Hari Terakhir (3)

566 44 240
                                    

*Dengan rilisnya part ini berarti sampailah IHR pada puncak cerita. Part ini saya tulis dengan sangat hati-hati. Sebab, bila salah sedikit saja akan ada yang terasa janggal. Nah, kalau kawan-kawan merasa ada yang janggal mohon bantu saya dengan cara mengatakannya, oke? Terima kasih... Selamat membaca ^^

Sekitar 2 Jam Sebelumnya

Ketika baru saja tiba di rumah Dinar, hal pertama yang kusadari adalah pintu pagarnya terbuka. Hal kedua yang kusadari adalah pintu rumahnya pun terbuka. Awalnya, aku mengira sedang ada tamu. Tapi, langsung kubuang jauh-jauh anggapan itu ketika sadar kalau rumah Dinar malam itu terkesan sepi-sepi saja. Bahkan, motor milik ibunya yang biasa terparkir tepat di dalam pagar, malam itu pun tidak ada wujudnya.

Aku melangkahkan kakiku dengan leluasa sampai ke bibir teras rumahnya. Saat itu aku berniat untuk mengucapkan salam. Tapi, ternyata itu tidak terjadi. Mataku lebih pandai bekerja ketimbang bibirku. Perbuatan nakalnya yang melongok ke bagian ruang tamu rumah bercat putih itu membuatku seketika terkejut.

Ibunya Dinar sedang duduk di sana dengan gelagat yang menunjukkan kalau dirinya saat itu sedang tidak baik-baik saja. Kedua sisi kepala beliau nampak tersangga oleh kedua telapak tangannya. Wajahnya pun terlihat basah oleh air mata.

"Tante!" tegurku.

Tanpa pikir panjang, aku pun mendekat ke arahnya. Beliau menyeka air matanya dengan kasar. Penampilannya pun sedikit dirapikan, sehingga dapat terlihat lebih baik ketimbang sebelumnya. Firasatku mengatakan bahwa ini bukan situasi yang baik. Pikiranku mempertanyakan Dinar, karena ialah yang tidak ada di ruang itu. Tapi, pertanyaan pertama yang terlontar dariku bukanlah menanyakan keberadaannya.

"Tante kenapa?" tanyaku.

"Dinar pergi lagi, Yo."

Selepas menjawab pertanyaanku itu, beliau mengusap-usap pangkal hidungnya, tepat di tempat biasanya air mata akan keluar. Mungkin beliau berusaha menghapusnya sedini mungkin, supaya bisa terlihat sedikit tegar di hadapanku. Seingatku, itu adalah kali kedua aku melihat beliau menangis. Hebatnya, alasannya sama, yaitu: Dinar pergi dari rumah. Bedanya, kali pertama waktu itu ada Rina di ruangan ini yang berperan penting untuk menenangkan beliau. Dan, ketiadaan Rina itu membuatku sedikit kepayahan dalam bersikap.

Aku sendiri bingung harus menanyakan apalagi. Ingin rasanya menanyakan kenapa Dinar sampai bisa pergi dari rumah. Tapi, mengingat pertanyaan pertamaku dijawab oleh beliau dengan sangat singkat, aku mengurungkannya. Beliau memang sangat mencerminkan sifat anaknya. Walaupun, mungkin saja niatnya bukan mengarah ke sana.

Dengan beberapa anggapan itu, akhirnya kuputuskan bahwa satu-satunya sikap terbaik yang harus kulakukan saat itu adalah mencari ke mana perginya Dinar. Dan, saat itu kurasa itu akan mudah. Mengingat, waktu pertama kali ia bertingkah seperti itu, aku bisa dengan mudah membaca ke mana tujuannya. Dan, dengan mudahnya pun menitipkannya pada Rina supaya bisa sampai ke rumah.

Dengan rasa yakin yang sedikit kelewatan itu, aku menjauh dari jangkauan ibunya. Setelah sebelumnya mengatakan kalau aku akan mencari anaknya dan membawanya kembali ke rumah. Ini bukan lagi sekedar kalimat penghibur belaka. Tapi, memang malam itu aku sangat yakin akan menemukannya dengan mudah. Sebegitu yakinnya aku malam itu. Sampai-sampai itu akan menjadi salah satu keputusan yang kusesali di kemudian hari.

Beberapa saat kemudian, keyakinan itu memudar. Separuh lebih. Malam itu memang gerimis kecil. Dan, Dinar memang punya sebuah masalah dengan ibunya sampai-sampai ia memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Malam itu memang bisa dikatakan sama seperti malam di mana Dinar juga bertingkah seperti itu sebelumnya. Tapi, ketika kasusnya sama, waktunya sama, sebabnya sama, dan pelakunya pun sama, belum tentu tempat tujuannya pun akan sama.

I Hate RainWhere stories live. Discover now