T I G A P U L U H E M P A T

22.5K 4.2K 283
                                    

"When you think everything is someone else's fault, you will suffer a lot. When you realize that everything springs only from yourself, you will learn both peace and joy. Pride leads to violence and evil. The truly good gaze upon everything with love and understanding." – Dalai Lama.


Perut Raquel mulas ketika mengetuk ruang kerja ayahnya. Jarinya bahkan sedikit gemetar ketika mendorong pintu, setelah dipersilakan oleh sahutan dari dalam. Menampilkan cengiran tak yakin, gadis itu melambaikan tangan pada ayahnya yang sedang duduk di balik meja kerja kerja, "Hai?"

"Hai?" Felix mengulangi dengan nada tak percaya.

"Em, selamat malam?" Raquel mengulangi.

"Masuklah."

Ragu-ragu Raquel menghempaskan diri ke atas kursi di depan meja kerja ayahnya. Pandangannya berputar ke segala arah, termasuk tumpukan berkas di atas meja, sebelum berakhir di pigura bergambarkan Vania. Pemandangan itu membuat Raquel mengerutkan kening, lalu bertanya dengan nada gusar, "Fotoku nggak ada?"

Felix menyandarkan tubuh besarnya ke kursi, "Di kamar."

"Oh," Raquel jadi menggaruk tengkuk dengan salah tingkah, "Fotoku dipandang sebelum tidur, sedangkan foto Ibu dipandang ketika kerja. Itu artinya menatap fotoku bisa membuat istirahat Ayah jadi lebih tenang, sedangkan menatap foto Ibu memacu Ayah untuk kerja lebih keras lagi, karena tak mudah menyenangkan istri mata duitan. Begitu?"

Felix jadi mengangkat alis karena tuduhan itu, "Kamu datang kemari untuk membicarakan masalah foto?"

"Nggak sih," cengir Raquel.

"Jadi?"

Melipat ujung kaus kebesarannya, Raquel mulai berkata, "Aku setuju dengan rencana melakukan konsultasi profesional."

Lama sebelum akhirnya Felix menyahut, "Ayah akan mengaturnya untuk kamu."

"Ya," sejenak gadis itu ragu, tapi lalu menambahkan, "Aku... akan pindah dari tempat ini. Maksudku, aku nggak bisa tinggal bersama Ayah."

Karena Felix diam, Raquel menjelaskan, "Bukan karena aku membenci Ayah atau apalah itu namanya, melainkan karena... ku rasa aku butuh waktu untuk diri sendiri. Aku ingin belajar mandiri."

"Bagaimana dengan Ibu?"

Bahu Raquel terangkat naik, "Kalau Ibu memang ingin rujuk dengan Ayah, aku tidak akan menghalangi. Sejak awal aku hanya ingin yang terbaik untuk Ibu. Dan untuk Ayah."

"Ibu tidak akan setuju dengan keputusan kamu untuk tinggal sendiri."

"Tapi Ayah bisa membantuku untuk meyakinkan Ibu. Benar kan?"

Kali ini Felix terlihat serius, "Oke, apa bagian terbaik dari rencana ini?"

"Aku berencana untuk menyelesaikan kuliah secepat mungin, lalu ikut turun tangan ke dalam bisnis Ayah," mendadak tidak yakin pada ucapannya sendiri, gadis itu meralat, "Maksudku, bisnis yang Ayah daftarkan atas namaku," lalu tidak yakin lagi, "Atau mungkin aku akan memulai perkebunanku sendiri. Nanti, kalau sudah punya modal."

"Ayah setuju," jawab Felix.

"Syaratnya?"

Felix jadi tersenyum, "Kamu belajar dengan cepat," godanya, lalu tiba-tiba saja pria itu kembali serius, "Ayah ingin kamu mengambil kelas bisnis."

"Oke," Raquel langsung setuju, "Sebenarnya aku sudah memikirkan hal ini sebelumnya."

"Satu hal Ann," Felix mengetuk pena mahalnya ke atas meja, "Akan ada banyak hal yang hilang dari hidup kamu, begitu memutuskan untuk membantu Ayah, termasuk berkurangnya waktu dengan anak-anak OB-SITAS band."

R A Q U E LWhere stories live. Discover now