45. Ignored

173 20 1
                                    


45. Ignored

Meski aku sudah bersiap dengan apa yang akan terjadi, tetap saja mentalku tak sekuat itu. Semuanya menggila saat aku muncul di kampus.

Pertama, karena mereka akhirnya benar-benar menerima kenyataan aku dan Jedi yang telah berakhir. Seperti, kemana mata mereka selama ini? Jedi sudah seperti pinang dibelah dua dengan pacarnya. Mereka anggap apa aku selama ini? Ratu yang menyetujui selir?

Kedua, karena kefenomenalan acara jadianku kemarin sore.

"kok gak bilang Me mau bikin hajatan. Kita bisa datang buat kasih support." Komti kami menganggap ini sejenis tontonan yang sudah sangat kecewa dia lewatkan. Dia terlihat sangat kecewa karena harus tahu ini dari sosmed sementara dia komti. Apa hubungannya coba?

Biang gossip kelas kami merasa perlu memberikan penghargaan akan heroiknya tindakanku. Mereka bilang aku bukan tipe yang emansipasi tapi sanggup melakukan hal seberani ini. Mereka punya pengertian emansipasi jauh berbeda dengan yang selama ini kuyakini.

Mendengar semuanya, besar sekali keinginanku untuk melempar mereka kekolong bus kampus yang sedang lewat. Mereka bahkan bertepuk tangan dengan sangat riang saat aku turun dari mobinya Garra.

"wah. Dari dulu aku tahu kamu gak tahu malu tapi kali ini, aku yakin kamu bahkan gak tahu malu itu apa." Farhan takjub dengan dampak tindakanku kemarin meski dia menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Biarpun aku sudah menjelaskan dengan pasti apa yang terjadi, mereka tak terlihat begitu peduli. Dia Cuma peduli pada kehebohan. Kutegaskan, aku memang harus berdandan cukup ekstra pagi ini demi menghadapi hari yang kuramalkan akan berat.

"Garra anaknya baik, coba aja pacaran benaran." Saran Jedi yang terdengar begitu tulus. Aku menatapnya. Mantan pacarku baru saja memberiku nasihat perpacaran. Tanpa perduli pelototanku, dia lanjut menceritakan semua hal baik dari Garra. Tahu kah dia kalau aku mungkin bersedia mendengar saran siapapun dari pada sarannya?

"dia sebaik itu tapi telat dihari pertama mesti jemput aku."

Pulang kuliah jam 4 dan aku benar-benar ingin cepat pulang. Sesuai perjanjian dia akan menjemputku dan ini sudah setengah jam lewat dari jam pulang.

Duduklah kami bertiga berjejer diparkiran sebelum kemudian jadi berempat dengan pacar Jedi. Dia sepertinya menganggapku sebagai teman baru karena dia terlihat begitu ingin akrab. Dengan senyum ramahnya dia bertanya ini itu. Dia terlalu ramah sampai rasanya rahangku sakit melihat banyaknya dia tersenyum.

Saat Garra tiba, yang disapanya lebih dulu adalah farhan dan Jedi. Mengabaikan aku yang sepertinya sudah mengeluarkan asap dari kepala. Anak ini punya masalah prioritas.

"yok." Setelah sepertinya beberapa tahun kemudian.

Yok? Aku kira dia lupa kenapa dia kesini.

Tak bisa menahan emosi, aku langsung meneriakinya. Sebelum melempar tasku tapi dengan mudah ditangkapnya.

"kenapa?"

"kenapa?" wah. "satu jam. Aku mesti nunggu satu jam. Kenapa gak bilang kalau telat? Aku lebih baik pulang jalan kaki daripada duduk nunggu gak jelas kayak gini. Hape kamu dikemanain? Kenapa gak angkat telp aku?!"

Farhan ngakak disebelah Garra. "kamu bakal sering lihat dia marah dari pada senyum mulai dari sekarang."

"emang kapan dia pernah senyum?" tanyanya balik membuat semua orang tertawa.

Wah. Brengsek.

"udah me. Yok balik." Jedi dan pacarnya berangkat disusul farhan.

"kamu gak mau balik?" sebagai jawaban aku melipat tangan didada dan berjalan mendahuluinya. Tak lama dia melintasiku. Tanpa tasku. Dia meninggalkan tasku dijalan.

Diletakkan begitu saja ditengah parkiran kampus.

***

"APA LIHAT-LIHAT?!"

"baru hari pertama me. Kamu udah berantem?"

Tak ada yang lebih mengagetkan dari Bianca dan Putri yang duduk menungguku di depan tv. Aku hampir terpeleset. Mereka begitu saja menatapku begitu membuka pintu. 98% aku yakin itu tadinya hantu. Biarpun ini masih sore tapi mereka terlihat benar-benar hantu.

Aku membanting pintu.

"kalian bisa gak nguping?"

"siapa yang nguping? Orang kamu yang ngomongnya teriak. Garra ngapain?" mata mereka mengikutiku yang menghempaskan diri ke sofa tua. Menungguku menjawab. Menolak menjawab, Putri menginjak kakiku.

Dia Cuma membuat emosiku yang sempat padam kembali membara. Lalu semakin membara saat mereka malah membela Garra. seperti aku bukan baru saja bilang kalau aku harus menunggu anak itu satu jam bersama 2 orang yang paling menyebalkan dan satu gadis yang terlalu ramah. Dia bahkan meninggalkan tasku di jalan. Tasku.

Kalau bukan karena sudah terlalu capek, aku pasti akan nekat jalan kaki. Sepanjang jalan aku emosi dan dia Cuma mendengarkanku setengah hati. Dia bahkan berani menawariku makan. Kesabaranku habis disana.

Emosiku berlanjut hingga kosan. Itulah yang didengar oleh 2 dedengkot kosan ini.

"dia Cuma dieeeem aja." Aku mungkin akan membunuhnya di hari kedua.

"bukannya dia bilang kalau dia mesti mampir ke club fotografi dulu."

"dia bilang itu habis bikin aku nunggu satu jam. Bukan sebelum." Apa Bianca tak lihat letak kesalahan ini? Anak itu gagal menentukan prioritas.

"tadinya aku kira Garra udah ketangkap selingkuh."

"itu pacar kamu." Sahut Putri sadis. Membuatnya mendapat cubitan dari Bianca yang langsung membela pacarnya. Seplayboynya Mario, dia bilang anak itu tak selingkuh dihari kedua mereka pacaran.

"Garra itu sibuk me. Dia punya segudang kegiatan dari pada sekedar main pacar-pacaran. Udah dijemput aja kamu mestinya bersyukur." Pungkas Putri pada akhirnya. "gak tahu terima kasih." Tambahnya.

"dia yang mestinya bangga bisa punya pacar kayak aku. bukan sebaliknya." Kecamku sinis sambil melambaikan rambut. Apa meraka lupa siapa aku?

Pendengarku saling pandang.

"Tapi gak nyangka juga Garra se-savage ini."

"kamu diabaikan bahkan dihari pertama." Putri menyelesaikan kalimat Bianca.

Ya. Mereka memang lupa siapa aku.

***

That time when we're together (completed)Where stories live. Discover now