak bertemu kembali tiga hari yang lalu, dia bahkan masih memasang mimik yang sama; lurus dan tanpa senyum.

"Ayo, masuk! Di luar panas," ajak laki-laki itu setelah hening beberapa saat. Nada suaranya terdengar dingin sedingin bongkahan es yang bersentuhan dengan permukaan kulit, lalu bertahan selama lima detik. Meski tidak terasa menusuk, tetapi sensasi dinginnya seakan menembus pori-pori kulit. Membuat bulu kuduk Vania serasa berdiri.

Tanpa menunggu Vania, laki-laki itu sudah melenggang memasuki pintu pagar yang masih terbuka. Vania bergeming di tempatnya. Dia kembali meraup udarasebanyak mungkin untuk menetralkan pompa jantung yang—sedari tadi—berdegup kencang.

Gadis itu menggigit ujung bibir tipisnya pelan. Entah mengapa, hingga kini diamasih belum memercayai jika yang dilewatinya sekarang ini adalah nyata, bukan mimpi.

Vania mendesah pelan. Dengan berat hati, sepasang kakinya bergerak menuju pintu pagar. Saat mencapai ambang pintu,dia berhenti sejenak. Dipindainya kembali rumah bergaya minimalis itu dengan tatapan yang terasa asing. Rumah bercat putih itu tampak  begitu gersang di matanya. Tak ada satu tanaman pun yang tumbuh di sana. Mungkin pemiliknya memang tidak suka berkebun. Atau bisa saja sang empu membeli rumah ini hanya untuk disewakan sehingga tidak perlu repot menyulap pekarangan menjadi taman kecil yang dipenuhi aneka tanaman hias.

"Kamu mau sampai kapan berdiri di situ?" Suara bass seseorang membuyarkan kebekuan Vania. Dia memandang laki-laki itu, lalu tersenyum canggung kepadanya. Karena terus ditatap, mau tidak mau dia kembali menggerakkan kedua kakinya.

Saat ini dia merasa seperti hendak memasuki sebuah gerbang yang belum terbuka sepenuhnya, lalu di bagian tepipintu, ada seseorang yang tengah menunggunya di sana. Seseorang yang pernah begitu familier dulu, tetapi kini terasa asing baginya.

Ketika jarak semakin dekat, langkahnya memelan. Seolah ada keraguan yang membebani kedua kakinya untuk terus berjalan. Tiap pijakannya terasa seperti ada duri-duri di bawah flatshoes yang dikenakannya. Duri-duri itu tidak sampai melukai. Namun, ada segepok kekhawatiran andaikan sesuatu yang tajam itu sampai menembus alas sepatunya.

Vania berusaha mengenyahkan perasaan itu. Dia memantapkan langkahnya. Apa yang dirisaukannya sekadar kegundahan yang belum tentu terjadi.

Dia harus tahu. Di rumah ini, mungkin warna dalam kehidupannya akan berubah. Entah menjadi kelabu atau justru semakin berwarna seperti indahnya pelangi. Dia berharap, kemungkinan kedua yang akan mewarnai hari-harinya selama tinggal di kota ini.

Ya, lembaran yang baru dari kehidupannya akan dimulai di sini. Di tempat ini. Bersama laki-laki itu.

***

Kangen, nggak sama pasangan ini? 🤭

Bentar lagi ketemu versi novelnya, ya. Yang saya repost ini baru revisi dari saya sebelum sampai di meja editor. Sudah pasti versi novel ada beberapa perbaikan, termasuk banyak tambahannya.

Dan tambahannya itu nggak sekadar extrapart doang. Seperti di part-part awal atau di tengah konflik masih ditambah scene yang baru. Plus, dari yang terakhir di-posting itu masih dilanjutkan lagi sampai ending versi novel.

Dan tentu, dengan epilog yang baru plus extrapart.

Pokoknya nggak rugi kalau kamu kekepin novelnya. 🤭

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang