Chapter 54 - Selfish

13.5K 1.2K 144
                                    

William sedang menonton acara aneka ragam untuk menghabiskan weekend-nya setelah enam hari bekerja lembur. Well, itu sedikit berlebihan karena buktinya baru semalam dia berjalan-jalan mengelilingi kota Zurich bersama wanita yang ia cintai—Margo.

William lega karena setidaknya dia sudah memberitahu Margo perihal Nancy. Meski belum semuanya, sih. Ada beberapa hal yang belum sempat William ceritakan karena emosi terlebih dahulu menguasainya kemarin malam. Ia selalu emosional ketika membahas adiknya, karena bagi William Nancy adalah dunianya.

Bisa bayangkan bagaimana hancurnya William saat ia tahu, kalau Nancy sudah pergi untuk selama-lamanya?

Kegelapan.

Dia terjebak di dalam sana untuk jangka waktu yang lama, sampai dia menemukan Margo. Senyuman dari wanita cantik itu membuat William tertarik dan somehow ... William memandang Margo sebagai pengganti Nancy. Ah, ya. Pada awalnya demikian.

Akan tetapi, perasaan yang asing mulai menghinggapi hati William perlahan-lahan, membuat lelaki itu sadar kalau menyayangi sebagai adik hanya tameng yang dia buat untuk menutupi perasaannya yang sesungguhnya.

William menyukai Margo dan ia berharap Margo bisa menyukainya balik. Sesimpel itu.

Pelukan yang Margo berikan semalam benar-benar  membuat William merasa tenang. Berkat wanita itu, William yakin dia tak sendirian lagi di dunia ini. Setidaknya, dia punya Margo di sisinya untuk saat ini.

Ah, ya. Berkat Margo pula, William yakin kalau Nancy sudah bahagia di atas sana. Mungkin, Margo memang diciptakan untuk William.

Yah, tidak ada salahnya berpikir demikian, bukan?

Toh, hubungan Daniel dan Margo sudah berakhir. Yang menandakan bahwa, mereka tidak berjodoh. Saat ini, Margo berada di samping William dan menemaninya.

Karena itu, bisakah William berasumsi kalau semua ini adalah rencana Tuhan untuk membuat Margo menjadi miliknya?

Bisakah dia menyimpulkannya demikian?

Trtt ... trtt ....

Suara getaran ponsel membuat lamunan indah William mau tak mau harus buyar. Lelaki dengan netra berwarna abu itu mengalihkan pandangannya dari televisi dengan malas, lalu menemukan ponselnya yang berada di atas meja makan.

Jauh. William harus berdiri dan berjalan sekitar 20 langkah sampai dia mendapatkan ponselnya dan mengangkat telepon. Meski sangat enggan, William tetap memutuskan untuk berjalan. Ia tidak bisa mengabaikan panggilan dari siapa pun, sejak dia berstatus sebagai CEO di Aendrov's Group.

Rick is calling ....

Bersamaan dengan ponsel yang terus bergetar, bunyi pintu yang baru saja dibuka mengalihkan fokus William. Di sana, Margo berdiri dengan beberapa tangkai bunga. Wanita berambut blonde itu tersenyum hangat ke arah William, tampak begitu cantik.

"Aku memetik beberapa bunga," kata Margo sembari mengangkat beberapa tangkai bunga itu tinggi-tinggi. Wanita itu berjalan lambat ke arah William, membuat William tak bisa mengalihkan fokusnya. Dia mengabaikan panggilan Erick, atau lebih tepatnya, William tak mampu melepaskan pandangan dari Margo.

"Ponselmu bergetar Will." Margo sampai di depan William karena dia harus mengambil vas yang terletak di dekat meja makan. "Kau tidak mau mengangkatnya?"

"Oh? Ya." William tersentak. "Aku akan mengangkatnya."

"Oke. Kalau begitu aku ke sana, ya. Mau memasukan bunga ini ke dalam vas." Senyuman Margo kembali merekah untuk sesaat. Sebelum kemudian Ibu hamil yang kandungannya sudah memasuki bulan ke-lima itu tampak riang dengan kegiatannya hari ini. Dan hal itu sungguh membuat William lega.

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang