55. A Flirting game

Start from the beginning
                                    

"dia gak kelihatan kayak anak pengajian."

"Ahmadnya?"

"kamunya." Vina melotot padaku. Aku serius. Dia sehari-harinya terlihat seperti preman pasar. Berhasil kuketahui, Vina, Kayla dan Ningrum adalah 3 anak kosan yang mengikuti pengajian kampus. Ini mengagetkanku lebih dari apapun.

"stop me. Gak usah cari ribut. Kamu udah bikin anak orang babak belur begini, apa gak merasa bersalah?"

Putri melihat ini dari sudut pandang yang mana?

"aku kasih tahu ya, kalau kamu diposisi aku dan gak ngelakuin apapun, itu baru namanya bersalah. Dia nguntit sambil merekam. Kurang stalker apalagi." Aku menatap si terduga ahmad dengan tajam. "aku udah baik hati berhentiin abang Horas gebukin kamu lebih dari ini dan kamu pengen aku merasa bersalah? Lain kali kalau suka ya suka aja, gak usah pake stalking."

Dia minta maaf. Kayla menghardikku.

Rapat dadakan kami ini dihentikan oleh selaan salam kalem dari pintu. Si dokter kami tiba. Dia datang dengan tas dokternya dan jas dokter sekalian. Meski ini sepertinya keadaan genting, anak kosanku menyempatkan diri untuk terpesona dengan kedatangan sang dokter.

Hebat. kami bahkan punya dokter sekarang.

Sementara semuanya sibuk merawat si Ahmad aku kabur mandi. Aku gerah setelah seharian kuliah dan kepalaku sakit dari keramaian tak penting. Maksudku, bagaimana bisa mereka menerima tindakan stalking cowok itu dengan begitu positif?

Setelah cukup manusiawi dengan beberapa olesan obat lecet, kami dipaksa bubar agar 2 orang itu bisa berbincang berdua. Yang lain masuk, aku dan dokter keluar. Aku berjanji mentraktirnya es krim di warung sebelah sebagai ucapan terima kasih. Meski aku tak mengerti kenapa harus aku yang berterima kasih, bukan aku yang mesti di obati.

"kok lama nyampenya. Dari mana?" kalau dari puskesmas, dia bisa tiba di kosan lebih cepat seharusnya.

Sumpah. Ini membuatku merasa bersalah. Dia terlihat sangat lelah. Rambutnya yang tersisir rapi itu lepek. Setiap kalinya dia mendorong kacamata keposisi yang benar, aku semakin kasihan. Meski tak banyak pertolongan yang dilakukannya pada si terduga Ahmad, tetap saja ini menunda waktunya untuk istirahat.

Aku sedang menunduk, focus memperhatikan minuman kaleng apa yang akan kuambil dari lemari pendingin saat tangan si dokter muncul dan menangkap rambutku yang berjatuhan menghalangi pandangan.

"kamu habis keramas." Gumamnya sambil bersandar di pintu lemari pendingin yang terbuka. Mendongak, aku mendapatinya tersenyum dengan mata tertutup tapi masih memegang rambutku yang ditahannya. "wangi." Tambahnya.

Berdiri lurus bersama 2 botol susu yang kupilih, rambutku jatuh dari tangannya. Dengan malas dia membuka mata. Dia tak terlalu tinggi meski tetap lebih tinggi dariku. Namun disaat dia bersandar miring sementara aku yang sepenuhnya berdiri, aku tepat didepan wajahnya. Lurus bertemu dengan mata lelahnya namun ramah.

Sesaat aku Cuma memandanginya. Seperti dia yang juga Cuma memandangiku dan memberiku seulas senyum kecil. Kemudian aku menempelkan dua botol susu yang kupegang ke pipinya.

"kamu capek." Aku lebih mengatakannya pada diriku sendiri.

"dan kamu sudah mengganggu ketentraman public." Kami menoleh. "kamu tahu kalau ada peraturan langsung tutup pintu kulkas habis ambil minum kan?" tangannya melintas didepan muka kami dengan sangat tak sopan. Yang punya tangan, Niko, berdecak tak senang dan aku menyingkir dari depan refrigerator.

Kemudian dia berbalik kearah dokter. "dan ada peraturan gak main mata sama pacarnya teman. Apalagi main mata depan kulkas. Kulkas warung lagi." Dia membuat si dokter lugu kami menyingkir dari pintu dengan wajah bersalah sambil bertanya temannya yang mana sudah kupacari. Aku bersumpah akan membunuh anak ini disaat aku punya cukup waktu luang merencanakan pembunuhannya.

That time when we're together (completed)Where stories live. Discover now