Chapter 13 - Wrong person

21.2K 1.6K 56
                                    

Jangan lupa meninggalkan jejak ya!

***

William dan Margo berada di salah satu kafe yang bertuliskan Aendrov's Cafe and Resto di bagian atas. Dengan suasana yang asri nan teduh, bangunan berlantai dua itu dipenuhi manusia yang sedang berbincang-bincang satu sama lain. Posisi yang strategis juga lahan parkir yang luas membuat banyak orang tertarik datang ke tempat ini. Ah, jangan lupakan design interior-nya yang kekinian tetapi masih mengandung unsur alam. Menarik bukan?

Sayang, pikiran Margo sedang tak fokus ke sana. Dia masih merenung di tempatnya, menatap butiran hujan yang perlahan-lahan membasahi kaca mobil William. Ternyata lumayan deras.

"Lepas," ucap William pada Margo sembari menatap wajah itu dari samping dengan pandangan yang tak terbaca. Mereka sudah sampai sejak tadi, bahkan sebelum hujan turun membasahi bumi. Tapi karena Margo tampak tak sadar dan asyik dengan pikirannya sendiri, William hanya diam dan memandanginya sedaritadi. Dia tidak mau menganggu wanita itu. Tepatnya, William senang memandanginya dari samping tanpa harus ketahuan.

"Apa?" Margo tersentak, suara William memang tak besar tapi cukup untuk membuatnya terkejut

"Lepas safety belt-mu," perintah William dengan wajahnya yang tidak ada ekspresi.

Margo melirik sabuk pengaman yang masih melekat di tubuhnya lalu kembali melirik ke arah William, "Apa kita sudah sampai? Ke tempat yang kaubilang familier untukku?"

William mengangguk, "Kita sampai sejak 30 menit yang lalu."

"Apa?! Lantas kenapa kau tidak memanggilku?!" Margo meninggikan nada suaranya karena terkejut.

"Karena kau terlihat asyik dengan duniamu sendiri." William menjawab dengan tenang, membuat mulut Margo tiba-tiba terkatup dengan kencang.

Kenapa dia jadi speechless?

"Jadi maksudmu ... kau tidak mau memanggilku, karena tidak mau menganggu?" Margo mengulangi ucapan William, ingin memastikan kebenarannya. Laki-laki ini ... apa benar dia sekikkuk dan sepolos ini? Untuk ukuran sahabat Daniel, dia luar biasa kaku.

"Iya." William mengangguk lagi.

Margo memiringkan kepalanya dengan alis yang terangkat, "Tapi kau memanggilku tadi."

William menarik napas berat, mengalihkan pandangannya ke arah perut Margo yang masih datar, "Itu karena aku takut."

"Takut apa?" Margo bertanya lagi.

"Takut ... kalau bayimu merasa terjepit di dalam sana."

Lagi. Margo merasa tiba-tiba dirinya tak kuasa untuk membalas. Semua ucapan William terdengar romantis, meski wajah laki-laki itu datar-datar saja saat mengucapkannya. Apa dia ini play boy berbulu domba? Bagaimana bisa dia membuat Margo terdiam hanya dengan kata-katanya, bahkan di saat dia tidak mencoba untuk membuat Margo baper?

"Oh." Margo menjawab setelah berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa canggung. Wanita berambut blonde itu bergerak ke samping, melepaskan sabuk pengaman yang sedaritadi memeluk tubuhnya dengan erat.

"Mau keluar?" tanya William. "Aku punya payung di belakang." William menyandarkan tubuhnya, lalu mendongak menatap langit. "Atau tunggu hujan reda saja?"

"Tunggu hujan reda saja." Margo menjawab tanpa menatap William. Dia juga ikut memandangi langit yang tengah bersedih, sama seperti dirinya. "Sudah lama sejak terakhir kali aku terjebak di dalam mobil dengan suara hujan seperti ini." Margo menarik napas dalam-dalam, masih tak ingin mengalihkan pandangan dari mega yang tampak berwarna kelabu.

"Terkadang aku berpikir ... apa langit tengah menangis? Kenapa bisa hujan sederas ini? Apa sesuatu ... telah menyakiti hatinya?" Margo bergumam, tapi ia yakin William mendengarnya. Well, kesedihan yang telah terpupuk di dalam hatinya selama ini perlahan-lahan mulai penuh, membuat dada Margo sesak karena rasa sakit yang terus menerus ia rasakan.

Sunyi. Tidak ada yang berbicara. Margo tak tahu apa yang tengah William lakukan karena lagi-lagi, dia tenggelam pada dunianya sendiri. Dunia di mana segala sesuatu berjalan sesuai keinginannya. Tempat di mana Margo tak perlu menangis karena merasa sesak, tak perlu lelah karena tersenyum di saat hatinya hancur, dan juga ... tempat di mana ia bisa bahagia, tanpa beban dan tekanan apapun.

DUAR!!!

Suara petir menggema dengan kencang, diiringi dengan kilatan yang hebat. Margo refleks mundur ke belakang karena terkejut, kemudian dirinya kembali dikejutkan saat sebuah tangan dingin menyentuh tangannya.

Ya, itu William. Tapi, ada yang aneh dari laki-laki itu. Dia tampak ... ketakutan?

"William?" Margo memanggil namanya karena William saat ini tengah menunduk. Tubuhnya ... bergetar?

Tunggu dulu, laki-laki ini ... takut petir?

Jika iya, lantas kenapa dia membiarkan dirinya terjebak di mobil ini bersama Margo? Di saat dia memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam kafe?

"William hey. Kau kenapa?" Margo mencoba menyentuh pundak William dengan tangannya yang lain. Tapi kemudian, laki-laki itu malah menarik tubuhnya. William memeluk Margo dengan erat, membuat Margo terkejut, bingung, sekaligus merasa aneh.

Wanita berambut blonde itu sempat terdiam untuk sejenak. Bingung mau berbuat apa. Tubuh William bergetar, jelas sekali kalau laki-laki ini takut dengan petir. Meski Margo tidak tahu apa penyababnya, tapi melihat reaksi serta bagaimana tubuhnya dingin dan bergetar, William pasti tidak bercanda.

Margo menelan salivanya dengan susah payah. Dia tidak setega itu untuk mendorong William menjauh di saat dia benar-benar butuh bantuan. Namun, dia juga merasa sangat aneh karena sadar ataupun tak sadar, ini kedua kalinya dia memeluk William hari ini. Dan yang lebih gilanya lagi, mereka bahkan baru saling mengenal beberapa jam yang lalu!

Tangan Margo terulur perlahan, seakan dia ragu. Dan saat jarak jari-jari lentik itu sudah dekat dengan punggung William, Margo sempat menghentikan pergerakannya. Dirinya berpikir sejenak, kenapa dalam beberapa jam, bisa ada satu orang laki-laki yang datang ke dalam hidupnya dan mengubah hari Margo?

Tadi dia masih merasa sakit hati dan ingin menangis kemudian mengurung diri seharian. Tapi karena William datang dan memeluknya, Margo jadi merasa agak lega. Lalu, saat ini laki-laki ini tengah menemaninya di tengah hujan, padahal dirinya sendiri takut kepada guntur.

Hidup memang tak bisa ditebak, bukan?

Margo menarik napasnya pelan, kemudian mengelus punggung William lembut. Entah kenapa, tiba-tiba dia bersenadung pelan, seolah menenangkan William agar dia tak takut lagi.

Bagai air mengalir di sungai, segala sesuatu yang terjadi hari itu berlangsung secara spontan dan menghanyutkan. Pertemuan dua insan yang tak seharusnya bersama ... justru telah terjadi. Ironisnya, sang pujangga pemilik hati justru pergi demi wanita ular yang pandai menghias diri.

Namun tidak peduli seberapa rumitnya kisah cinta mereka, hanya ada satu pertanyaan yang menggantung di angan. Pada akhirnya nanti, siapakah yang akan terpilih?

***

Updated! Maaf lama.
Ada yang nungguin? Doain aku bisa apdet cepet ya!

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang