50. A kiss

229 20 0
                                    


50 a kiss


Aku menciumnya, di pipi.

"oh. Cegukannya berhenti. Tengkyuh." Cup.

Begitu saja aku berdiri dan menabrakkan bibirku ke pipinya sebelum kembali duduk berniat melanjutkan makan tapi aku seharusnya tahu semua tindakan datang dengan konsekuensi. Cukup memikirkan kondisi badanku, dia tak menarikku dengan kencang tapi dia memaksaku untuk kembali menghadapnya.

Matanya melotot. "kamu ngapain?"

"apa?" dia semakin melotot membuatku tertawa kecil. "bukannya itu yang pengen kamu lakuin? Ckck kamu kebanyakan nonton drama sampai tahu yang begituan." Aku berbalik tapi dia memutarku kembali menghadapnya.

"gak. Aku bukan mau lakuin itu."

Sebelah alisku naik. "masa?"

"seenggaknya, gak dipipi."

Aku bisa menceritakan kejadian selanjutnya dengan cepat karena itu sangat cepat tapi aku tak bisa. Jadi, aku akan mengurainya dengan lambat.

Tangannya yang berada dibahuku, berpindah kekiri kanan pipiku. Mengangkat mukaku agar mendongak menyambut mukanya yang menunduk. Kusadari mataku terbuka begitu lebar. Biarpun aku tahu apa yang akan terjadi, aku tetap tak berhasil mengantisipasi apapun.

Bohong kalau aku tak pernah membayangkan mencium Garra disaat mereka selalu menjodohkanku dengannya tapi faktanya, semua hal lebih rumit saat menjadi kenyataan. Bibirnya mengecup bibirku pelan. Membuatku menutup mata dan kemudian dia benar-benar menciumku. Begitu banyak ledakan rasa yang terjadi didalam kepalaku dan semuanya Cuma berlangsung dalam hitungan detik.

Sumpah, aku bahkan nyaris melihat pelangi dengan mata terpejam.

Oke. Bohong. Tapi begitulah kira-kira.

Disaat dia menjauh, perlahan aku membuka mataku. Sementara kedua tangannya yang hangat mengelus pelan pipiku dan kemudian, aku kembali cegukan. Shit.

Hik! Hik!

Aku berbalik akan mencari minum tapi dia tak melepasku. Membuatku kembali memandangnya.

"tarik nafas. Tahan." Perintahnya sebelum memintaku menghitung 1 sampai 10 baru menghela nafas. Dipercobaan ketiga disaat aku sudah meninju bahunya karena kesal, cegukanku berhasil berhenti. Berhasil merasa cukup stabil aku menarik tangannya yang masih bertahan dipipiku, hadap meja dan kembali makan.

Dia menarik kursi dan duduk disebelahku.

Dengan canggung, aku melihat kemanapun selain kearahnya. Mengunyah kentang gorengku dengan kecepatan paling lambat yang bisa kulakukan. Ini jauh lebih mengagetkan dibanding dilempari serenteng petasan.

"muka kamu merah." Ucapnya pelan. Aku tak menengok.

"telinga kamu juga merah." Tambahnya. Sebagian besar dari diriku ingin menancapkan garpu ke lutut Garra tapi aku yakin dia akan membalas.

"me." Panggilnya. Hening tengah malam membuat suara pelan Garra seperti bom dan aku yakin sepertinya akan ikut terbunuh dalam ledakan. "gimana? Kamu pengen kita benaran putus apa benaran jadian?" Dia mengatakannya sambil memperhatikan tanganku.

Aku tak benar-benar membencinya. Aku juga tak yakin kalau aku menyukainya. Tapi, ciuman itu... aku seharusnya tak diam saja dicium. Argh! Apa aku menyukainya? Well. Harus kuakui bukan tentang suka. Dia membuatku merasa nyaman. Iya kan? Aku sudah melakukan apapun didepannya. Kehadirannya tak menggangguku. Pacaran? Jadian? Aku..

That time when we're together (completed)Where stories live. Discover now