Chapter 54 - Selfish

Start from the beginning
                                    

William mengalihkan fokusnya kembali pada ponsel dan menggeser tombol hijau, tanda menerima panggilan. Erick. Sudah lama sejak mereka saling mengenal, tapi William tak terlalu akrab dengannya. Meski mereka sering minum bersama, William tak pernah terbuka akan masalahnya dengan Erick, begitupula sebaliknya.

Yah, memang pada dasarnya William berubah menjadi tertutup setelah kepergian Nancy. Dia lebih suka menyimpan semuanya sendiri karena terlalu takut ... kalau kebahagiaannya akan terengut lagi nantinya.

"Kenapa?" sapa William dengan suaranya yang berat ketika panggilan sudah terhubung.

"Aku sedang tidak dalam mood untuk berbasa-basi jadi langsung saja, ya. Bisakah kau sambungkan teleponnya dengan Margo sekarang? Aku ingin berbicara penting padanya. Soal Daniel."

William menarik napasnya berat ketika mendengar ucapan Erick. Terlihat malas, meski raut wajah lelaki itu tidak berubah sedikit pun.

Kenapa harus selalu ada Daniel di antara dirinya dan Margo?

Sesungguhnya, William mulai merasa muak karena hal itu.

"Maaf. Aku tak bersama Margo." William menurunkan volume suaranya sembari menatap Margo yang tengah asik mengisi vas dengan air jernih. "Aku tak mengerti apa yang kaubicarakan.

"Jangan pura-pura bodoh. Aku sudah melacak keberadaan Margo, dan di sedang bersamamu. Aku tak bisa menghubunginya karena ponselnya mati sejak seminggu yang lalu. Jadi tolong ... sambungkan aku dengannya. Ada yang harus aku bicarakan."

"Aku tak peduli." William tak mau mendengarkan celotehan tak penting Erick. "Margo sudah bahagia di sini. Dia tak butuh Daniel lagi."

"What the f*ck! Bisakah kau berikan ponselnya saja? Ini darurat!" Erick kehabisan kesabarannya ketika William malah mengulur waktu, padahal dia harus memberitahu pada Margo kondisi Daniel secepatnya.

William membalikkan tubuhnya, membelakangi Margo. Lelaki itu menghela napasnya dalam-dalam sebelum berbicara, "Margo sudah bahagia denganku. Katakan pada Daniel, sebaiknya dia kembali bersama Amy karena Margo tidak akan pernah kembali padanya."

Erick terdiam beberapa saat di sebrang sana setelah mendengarkan ucapan William. Hanya sejenak, karena setelahnya lelaki itu menarik napas panjang.

"Akhirnya aku melihat tabiat aslimu." Erick berkata dengan suara yang menggema, setelah diam untuk beberapa detik. "Bukan sebagai William yang terkenal dingin atau kasar pada wanita. Hanya ... sebagai William yang asli. Well, sejak awal aku tahu kau tidak pernah bertindak seperti dirimu sendiri. Dan apa kau sadar, Will? Kalau kau sangat egois. Kau egois pada Margo. Kau tahu dia membutuhkan Daniel lebih dari apa pun. Tapi keinginanmu untuk memilikinya membuatmu lebih memilih untuk menutup mata, bukan?"

"Kau salah. Aku selalu seperti ini dan tak akan pernah berubah." William memutar bola matanya, tak memedulikan ucapan panjang Erick, "Kalau tak ada yang mau dibicarakan lagi, aku tutup teleponnya."

"DANIEL KOMA DAN LUMPUH. DIA KECELAKAAN KARENA BERUSAHA MENYUSUL MARGO KE SWISS. DIA BELUM SADARKAN DIRI SAMPAI SEKARANG. OLEH KARENA ITU, BISA AKU BERBICARA PADA MARGO SEKARANG?" Erick berteriak dengan suaranya yang besar, membuat William mau tak mau menjauhkan ponselnya dari telinga. Demi keselamatan diri sendiri.

"DEMI TUHAN, AKU HARUS BERBICARA PADA MARGO!" Erick menyambung dengan frustrasi.

William itu tertegun di tempatnya ketika otaknya baru saja selesai memproses apa yang Erick katakan. Mulutnya menganga untuk sedetik.

Tunggu dulu, tadi Erick bilang apa?

Daniel? Kecelakaan? Lumpuh?

Bagaimana bisa?!

Sesaat, hati William merasa nyeri karena teman dekatnya harus mengalami tragedi yang mengerikan. Ya, itu yang William pikirkan pada awalnya.

Tapi ... otaknya ternyata lebih jahat daripada yang terlihat. Seulas senyum mengembang di bibir William, tepat setelah kemungkinan bahwa Margo akan meninggalkan Daniel karena lelaki itu cacat menelusup ke benaknya.

Pemikiran itu hanya sebentar karena William langsung berubah pikiran setelahnya.

Ya, dia tak ingin memberitahu Margo soal kondisi Daniel. William tak mau mengambil risiko kalau Margo akan pergi dan meninggalkannya di sini sendirian setelah mendengar kabar soal kecelakaan Daniel. Mengingat wanita itu baik hati, William jadi ragu kalau Margo akan berhenti mencintai Daniel hanya karena kondisi fisiknya yang tak lagi sempurna.

Oleh karena itu, menurut William, jalan terbaik adalah tetap diam. Tidak memberitahu Margo tentang apa yang terjadi. Membiarkan wanita itu tetap bahagia setiap harinya.

Toh Daniel sekarang sedang koma, jadi lelaki itu tak akan menganggu hubungan yang William buat dengan Margo.

Sesegera mungkin, William akan membuat Margo jatuh ke pelukannya seutuhnya.

Dan ya ... setidaknya dengan cara seperti ini, William bisa menahan Margo di sisinya.

Setidaknya dengan cara seperti ini, Margo bisa terus bahagia ... meski dia tidak tahu tentang hal yang terjadi di luar sana.

Setidaknya dengan demikian ... William bisa memiliki Margo sepenuhnya tanpa ganggian Daniel. William sama sekali tak peduli dengan kondisi Daniel sekarang.

Egoiskah dia? Karena dia ... terlalu mencintai Margo?

"Bukankah akan lebih bagus kalau Daniel mati saja dibandingkan dengan dia lumpuh dan koma?" tanya William. "Jika dia mati, maka semuanya akan jauh lebih baik. Tak ada yang menyakiti Margo lagi ... dan dia akan bahagia denganku di sini."

"BERENGSEK! BAGAIMANA BISA KAU BERBICARA SEPERTI ITU DI SAAT TEMANMU TENGAH TERBUJUR KAKU DI RUMAH SAKIT? APA KAU SUDAH GILA?! HANYA KARENA CINTA, KAU MENDOAKAN DANIEL MATI?!"

"OTAKMU PASTI RUSAK, WILL! DANIEL DAN MARGO SALING MENCINTAI. MEREKA SALING MEMBUTUHKAN. DANIEL SUDAH BERJANJI TIDAK AKAN MENYAKITI MARGO LAGI. DAN DANIEL BERHAK MENDAPAT KESEMPATAN KEDUA. OLEH KARENA ITU, BIARKAN AKU BERBICARA DENGAN MARGO SEKARANG. AKU---"

"Aku tidak peduli. Selamat tinggal." William mematikan teleponnya sebelum Erick selesai mengoceh. Lelaki itu menghela napasnya berat ... hendak berbalik ke belakang. Namun, yang didapatinya justru membuat William terkejut setengah mati.

Prang!!!

Vas itu terjatuh dari tangan seorang wanita yang perutnya membuncit karena hamil. Pandangan mata Margo tak lagi fokus sesaat setelah dia menghempaskan beling itu ke lantai. Otaknya tak bisa berpikir dengan baik. Napasnya sesak, tubuhnya bergetar hebat, dan jantungnya serasa berhenti berdetak.

"Ar ... sejak kapan kau berdiri di sana?"

***

well, semua orang memiliki kekurangan, begitupula William.
Wkwkwk.

Semoga suka, ditunggu apdet berikutnya, ya!

Follow IG : blcklipzz (dobel z)

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Where stories live. Discover now