41. A basket of fruit and a bouquet of flowers

181 17 1
                                    


41 a basket of fruit and a bouquet of flowers

Banyak yang datang menjenggukku kerumah sakit. Salut pada anak kelasku yang datang bersama besoknya sampai membuat semua orang bertanya siapa yang mereka jengguk. Mereka ramai minta ampun sampai akhirnya diusir. Beberapa orang lain yang tak bisa kuingat namanya juga datang.

Aku yakin tak kenal banyak orang tapi banyak sekali yang menjengguk. Sampai yang rasanya yang sama sekali tak kukenal.

Dia berdiri dengan sekeranjang buah dan satu buket bunga.

Anak kosanku yang duduk berjejer bak pengiring pengantin dikiri kanan tempat tidurku terpaku. Banyak yang datang tapi tak ada yang datang dengan buket bunga sebesar itu. Dia terlihat seperti akan melamar dari pada sekedar menjengguk.

"hai." Sapanya. Anak-anak annisa menjawab sebelum berbalik menengok padaku bertanya siapa.

Aku angkat bahu. "gak kenal."

Tangan si pemegang kerangjang dan buket itu sontak merosot mendengar jawabanku. Aku tak mengenalnya. Dia yakin tak salah kamar?

Vina mengetuk papan pengenalku yang ada diujung tempat tidur sambil bertanya, apa benar dia mau mejenggukku. Sebelum dia sempat menjawab, Putri menepuk tempat tidur dengan kencang. Otaknya seperti baru saja usai berpikir keras.

"dokter yang di puskesmas waktu itu. Iya kan?" tunjuknya. Tangan si dokter yang membawa keranjang kembali naik. Dia tersenyum sumringah sambil mengangguk.

"kamu udah bayar kan put kemaren?" apa dia datang untuk menagih biaya yang mungkin tak kami bayar? Anak kosanku punya catatan criminal yang cukup mampu untuk sekedar kabur dari bill puskesmas.

Tergagap dia berusaha menjelaskan. Dengan keadaannya, itu ternyata bukan hal gampang. Belum lagi dibawah pandangan 6 orang gadis, dia terlihat semakin ketakutan. Keringat kecil-kecil menyembul dijidatnya. Kemudian aku jadi teringat seseorang.

"ah. Kamu yang diwarteg?"

Sekarang, keranjang buah yang dibawanya naik hingga ke dada. Dia mengangguk cepat. Lega aku mengingatnya. Sebelum kemudian merosot saat aku kembali bertanya untuk apa dia mejenggukku. Setahuku tak ada dokter yang menjengguk pasien rujukan di rumah sakit. Iya kan?

Ningrum merasa kasihan. Dia berdiri dan mempersilahkan si dokter duduk. Kayla dengan pandangan menyelidik tapi menawarkan diri menerima keranjang buah dan buket bunga. Dia mengambil keranjang buah dan menghempaskan buket bunga kepelukanku. Sebelum Putri memerintahkan yang lain untuk keluar.

Dia meninggalkan aku dan dokter. Si dokter yang tak bergerak masih berdiri diujung tempat tidur. Sebelah tangan memegang air mineral yang disodorkan Putri. Aku memandangnya dan dia semakin terpaku.

"yakin kamu bukan datang buat nagih?"

Butuh beberapa saat sampai dia akhirnya bisa bicara dengan lebih lancar. Dia duduk di kursi sebelahku. Kecanggungannya sedikit mencair saat dia bertanya ala dokter. Mengecek keadaanku. Tapi disaat harus bertatapan denganku dia langsung kembali gugup. Satu dua, dia hampir membuatku tertawa.

Aku benar-benar tertawa saat dia bilang dia suka aku sejak pandangan pertama. Bagaimana mungkin ada orang seperti dia?

"jadi?"

"aaku.. mau jadi teman kamu..." ucapnya sangat pelan tapi dengan berani menatapku.

"kamu gak tanya aku punya pacar?"

Dia mengeleng. "gak papa kalau kamu punya pacar. Aku Cuma mau kenal kamu."

Aku bersandar. "aku gak punya pacar tapi udah punya suami."

Dia berdiri mendadak. Keadaanku tak selemas kemarin jadi aku punya cukup tenaga untuk tertawa. Ekspresinya sangat lucu. Para anak kosanku yang jelas menguping langsung menjeplak dari pintu. Masuk bersama farhan, Jedi, Garra dan animo.

"waah... gak milih orang kamu bisa bohong sama siapa aja me." Seloroh farhan begitu masuk. Apa mereka sengaja mengupingku dari tadi?

Seiring ramainya dan ramahnya semua orang, si pembawa buah dan bunga itu terlihat semakin membaur. Meskipun dia kebanyakan cuma diam dan tertawa pada semua candaan tak penting semua orang.

Malam kedua ku pun di rumah sakit kembali meriah. 

Mereka sepertinya menjadikan ruanganku sebagai tempat tongkrongan. Tak bubar sampai diusir. Si dokter di introgasi habis-habisan oleh Putri dan Bianca. Mereka tak menyembunyikan sedikitpun. Semuanya ditanya dan dokter puskesmas itu terlalu takut untuk tak menjawab.

Garra mungkin benaran takut pada ancaman Naya. Dia datang setiap hari. Membuat anak kosanku terlalu riang. Mereka bahkan sok minta tolong ini itu demi menahan Garra lebih lama. Tapi dia malah tak muncul dibagian yang paling dibutuhkan.

Aku baru dibebas tugaskan jadi pasien dihari sabtu. Karena baru gejala, mereka membebaskanku cukup cepat. Sore sabtu aku pulang bersama mobil Jedi.

Ini maksudku, biarpun Garra nyaris bukan siapa-siapa aku masih mending menumpangnya. Aku bahkan rela naik angkot tapi dayang-dayangku tak mengijinkan.

Sebagai orang yang pernah menjadi pacar Jedi dan bahkan satu kelas, aku yakin Jedi masih bisa kemana-mana sendiri. Tapi sekarang dimana Jedi selalu ada simintil. Dia ada dimana-mana. Apa aku boleh mulai bosan melihat mereka berdua? Belum lagi cara bicara diantara mereka yang selalu lebih pelan. Selalu berbisik. Apa semua yang mereka bicara kan rahasia? Aku yakin mereka menjelekkanku satu dua kali. Soalnya tak mungkin mereka punya sebanyak itu rahasia untuk dibisikkan kalau mereka kemana-mana berdua.

"Argh!"

Rusukku disikut bersamaan dari kiri dan kanan. Disertai bisikan iblis Putri dan Bianca. Mereka memintaku berhenti melotot melihat Jedi dan Samantha. Mereka didepanku, jadi aku harus lihat kemana kalau bukan kedepan?!

"cemburunya yang biasa aja bek."

Aku menghela nafas kesal sebelum menengok pada Bianca. "kamu pengen aku benaran goda Mario?"

***

That time when we're together (completed)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu