48. Is it a battlefield?

195 20 1
                                    


48 is it a battlefield?

"Ah. Kamu sengaja." aku menusuk pipinya dengan telunjukku. Dia meringis tapi tetap konsentrasi membersihkan luka.

Mungkin ini salah satu keuntungan terbesar mengenal dokter. Dokter yang sampai sekarang tak kuingat siapa namanya, rela berkunjung untuk mengecek keadaanku. Aku pastikan kalau aku tak bisa membayar dan dia bilang dia suka rela. Kudoakan dia masuk surga. Hanya saja, apa dia harus menekan lukaku sedemikian keras setelah bilang ini suka rela?

Semua orang merayakan sabtu sore diluar rumah. Jadi kami Cuma berdua di ruang tengah. Dia yang kebetulan kosong jadwal muncul di kosanku dengan kotak obat.

"jadi, kamu benaran bakal tinggal di rumah Garra?"

"ngapain? Dia mungkin lebih berbahaya dari pada orang yang ngancam." Entah dapat pikiran dari mana mereka sampai ingin mengirimku kesana. Dengan alasan Garra tinggal di rumah pribadi. Masih ada Jedi yang tinggal bersama orang tua tapi aku mungkin lebih memilih untuk ditabrak lagi daripada kesana.

Dia menengok. "tapi, kalau kamu misalnya diserang lagi. Gimana? Mungkin memang lebih aman tinggal disana dulu untuk sementara. Dia juga gak tinggal sendiri kan? Lagian teman-teman kamu juga bakal ikut."

Aku menghela nafas. Mengalihkan pandangan dari acara gossip yang sedang kutonton. Dengan mata polosnya dia baru saja mencoba mengatakan hal yang menurutnya sangat masuk akal kan?

"dokter. Kamu pernah makan ceker mercon?" Rambutnya bergoyang saat menggeleng. Makan apa dia selama ini kalau tak pernah makan ceker? "bisa pake motor kan?" dia kembali menggeleng. Dia lahir diplanet mana tak bisa bawa motor?

"apa yang kamu bisa selain jadi dokter?" aku jelas menyindir tapi dia berpikir keras untuk menjawab. Dia bilang, dia bisa bawa mobil tapi motor gak. Aku mengabaikan penjelasannya yang berusaha membela diri sambil menelpon nomor ceker mercon yang ada diujung jalan. Minimal dua kalau ingin diantar.

15 menit kemudian ceker itu datang dan si dokter begitu ngeri melihat si ceker yang berwarna merah menyala dari 2 box kecil didepan kami.

"kamu bisa sakit perut."

Aku menyodorkan satu ke mukanya. "dokter kok takut sakit." Matanya melotot. Terlalu ngeri untuk membuka mulut. "makan!"

Sekian menit kemudian dihabiskan dengan dia yang bolak balik mengambil minum. Menahan air mata dan menghabiskan satu kotak tisyu tapi terlalu takut padaku untuk berhenti makan. Dia lucu sekali.

Menarik ingus aku tertawa sepelan mungkin agar tak menyakiti rusuk.

"kamu belum pernah ke bioskop selama disini?" katanya dia Cuma menghabiskan waktu luang jam dinasnya dengan main game di asrama. Sebagai dokter yang dalam masa pengabdian selama 6 bulan, dia baru menjalani 2 bulan. Tapi, apa dia se-tak punya teman itu untuk tak kemana-mana selama 2 bulan? Unbelievable. Ada orang yang lebih tak punya acara dari pada aku.

Dia menarik ingus dengan sadis dan hampir menyedot tisyu yang disumpalnya kehidung sekalian.

"kamu pasti senang banget bisa kenal aku. Gimana mungkin kamu gak pernah coba makan ceker? Ckckck." Aku mengelap keringatnya yang bercucuran sambil menahan tawa dan menahan pedas. Dia tak akan mati kepedasan kan?

"aku senang bisa kenal kamu." Senyum kepedasannya membuatku hampir tersedak. Dia polos sekali. Jelas sekali berbohong tapi berbohong yang sangat meyakinkan. Baru kali ini ada orang yang mengiyakan bualanku tanpa pembelaan sama sekali. Dia bahkan menyebutku teman pertamanya disini.

"apa aku gak terlalu cantik buat jadi teman pertama kamu?" Aku bercanda tapi dia berpikir keras. Katanya, cantik itu relative. Ini membuatku menyumpalkan satu ceker gendut kemulutnya. "makan."

That time when we're together (completed)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora