D U A P U L U H S A T U

23.2K 4.1K 78
                                    

Wajah pulas Azryl menjadi pemandangan pertama yang ditangkap oleh indera penglihatan Raquel begitu kesadarannya direnggut dari alam mimpi. Sambil meregangkan tubuh gadis itu memutar pandangan guna mencari sosok Felix, tapi tentu saja pria itu tidak terlihat di manapun. Jarum jam yang menunjukkan angka sembilan bukan hanya menunjukkan kalau waktu sarapan telah terlewatkan, melainkan juga keberadaan Felix yang pasti sudah beranjak untuk mengurus pekerjaan, tanpa merasa perlu memberitahu Raquel kalau ia berada di ranjang yang sama dengan bocah yang selalu dihindarinya.

Ketika Felix menawarkan Raquel untuk ikut serta dalam salah satu perjalanan bisnisnya, Raquel menerima ajakan itu tanpa pernah diberitahu kalau ayahnya akan mengajak Azryl pula. Pria itu hanya berkata kalau ada baiknya untuk sementara waktu Raquel menjauh dari hiruk pikuk kota, agar bisa beristirahat dan memulihkan diri dengan tenang.

Raquel membicarakan tawaran dari ayahnya kepada seluruh personil OB-SITAS Band, dengan Ryan yang memberikan jaminan kalau mereka tidak akan menerima tawaran tampil di manapun dalam waktu dekat. Abram ikut memberi dukungan, meski pemuda itu cemberut dan mengaku akan kesepian selama Raquel berasa di luar kota. Vania tidak terlalu terkesan dengan rencana itu, namun menyerahkan keputusan pada Raquel, karena tahu kalau gadis itu sedikit enggan berdekatan dengannya pasca pertengkaran mereka di rumah sakit. Dengan semua pertimbangan itu Raquel memberanikan diri menerima tawaran ayahnya, menghibur dirinya sendiri dengan berkata kalau ayahnya tak akan membuat suasana berubah menjadi canggung di antara mereka, hanya untuk mendapati Azryl berada dalam penerbangan yang sama dengannya.

Tentu saja Raquel marah dan bahkan murka, tapi tak ada yang bisa dilakukannya, karena selain Felix memang tidak pernah menjanjikan hanya akan mengajak Raquel dalam perjalanan bisnisnya, pria itu juga tidak pernah memaksanya untuk ikut serta. Felix hanya memberi penawaran dan Raquel yang tak pernah belajar dari pengalaman dalam menghadapi kelicikan ayahnya, dengan lugu mengambil keputusan untuk menerima tawaran tersebut begitu saja.

"Hufth," keluh Raquel pada keheningan kamar, "Kapan sih aku belajar dari pengalaman, supaya berhenti meremehkan kelicikan ayah?"

Sambil meratapi kebodohannya, Raquel beranjak pergi untuk membersihkan diri. Tidak banyak waktu yang dihabiskannya untuk mandi, tapi sepertinya gemerisik air cukup mengganggu, karena ketika akhirnya ia kembali ke kamar, Azryl sudah tersadar dan sedang memandangi sekeliling kamar dengan ekspresi bingung.

"Mbaaaaaak," Raquel menjerit memanggil pengasuh Azryl ketika dilihatnya kening bocah itu mulai berkerut, "Anaknya bangun nih."

Persis seperti yang ditakutkan oleh Raquel, Azryl mulai terisak dengan airmata yang meluncur membasahi pipinya. Bocah itu tampak kebingungan karena selain tak menemukan orang yang dikenalnya, ruangan yang mereka tempati juga asing baginya.

"Mbak!" Raquel mencoba peruntungan dengan sekali lagi menjerit untuk memanggil pengasuh si bocah, namun malang baginya, isakan Azryl justru berubah jadi sedu sedan karena nada tinggi yang digunakannya, "Bangs...," Raquel menggertakkan gigi, menahan keinginan untuk mengumpat dan dengan langkah berderap keluar dari kamar untuk mencari pengasuh Azryl yang seharusnya selalu siap sedia di samping bocah itu, "Mbak!!"

Langkah pendek dan cepat yang menghampiri membuat Raquel menoleh, namun bukan pengasuh Azryl yang datang, melainkan sosok bertubuh tambun yang tak dikenalinya. Wanita itu memasang senyum ramah, namun perut Raquel mulas karena nada menjilat yang terselip di dalam suaranya, "Mbak Ann kan?"

"Iya," bagaimanapun Raquel tetap menjawab, "Mbak Asih mana? Azryl nangis."

