102 Hari Sebelumnya 💦

916 160 183
                                    

Malam itu sekitar pukul delapan, rasa jenuh dan ketidakjelasan membuatku menghubungi Riko lewat sambungan telepon. Aku memintanya untuk menemaniku—entah ke mana. Hanya ingin menenangkan pikiran, serta sedikit berbagi cerita; tentang Dinar, juga tentang kegiatan Riko di OSIS. Kebetulan besoknya adalah Hari Minggu. Jadi, kupikir kita bisa sedikit lebih santai, bila harus pulang larut malam sekalipun.

Setelah beradu usul, akhirnya kita sepakat untuk menjadikan Restful—salah satu kafe yang terbilang cukup sering kita kunjungi—sebagai tempat tujuan di malam itu. Jarak yang tidak jauh menjadi bahan pertimbangan bagi Riko. Sementara aku sendiri lebih memilih untuk mengiyakan saja. Maklum, kita memang sedang sama-sama malas—hanya berbeda nama dan sasarannya saja.

Meski dapat ditempuh dalam waktu kurang dari sepuluh menit, aku meminta Riko yang menjemput sekaligus memboncengku pada malam hari itu. Selain karena motor yang biasa kugunakan kondisinya sedang tidak beres, juga karena aku sedang tidak ingin berada di kursi pengemudi. Tak berhenti sampai di situ, aku juga meminta Riko untuk tidak mengajakku mengobrol di sepanjang perjalanan. Entah kenapa, aku sedang ingin benar-benar menikmati gemerlap kota.

Jam digital yang terpampang pada layar ponselku tengah menunjukkan pukul setengah sembilan kurang lima menit, ketika salah seorang Barista di kafe tersebut mengantarkan pesanan ke meja kita. Segelas Affogato dan sepiring roti bakar coklat keju menjadi menu yang dipesan oleh Riko. Sementara aku hanya memesan secangkir Black Coffe—yang sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan suasana hatiku di malam itu.

"Yo, lu bener enggak mau pesen makanan?"

Riko bertanya, seolah memastikan bahwa aku tidak menyesali keputusan yang telah kubuat. Walau sebenarnya tidak akan mungkin. Sebab, tujuanku duduk di hadapannya pada malam hari itu adalah untuk menenangkan pikiran, bukan untuk mengisi perut—bukan juga karena tidak mau membayar lebih. Pesanan Riko saja aku yang menanggung, sebagai kesepakatan untuk menyingkirkan rasa malasnya. Tunggu, apa jangan-jangan karena itu?

"Santai kali, Rik. Nanti kalau berubah pikiran, gua bisa langsung pesen," balasku.

Sempat terdiam selama beberapa saat, Riko kembali mencoba meruntuhkan pendirianku. Sepertinya, lelaki yang baru saja memotong ujung dari roti bakarnya itu memang meminta untuk ditemani makan. Mungkin jeda di waktu sebelumnya ia gunakan untuk memikirkan kalimat persuasi macam apalagi yang harus ia keluarkan. Sampai pada akhirnya jawabanku mampu membuatnya memahami bahwasanya semua itu sia-sia.

"Biasanya ini jadi menu favorit lu, sih, kalau kita ke sini. Hampir enggak pernah absen."

Riko menyendok potongan roti bakar ke dalam mulutnya.

"Enggak buat malam ini, Rik."

"Mau nyoba, enggak?" tanyanya.

Aku hanya memberikan tatapan malasku padanya. Seolah menjadi isyarat bahwa sebaiknya ia berhenti menggodaku dan mulai menikmati hidangan di hadapannya.

"Kali aja." Nadanya bicara merendah.

"Udah, makan. Resah banget lu kayaknya," kataku, sekaligus menutup basa-basi yang terkesan tidak perlu itu.

Setelahnya, situasi menjadi lebih kondusif. Riko mulai benar-benar menikmati paduan coklat keju dalam roti bakarnya, sembari sesekali menyendok es krim dalam gelasnya yang mulai meleleh. Tak mau kalah, aku menyesap sedikit kopi yang telah disajikan tepat di samping laptopku. Lantas, mengembalikannya ke tempat semula. Ah, dalam situasi seperti ini saja, aku masih sempat-sempatnya bersitatap dengan layar laptop.

Deadline, kataku pada diri sendiri. Padahal semua itu tidak lebih hanya sekedar ambisi semata. Sialnya, fokus sempat kudapatkan selama beberapa saat. Paling tidak, sebelum sebuah getaran kecil terasa cukup mengganggu di permukaan meja—tempat aku dan Riko menyandarkan tangan. Kita yang sedang sibuk dengan urusan masing-masing, seketika itu juga menoleh ke arah yang hampir sama; ponsel milik kita yang tergeletak berseberangan.

I Hate RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang