Chapter 28 - Knowing the truth

22.1K 1.6K 132
                                    

Margo masih ingat jelas, surat cinta berisikan kata-kata manis yang ia terima jauh sebelum ia putus dengan Kenndrick. Nama pengirimnya Cal, meskipun hanya satu kali mengirim surat, tapi hal itu sudah sangat berkesan untuk Margo.

Karena tanpa ia sadari, surat itu selalu ia buka setiap kali ia merasa down. Surat itu membuatnya sadar, bahwa ada seseorang yang benar-benar menginginkannya di dunia ini. Dan barisan kalimat yang tersusun rapi itu juga membuat Margo sadar, kalau ada seseorang yang memperhatikannya, meski dari kejauhan.

Cerita William barusan membuat Margo teringat dengan selembar kertas itu. Margo bertanya nama panjang William untuk memastikan kecurigaannya dan ... what? Nama tengah William adalah Calvin!

"Jawab aku ...." Margo mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menumpukan tangannya pada meja sebagai penopang dagunya. Menyelami netra abu itu dalam, berusaha mencari kebenaran di dalam sana. Well, jika memang William yang mengirimkan Margo surat, maka apa yang harus ia lakukan?

William sudah berbuat banyak hal untuk Margo, di saat Margo sendiri sering memperlakukannya dengan kasar. Ah, bahkan melebihi batas yang seharusnya, karena Margo terakhir kali tidak menjawab pernyataan cinta William dan mengejeknya dengan serentetan kata-kata kejam.

Namun meskipun demikian, laki-laki ini masih menolongnya. Dia tidak pernah mempermasalahkan sikap Margo, bahkan ... dia bersikap seolah tidak terjadi hal buruk di antara mereka berdua.

William meneguk salivanya dengan susah payah. Ya, dia ingin Margo tahu kalau dirinya sudah memandangi Margo sejak lama dan selalu mencintai gadis itu dari dulu, oleh sebab itu William sering membawa Margo ke kafenya.

Tapi, William tak menyangka kalau sebuah surat yang sempat iseng dia buat akan diingat oleh Margo. Ya, William tak berharap banyak ketika ia mengirimkan selembar kertas itu pada Margo. Ia malah sempat berpikir kalau Margo tak akan membukanya sama sekali.

"Aku ...." William merasa gugup dipandangi Margo dari jarak sedekat ini. Meski laki-laki itu tak menunjukkan reaksi yang berlebihan, karena sejujurnya salah tingkah bukanlah gaya William. "Aku memang menulis surat itu."

Napas Margo tercekat. Dia sudah menduga bahwa William yang menulisnya, tetapi kenapa? Kenapa dia masih merasa shock? Kenapa dia tetap speechless?

Margo tak mengeti dengan dirinya sendiri. Apa semua perasaan aneh yang saat ini mengerogoti dirinya muncul, karena baru pertama kali Margo merasa begitu dicintai?

Well, setelah pengkhianatan yang sempat Kenndrick lakukan padanya, Margo merasa tidak ada orang yang benar-benar mencintainya dengan tulus. Tapi mendengar semua hal yang William lakukan untuknya, mulai dari bagaimana laki-laki itu mengaguminya, menjaganya, menyemangatinya dan ... memperhatikan Margo dari kejauhan membuat pipi Margo menghangat.

Astaga, apa dia baru saja blushing?!

"Aku ... waktu itu melihatmu di salah satu kafe." William membuka pembicaraan, namun laki-laki itu langsung mengernyit saat melihat tatapan horor Margo. "Jangan salah sangka dulu, aku bukannya mengikutimu ke mana-mana."

Margo terkekeh pelan melihat raut wajah William yang bingung untuk sesaat tadi. Sebenarnya Margo hanya iseng melemparinya tatapan penuh curiga, tapi siapa sangka laki-laki itu justru malah tampak panik di saat Margo sama sekali tidak menuduhnya yang macam-macam?

William mendengus, "Saat itu aku melihatmu di kafe, hanya kebetulan. Aku yang habis mengalami sedikit insiden tabrakan dengan seorang gadis gila tanpa sengaja duduk di hadapanmu. Sejujurnya, waktu itu kali pertama aku tertarik dengan seseorang. Karena entah bagaimana ... kau mengingatkanku pada orang lain."

William mengingat kembali masa-masa di mana ia masih menjadi pengagum rahasia Margo, "Aku ... memperhatikan wajahmu dalam-dalam. Kau begitu serius. Sampai aku sadar, bahwa kau tak sedang fokus dengan gambaran. Melainkan kau sedang menahan tangisanmu agar tak keluar."

Margo tertegun. Dia masih ingat saat di mana ia dan Kenndrick bertengkar hingga memutuskan kontak hubungan satu sama lain. Hari itu, dia sedang ingin sendirian. Margo berpikir menggambar bisa membuatnya sedikit melupakan stres tapi ternyata tidak.

Duduk sendirian di tengah keramaian justru membuat Margo tercekik. Dia merasa semakin tersiksa hingga nyaris tak mampu menahan tangis.

Margo masih ingat, waktu itu pengunjung begitu ramai. Dia bahkan hanya menunduk, dengan wajah yang nyaris tertutup sempurna oleh rambut.

Lantas bagaimana William bisa tahu kalau dia menangis?

Apa laki-laki ini ... punya ilmu sihir?

Apa dia benar-benar Ibu Peri?

"Aku memutuskan untuk menulis surat untukmu hari itu. Hanya satu kali, karena kupikir surat itu tak akan pernah kau buka." William mengangkat cangkir berisi kopi panas dengan gugup dan menghirup aromanya yang khas.

"Terima kasih." Margo bergumam, tapi mampu membuat William terpaku di tempatnya.

"Untuk apa?" tanya William bingung. "Aku melakukannya untuk diriku sendiri, tidak hanya untukmu."

"Untuk dirimu sendiri?" Margo mengulangi ucapan William dengan bingung. "Maksudnya?"

William meletakkan cangkirnya ke tempat semula. Pandangan matanya tampak teduh dan tak terbaca, tapi sekarang Margo merasa nyaman dengan tatapannya.

"Aku tidak suka melihatmu terluka." William menjelaskan. Singkat, tapi mampu membuat pipi Margo memanas lagi.

Oh Tuhan, apa yang salah dengan dirinya hari ini? Kenapa Margo merasa malu karena mendengar ucapan William?

Padahal terakhir kali dia tidak begini?!

Apa dia sudah gila karena tanpa sengaja meminum air kloset tadi?

Margo berdehem pelan, dia berusaha menetralkan wajahnya yang sudah memanas. Lalu setelah merasa lebih baik, dia berusaha mengalihkan topik. Mencari tahu lebih banyak tentang William yang ternyata adalah ... pengagum rahasia Margo.

"Jika kau sebegitu takutnya mendekatiku dulu ... lantas kenapa? Kenapa kau bisa begitu berani sekarang? Bahkan ... kau tanpa ragu memintaku untuk belajar mencintaimu?" tanya Margo. Ya, dia tahu dia mengungkit topik yang sensitif. Pembahasan yang mungkin akan membuatnya merona lagi. Tapi Margo penasaran akut, karena itu dia bertanya.

"Karena aku tak suka, melihat kau disakiti oleh hal yang sama terus-menerus." Apalagi sekarang ular itu telah kembali, sambung William dalam hati. Well, dia tidak mau memberitahu Margo soal Amy. Tidak, karena William tahu batasannya sendiri. Ia juga mau mengulur waktu, dan setelah saatnya tepat William akan menyingkirkan Amy dengan caranya sendiri.

William berdiri dari tempatnya, membuat Margo yang tadinya masih terpaku ikut mendongak. Laki-laki itu tiba-tiba saja berjalan mendekat ke arah Margo. Yang tanpa sadar membuat Margo mengikuti pergerakannya.

Dan saat William sudah sampai di depannya, laki-laki itu mengulurkan tangan. Seolah menunggu Margo untuk menyambut ulurannya.

"Kenapa? Kau mau apa?" tanya Margo heran. Tingkah William aneh, meskipun sudah tahu betul akan hal itu. Margo masih tak terbiasa.

William menarik napas berat dan menyentuh tangan Margo. Membuat tangan mereka berdua seolah saling menggengam satu sama lain.

"Kau tahu? Aku serius saat memintamu untuk melupakan Daniel dan belajar mencintaiku." William menunduk, karena itu Margo tak bisa melihat netranya. "Tapi, jika kau tak mau melupakannya, maka aku yang akan merebutmu ... dari dirinya."

***

Tim Daniel sabar ya~

instagramku : blcklipzz (dobel z)

[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang