Empat Belas

Mulai dari awal
                                    

Mamiii! aku malu!

Wajahnya memanas, dan bisa dipastikan pipinya memerah. Rania bahkan tak bisa menyembunyikan wajah memerahnya.

Bahkan setengah jam berlalu tak ada obrolan yang menghiasi. Rahman yang asik dengan Ipadnya, sedangkan Rania sibuk menenangkan detak jantungnya dan mengurangi lilitan di perutnya.

"Aku antar pulang." Rania memalingkan wajahnya, menatap Rahman dengan horor.

"Aku-"

"Ayo, sekalian Mas mau mampir. Kangen Eliya sama Rayya." Potong Rahman yang sudah beranjak dari duduknya.

Rahman tanpa sadar menarik tangan Rania, menggenggamnya erat. Membawa Rania keluar cafe.

Yang tidak tahu adalah Rania tak bisa lagi menutupi debaran di dadanya yang begitu menggila hanya karena sentuhan fisik seperti ini.

Mami, Rania baper.

●◎●◎●◎●◎

Setelah memastikan keadaan Monik yang tengah tidur terlelap, dan kamar yang sudah bersih dari serpihan kaca yang berserakan. Rajenda memutuskan pergi dari sana menuju ruangan kerjanya--yang tadinya milik Jetro.

Tak banyak yang berubah. Rak buku tinggi masih tetap berada di sana, hanya bertambah jumlah buku yang tersusun di sana. Sebagian memang buku mengenai bisnis dan berkaitan tentang usaha textile yang sedang dirintis papinya.

Ada juga beberapa buku kuliahnya, Rania, juga Eliya.

Rajendra memasukkan tangannya ke dalam saku celana bahan berwarna dongker. Bersandar pada meja kerja lebar berlapiskan kaca tebal.

Sejauh mata memandang memang tak ada perubahan. Sofa panjang masih berada di sana. Berhadapan langsung dengan televisi layar datar yang dilengkapi dengan seperangkat DVD player dan sound system.

Juga karpet import yang masih saja halus, padahal sudah bertahun-tahun karpet bercorak abstrak berwarna merah maroon itu menghiasi lantai tersebut.

Rajendra menghela napasnya pelan. Menyugar rambut asal-asalan, membuatnya semakin berantakan.

Harinya sudah kusut. Ditambah dengan keadaan maminya, semakin menambah kekusutannya.

Tangan Rajendra yang mengapit sebatang nikotin terhenti di udara. Mata tajamnya berhenti pada sebuah buku yang tak biasa.

Buku berwarna merah muda, terselip diantar buku-buku kuliahnya. Jelas bukan milik Rajendra.

Tanpa membukanya pun Rajendra tahu pasti siapa pemilik buku ini.

Rajendra membuka cepat buku tersebut melalui ujungnya, yang hanya menampilkan ujung kosong dari setiap halaman.

Bedanya, halaman itu tak lagi kosong. Ada gambar yang menghiasi ujung halaman. Jika dibuka cepat menampilkan gambar yang bergerak.

Ada ilustrasi bergerak di ujungnya, gambar seorang cewek dengan cepolan tinggi di kepala. Seiring kecepatan buku yang dibuka, memperlihatkan gerakan gadis tersebut bergerak untuk mencium pipi seorang lelaki yang sedang menunduk.

Rajendra terkikik, melihat gambar tersebut. Pasalnya adegan di buku tersebut adalah reka ulang adegan Eliya sedang mencium dirinya, yang kala itu sedang ngambek.

Dan Rejendra sadar betul bahwa ialah tersangka utamanya yang mencoret-coret buku tersebut.

Meletakkan buku Eliya di meja, dan kembali menelusuri jejeran buku di depannya.

Masih banyak buku milik mantan istrinya, berjejalan diantar buku-buku lainnya.

Ingatkan ia untuk segera membuangnya, hingga jejak Eliya tak tersisa lagi di rumah dan hidupnya.

Sedangkan sisi hatinya yang lain menyangsikan keinginan Rajendra.

Memilih keluar ruangan dengan membawa sebungkus rokoknya, ia menuju balkon yang berada di lantai dua.

Ada sisa air hujan yang menempel di lantai, meski tak terlalu deras namun masih meninggalkan jejak mendung di langit sore. Mengaburkan cahaya oranye yang selalu ia lihat setiap senja menyapa.

Menyesapnya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya perlahan. Mencoba meresapi asap nikotin yang mampir ditenggorokannya.

"Jendraaa!" Teriakan Eliya serasa memekakkan telinganya.

Di daun pintu balkon, Eliya sudah berdiri dengan berkacak pinggang. Memasang wajah galak, yang justru terlihat lucu di mata Rajendra.

"Kamu itu. Berapa kali sih aku bilang buat nggak ngerokok? Tapi tetep aja ngeyel," Semprot Eliya yang langsung mengambil rokok tersebut, membuangnya ke lantai dan menginjaknya kuat.

"Kan nggak sering juga, El." Elak Rajendra memberengut.

"Kali ini kamu pake alasan apa lagi?" tanya Eliya bersendekap, menyandarkan tubuh kecilnya ke pagar.

"Penat, capek, pusing."

"Ck! Kalo itu, aku juga kali, Jen."

Rajendra meraih pinggang Eliya dan mendempetnya, tanpa bisa mengelak lagi.

Eliya pasrah, memilih mengalungkan tangan ke leher Rajendra. "Kamu tahu aku nggak suka ngeliatnya, kenapa masih nakal aja sih?"

Bukannya menjawab Rajendra menghujani wajah Eliya dengan kecupan bertubi-tubi, membuat pemiliknya terkikik geli.

"Mulut kamu bau rokok." Eliya mendaratkan cubitan kecil di perut Rajendra, membuat lelaki berstatus suaminya ini memekik keras. Berpura-pura kesakitan, justru membuat Eliya semakin gencar mencubitinya.

Tak ayal adegan lari-larian terjadi diantara mereka, meski itu hanyalah sebuah lelucon. Tapi cukup membuat Rajendra dan Eliya bahagia.

Rajendra meniupkan asap rokok yang keluar dari mulut dan hidungnya bersamaan.

Ia ke balkon ingin menghilangkan ingatan Eliya, tapi justru semakin memperparah saja.

Ia seakan terlempar pada memori beberapa tahun yang lalu. Bahkan kini bayangan Eliya tengah berkacak pinggang menghadangnya tepat di depan pintu teras lantai dua.

Sial!

Menyedotnya terakhir kali, Rajendra membuangnya ke lantai dan menginjaknya.

Kalau saja kenangannya bisa terhempas bersamaan dengan asap rokok yang akan nenghilang di udara, maka Rajendra memilih menyesap batangan nikotin itu.

Tapi sayangnya kenangan itu akan terus mengikutinya, tanpa mau berhenti meski ia berlari sekalipun.

●※●※●※●※●

Ngahahahahha, no edit ya, langsung up.

Sowry, kalo typo masih berserakan. Authornya jempolnya offside. 😂😂😂

Kuy lah di baca. hani1806 chamoe91 Jiyastri Yan_Sue akula9i AdeNurhaeni

Bangkalan, 16-09-2018
-Dean Akhmad-

Mantan Suami - Tamat  (HAPUS SEBAGIAN) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang