S2

2.5K 243 39
                                    

ZELIN POV

Yang pertama sekali yang ingin aku katakan yaitu aku minta maaf. Aku sangat menyesal telah meninggalkanmu menangis sendirian minggu lalu, seharusnya aku tidak melakukan itu setelah menciummu. Aku tau ini terdengar seperti seseorang yang sangat brengsek, tapi aku sungguh bingung. Aku tidak bisa bohong kalau aku menyayangimu zelin. Aku tak tau alasannya, jika menemukan satu alasan saja pasti aku akan mengenyahkannya saat ini juga. Tentang ciuman waktu lalu, aku tidak ingin kita melupakannya seolah itu tidak pernah terjadi. Karena aku tau itu tidak akan berhasil. Selama ini aku tidak pernah berpikir bahwa kita bisa memiliki perasaan tulus untuk lebih dari satu orang, tapi kamu meyakinkanku kalau itu salah besar. Namun aku juga tidak ingin itu menjadi alasan aku meninggalkan aira, aku mencintainya dan aku tidak akan pernah meninggalkannya. Aku minta maaf atas situasi sulit yang kamu alami. Aku masih berharap kita masih bisa berteman seperti aku menganggap vania atau ester sebagai teman.
-Edrea-


Aku menutup pesan yang dikirimkan oleh Ed ketika di pantai kemarin padaku. Aku selalu membaca pesan ini berkali-kali, sedikit agak terkejut ketika Ed jujur mengakui kalau dia sungguh menyayangiku karna kurasa aku tidak pantas mendapatkannya. Aira dan Ed sangat serasi. Aku dan Ed hanya cocok sebagai teman. Aku yakin itu. Ya, kita pasti bisa berteman.

Matahari sudah tenggelam. Kami sudah berjanji akan berangkat bersama saat jam tujuh malam ini. Mereka akan menjemputku sebentar lagi. Secepat kilat aku sudah menyelesaikan ritual mandiku yang biasanya tak kurang dari lima menit, tapi sepertinya sekarang aku baru saja menyelesaikan rekor tercepat mandi seumur hidupku. Karena jika aku mandi lama, maka aku tidak akan punya cukup waktu untuk memakai baju dan berdandan. Oke, karena aku berdandan sangat lama sekali.

Aku berjalan menuruni tangga sedikit pelan ketika melihat papa duduk di ruang tamu dengan laptop di pangkuannya.

"Pa, zelin pamit ya pa. Teman udah nungguin di luar." ucapku hati-hati. Takut tiba-tiba papa melarangku pergi.

Dia menaruh laptop nya di meja, lalu menarik kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya. Aku menggigit bibir bawahku menahan gugup bercampur khawatir karena papa tidak hentinya menatapku dari atas ke bawah begitu intens.

"Akhir-akhir ini papa sibuk. Tidak sadar kalau anak perempuan papa satu-satunya sudah tumbuh menjadi sangat cantik. "

Malam ini aku mengenakan dress biru muda selutut tanpa lengan. Rambut lurusku dibiarkan tergerai, sebuah tas selempeng kecil di bahu kiri.

Aku tidak suka pujian dari papa. Aku takut mendengar setiap kali dia memujiku. Membuatku kembali teringat akan malam-malam yang mengerikan itu. Malam-malam ketika pintu kamarku di buka. Malam mencekam yang memaksaku membenci orang yang seharusnya aku sayangi. Seberapa besar rasaku untuk membencinya ternyata tak lebih besar dari rasa menyayangiku untuknya, ayahku sendiri.

"Pergilah. Jangan pulang terlalu larut. " papa mencium keningku membiarkanku keluar dari rumah. Sikap baiknya tak menghilangkan rasa takutku padanya, karena kekejamannya berawal dari sikap manisnya itu.

Sesampainya di gerbang, aku melihat mobil sport merah telah menunggu.

"Ester?? Kamu ikut juga?. "

Aku bingung melihat sahabat Ed itu duduk di sampingku. Sedangkan Ed di balik kemudi dengan Aira di sebelahnya.

"Tanya aja sama Rea. Dia memaksaku dengan ancaman yang membuatku ingin menendangnya saat ini juga "

Ucapannya yang cukup ngeri sangat kontras dengan wajahnya yang di buat datar membuat kami semua terkikik geli, terutama Ed. Pasti Ester sangat kesal sekali.

Mobil sudah menjauh dari rumahku. Pandanganku pun sudah beralih ke depan tidak lagi menghadap Ester yang sibuk dengan ponselnya.

Berdetak. Berdetak. Berhenti.
Tarik napas. Hembuskan. Tarik. Hembuskan.

WishesWhere stories live. Discover now