"Mbak Asih pamit keluar untuk membeli perlengkapan Mas Azryl yang katanya ketinggalan di rumah."

"Kenapa Mbak Asih harus ikut pergi sih? Kalau cuma keperluan semacam itu, titip Om Tio juga beres," omel Raquel menyebutkan supir ayahnya.

"Mmm, Mbak Asih keluar dengan Pak Putra," ada nada halus yang Raquel ketahui sebagai informasi bernada memancing dalam kalimat itu, "Bukan Om Tio."

Raquel menggigit lidahnya sendiri agar tak mempertanyakan sosok yang baru saja disebutkan oleh wanita di depannya. Sebagai gantinya, ia bertanya, "Ayah di mana?"

"Ke lapangan, Mbak."

"Ya Tuhan," desah Raquel sambil merogoh saku untuk meraih ponsel, "Ya udah, aku telepon ayah aja."

"Anu, Mbak," sahut wanita itu lagi, "Jaringan telepon di sini sangat terbatas, karena itu, besar kemungkinan bapak nggak bisa dihubungi."

Kedua mata Raquel membulat karena informasi. Dengan panik gadis itu menunjuk kamar tempat di mana tangisan Azryl telah berubah menjadi jeritan histeris, lalu bertanya, "Ibu tahu cara mengurus bocah? Dia nggak berhenti nangis sejak tadi."

Dengan gelisah Raquel mengikuti langkah wanita yang bahkan tidak ia ketahui namanya itu. Pandangannya nanar ketika menyaksikan bagaimana wanita itu mencoba untuk menenangkan Azryl, hanya untuk mendapati bocah itu mengamuk lebih dari sebelumnya. Bocah itu bahkan melemparkan tubuhnya ke ranjang, lalu mulai menendang ke segala arah untuk menunjukkan kemarahannya.

"Kamu mau ayah?" tidak tahan lagi, akhirnya Raquel bertanya pada si bocah, "Kalau mau ayah, udah nangisnya. Kita cari ayah."

Teguran itu tidak membuat Azryl berhenti menangis, tapi setidaknya bocah itu berhenti mengamuk. Dengan kedua tangannya bocah itu mencoba menghapus airmata yang melelehi pipinya, lalu memberitahu keinginannya, "Ayah."

"Oke, kita cari ayah," ucap Raquel sambil memberi tanda agar bocah itu turun dari ranjang, "Ayo, turun dari sana."

Azryl sedang mencoba merosot dari ranjang ketika horden disibakkan dari luar. Dalam sekejap tubuh besar Felix sudah memenuhi ambang pintu, lalu Raquel melihat ekspresi cemas pria itu berganti menjadi terkejut demi melihat Azryl dengan airmata dan ingus di pipi, mencoba merosot turun dari ranjang dengan usahanya sendiri, sementara Raquel berdiri di sudut ruangan tanpa mencoba memberi bantuan. Raquel menunggu ekspresi ayahnya berubah menjadi kecewa atau bahkan murka, tapi Felix hanya mengembuskan napas panjang, kemudian melangkah menuju ranjang untuk menolong Azryl yang langsung menenggelamkan wajah ke dalam pundaknya.

"Kenapa Azryl nangis? Hm?"

Tersedu Azryl berusaha menjelaskan penyebab tangisannya, sementara Felix mendengarkan dengan sabar. Pandangan Raquel nanar menyaksikan kejadian itu, karena satu kesadaran merasuki pemikirannya, bahwa rasa hampa dan sedih inilah yang dirasakan Azryl ketika menangis meminta pertolongan, namun ia justru mengambil jarak dan bahkan tak sudi menyebut nama bocah itu.

Raquel tidak ingin memiliki kedekatan dengan Azryl. Selain karena merasa mengkhianati ibunya dengan menerima keberadaan bocah itu, Raquel juga tak bisa mengabaikan rasa sakit yang memenuhi dadanya, tiap kali menatap bocah itu. Ia sudah cukup terluka dengan keadaannya saat ini, tapi kenapa hati kecilnya berkhianat dengan mengirimkan rasa sakit yang jauh lebih besar lagi, karena kesadaran akan kesedihan yang membayangi kedua mata Azryl yang dipenuhi genangan airmata selagi bocah itu menatap kepergiannya?

Bahkan sampai ia berhasil keluar dari ruangan menyesakkan itu, Raquel tak pernah bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya.
**

Jess note :

Untuk yang ikut po Keping-Patah-TRP, buku sudah dalam antrean cetak. Setiap perkembangan yang diberitakan oleh percetakan, akan saya bagikan melalui media sosial saya.

Salam, J.

R A Q U E LWhere stories live. Discover now