5. Dating your classmate should have some sort of warning.

421 25 0
                                    

Ada banyak hal yang ingin kulakukan kalau aku bertemu dengan mantan pacar 1 tahunku. Tapi, lebih banyak lagi keinginanku untuk tak bertemu dengannya. Masalahnya, bagaimana bisa aku malah berakhir bertemu dia disini? Dunia ini cukup luas untuk kami saling berbagi jalan dan menikmati hidup masing-masing. Iya kan?

Saking emosinya, aku pergi begitu saja tanpa memperdulikan tasku yang dipegangnya dan dengan sukses kabur. Membuatku pulang ke kosan jalan kaki dan bukan sekedar belang, aku gosong. Aku rasa, mereka benar-benar tak punya alasan kenapa aku mengunci pintu dari dalam dan 5 anak jahat itu perlu memohon-mohon demi dibukakan pintu.

"seriusan? Masa?"

Mereka bertanya kenapa aku tak datang bersama sang mantan begitu muncul di kampus besok paginya. Hari pertama kuliah, hari aku akhirnya harus bertemu sang mantan. Kami bahkan belum tiba di ruangan. Mereka merasa perlu bertanya di parkiran ramai.

Saat aku jawab kami putus, mereka Cuma saling pandang sebelum memberikan koor tak percaya. Kenapa bertanya kalau tak ingin mendengar jawaban?

"aku hitung-hitung nih ya Me, kalian udah 4 kali putus nyambung selama semester kemaren doang." Tambah seseorang. Lalu yang dibelakangnya menambahkan kalau disemester sebelumnya mungkin kami putus sekitar 3 kali. Aku seperti.... betapa perhatiaannya mereka pada hubunganku? Aku bahkan tak bisa mengingat nama mereka satu persatu dengan benar. Lupakan mengingat siapa pacar siapa apalagi berapa kali mereka putus nyambung dalam setahun.

Membereskan barang di motor aku mengabaikan mereka yang mengajakku ikut ritual menunggu dosen diparkiran. Berada disini lebih lama akan membuatku terlihat seperti menunggu seseorang yang jelas hal terakhir yang aku ingin kan terjadi.

Diputuskan? Dia memutuskanku?

Kudukku selalu meremang saat mengingatnya. Oke, tegakkan punggung. Aku terlalu cantik untuk menangisi cowok tak tahu diri itu. Dasar bajingan. Dia bajingan. Tapi, belum beberapa langkah dari parkiran, seseorang sudah tersenyum menghadangku.

Siapa makhluk ini?

"jangan bilang kamu udah lupa." Dia memberiku senyum riang. Apa ada rumor tentang cowok gila lepas diparkiran? Karena dia terlihat seperti itu. Sepagi ini dan dihari pertama kuliah. Aku tak percaya ada orang yang bisa terlihat begitu bahagia dipagi senin. "kamu gak ingat?"

"kamu artis?" karena aku tak punya alasan lain mengenali seseorang kalau bukan karena dia artis. Namun dia menggeleng cepat sambil menyebut namanya. Setelah 3 kali, aku tetap lupa dia siapa. "Piko. Yang kamu labrak gara-gara stik drum. Kemarin."

Dia menekankan kata kemaren dengan penekanan luar biasa.

"terus?"

"hmmm... gak ada, apa aku gak boleh nyapa kamu kalau lagi gak bawa stik drum?"

"Gak. Karena kamu teman dia. Bukan teman aku." Aku menunjuk simantan yang baru saja datang dan memarkir motor besarnya tak jauh dari tempatku berdiri. Dan kenapa aku sendiri sibuk menamainya si mantan? Sungguh. Aku akan meledak. "bisa kamu gak nyapa-nyapa aku? Kita gak sekenal itu ampe mesti saling sapa dijalan."

Cowok yang diduga bernama Miko itu malah terlihat terpesona dengan perkataanku sampai aku perlu menjentikkan jari dan menyuruhnya minggir dengan bentakan yang aku yakin tak akan disalah artikan sebagai mengusir.

Dengan langkah cepat, aku berhasil menghindari simantan saat dia baru mengulurkan tasku tanpa sempat mengatakan apapun. Kusadari aku semakin atletis akhir-akhir ini. Aku benci berkeringat serta panas dan yang kulakukan, sungguh bertolak belakang. Berlari pulang dari acara band konyol itu dan sekarang aku akan semakin sering berlari untuk menghindari simantan. Dia benar-benar tak punya hak membuatku merasa tak nyaman.

Lalu, entah mengapa semua orang berhak melakukannya karena begitu aku tiba dikelas, mereka semua kompak menyorakiku dan simantan yang masuk bersamaan. Kalau biasanya dia dan aku akan beriringan dan saat dia berada 5 menter dibelakang, semua orang tahu apa yang terjadi.

"kenapa lagi sweet couple di hari pertama kuliah udah berantem?" ini, cetus tukang rumpi kelas yang aku ragu masih bisa tetap hidup kalau dia masih berani menghadangku dengan muka sangat bersemangat dan menjadikanku target gosipnya.

Hanna dengan salut mengungkapkan kekagumannya karena kami sanggup bertengkar secara konsisten disetiap habis liburan. Seperti, emangnya sudah berapa liburan yang kami lewati dalam setahun? Lalu Farhan menambahkan, hari minggu termasuk liburan. Ini membuat satu kelas tertawa dan bahkan orang yang sedang dibicarakan.

Iya, dia hanya tertawa pada celotehan semua orang dan aku hanya mengibaskan rambutku sebelum duduk disebelah Farhan. Tepat setelah menginjak kakinya. Berani-beraninya dia mengolokku. Tapi, ini malah membuatnya seakan tenaga tambahan dalam rangka mencemoohku.

"btw, kamu dandan maksimal banget pagi ini. Mau ditunjukin kesiapa?" bisik Farhan ditelingaku. Dalam satu kedipan mata, aku mengangkat buku tebal yang tadinya kupeluk dan menghantamkannya berulang kali kekepala cowok tahu tahu diri itu.

Hal yang paling ku benci di dunia ini adalah kalau Farhan benar.

"KAMU CARI MATI?!" bentakku sebelum mengakhiri pukulan buku-ku dengan tepukan kencang kepunggungnya. Dia menjerit liar seperti anak perempuan dan melompat kearah simantan meminta perlindungan.

Masuknya si dosen galak yang kami benci menyelamatkan Farhan pagi ini. Tapi tak membuatnya lupa untuk memakiku dalam bisikan dari kursi depan. Dia terdiam setelah aku mencolok punggungnya dengan pena.

Aku lapar.

Aku benar-benar ingin meledak apalagi saat dihari pertama kami sudah diberi tugas dan dengan nama yang tak berdekatan, aku malah sekelompoknya dengannya setelah pembagian random. Aku percaya keajaiban tapi aku lebih percaya pada kesialan. Inilah kenapa sebaiknya tidak berpacaran dengan teman satu kelas. Kenapa aku begitu bodoh?

***

That time when we're together (completed)Where stories live. Discover now