Hampir Sehari Setelahnya

441 38 68
                                    

*Kawan-kawan. Tolong bantu saya merevisi bagian ini, ya? Sepertinya saya belum terlalu puas. Bagaimana? Setuju, kan? Oke, selamat membaca ^^

Sekitar 14 Jam Setelahnya

Gua udah mutusin buat nggak dateng ke sana, Rik. Awalnya, karena gua benci sama dia. Tapi, setelah gua sadar kalo dia nggak layak dibenci, keputusan itu ternyata masih berlaku. Cuma alesannya aja yang berubah.

Dan sekarang, apa lu bener-bener pengen gua dateng ke sana? Gua ragu bisa ngelakuin itu.

Eh, tunggu. Emangnya Dinar beneran meninggal? Bodoh! Kenapa gua jadi nanyain pertanyaan yang udah jelas jawabannya, sih? Sorry, Rik. Mungkin gua masih kaget.

***

Sebuah kemeja berwarna hitam kukeluarkan dari lemari pakaianku. Kemeja itu kukenakan untuk merespon keputusan yang sudah kubulatkan sejak beberapa waktu yang lalu. Walaupun separuh lebih dari diriku dikuasai oleh keraguan, keputusan itu tetap harus kujalankan.

Ya, aku memutuskan untuk menghadiri prosesi pemakaman Dinar. Sedari awal, aku sudah mengira bahwa berdiam diri di rumah dan bergelut dengan berbagai asumsi, memanglah bukan keputusan yang tepat. Hanya saja, ada satu hal yang membuatnya menjadi berat.

Untungnya, aku mampu menguatkan diriku untuk sementara waktu. Dan semoga saja akan tetap seperti itu. Sampai urusanku dengan Riko selesai. Ia berhutang begitu banyak penjelasan kepadaku. Aku sudah tidak sabar untuk bisa menagihnya. Seraya berharap penjelasan darinya itu akan mampu meringankan beban yang ada di kepalaku.

"Tunggu, apa lu udah yakin, Yo?" tanyaku, pada wajahku sendiri yang terpantul lewat kaca spion.

Reka adegan kebersamaanku dengan Dinar seketika berputar di kepala. Aku menikmatinya. Sebelum akhirnya memilih untuk membuyarkannya. Setelah kedapatan adegan di mana ia menatapku bagaikan seekor elang yang ingin segera membawa mangsanya terbang. Anehnya, aku membuat-buat senyum.

"Jangan lihatin aku kayak gitu. Rain," kataku. Entah kepada siapa.

Aku melajukan motorku. Jalan damai kutempuh sebentar atas pergulatanku dengan keraguan. Ia memanyunkan bibirnya. Mungkin merasa kalah. Karena motor yang kukendarai itu terus saja melaju tanpa berniat untuk kembali ke rumah. Hanya saja, aku memberhentikannya sejenak. Tepat di depan gang rumah Dinar. Ramai. Tapi, tidak terlalu. Itulah yang kulihat.

Dugaanku sepertinya memang benar. Aku sengaja memperlambat kedatanganku ke prosesi pemakaman Dinar. Bukan tanpa alasan. Sebab, tujuanku datang ke sana adalah untuk menemui Riko. Bukan menemui Dinar. Dan, dengan keterlambatan itu, aku berharap: ketika aku sampai, prosesinya sudah selesai. Ternyata belum. Akan tetapi, kelihatannya sedikit lagi.

Aku memutuskan untuk menunggu. Dan di saat itu, keraguan kembali mengganggu. Separuh diriku mengatakan jika aku harus berbaur dengan keramaian di depan mataku. Namun, aku tidak bisa melakukan itu. Karena aku khawatir tidak kuat menanggapi orang-orang di sana yang kemungkinan besar akan berbelasungkawa kepadaku.

Untuk itu, separuh diriku yang lain mengatakan jika ada baiknya bila aku tetap menunggu saja di tempatku. Namun, aku juga sepertinya tidak bisa melakukan itu. Terus terang, aku khawatir bila keesokan harinya akan menyesal. Karena tidak memberikan sumbangsih apa-apa yang berkaitan dengan penghormatan terakhir untuk Dinar.

"Ini terasa sulit. Sama seperti biasanya," ucapku, pelan.

Aku diam sebentar. Lalu, berbalik badan. Itu adalah caraku untuk merespon apa yang baru saja kuputuskan. Ya, aku memutuskan untuk tidak memilih kedua-duanya. Aku akan pulang. Dan, semoga saja itu merupakan pilihan yang tepat. Sebab, aku bisa mempersiapkan diriku untuk segudang ucapan belasungkawa dan juga mengirimkan Dinar setumpuk doa.

I Hate RainWhere stories live. Discover now