48. Is it a battlefield?

Start from the beginning
                                    

Air matanya meleleh, ingusnya meleleh. "saking pedasnya. Aku gak tahu ini enak apa enggak. Enak?" tanyanya disela menangis.

"makan pedas itu bikin pikiran lebih plong."

"aku gak bisa mikirin apapun." Dia minum satu gelas besar.

"lihat, aku jadi lupa kalau punya tugas yang setinggi gunung buat diselesaikan. Ini lebih efektif dari narkoba."

Dokter itu bersandar ke sofa sambil berkipas. "kamu pernah coba narkoba?"

"contoh. Dokter. Contoooh. Kenapa kamu selalu anggap serius semua omongan aku. Kalau aku bilang aku pengen bunuh diri, kamu pasti percaya."

Dia tiba-tiba duduk. "kamu mau bunuh diri? Kenapa?"

Aku hampir lupa mengelap ingusku yang sekarang mulai aktif. "aku pernah loh masuk penjara waktu masih kecil."

"serius?!"

"iya soalnya nusuk mata teman sekelas pake pensil." Dokter itu ternganga dan menumpahkan air yang belum ditelannya. Aku terhempas ke sofa berusaha tertawa sekalem mungkin tapi aku hampir tak bisa bernafas karena tertawa saat dia malah bertanya kenapa aku menusuknya. "karena dia banyak tanya."

Tiba-tiba bunyi letusan kencang membahana di teras rumah.

Letusan kencang yang saling bersusulan.

Aku tersentak dan mengira itu bom tapi si dokter keluar dan sambil berteriak dia bilang kalau itu adalah satu renteng petasan. Untuk beberapa saat kami Cuma bisa diam menutup telinga menunggu petasan itu habis dan melihat dari balik jendela orang-orang yang mencari asal suara bising di sore hari yang begitu tenang.

"ada apaan?" abang-abang yang tinggal dikosan sebelah datang beramai-ramai.

"petasan. Gila. Ini kerjaan siapa!"

"me. Kamu di dalam?" mereka tahu Cuma aku penghuni didalam rumah.

Dokter keluar terlebih dahulu disusul aku yang keluar perlahan karena kaki yang belum sepenuhnya bisa diajak lari. Mereka menyerbu ke teras melihat aku benaran ada didalam. Katanya mereka melihat ada 2 orang motoran. Masuk pekarangan terus yang satu turun ngelempar petasan kemudian langsung kabur.

"kamu gak papa?" tanya salah seorang. Aku tak berniat menunjukkannya tapi aku sepertinya cukup pucat. Jantungku berdetak sangat kencang. Suara itu sangat mengagetkanku. Bagaimana kalau itu benaran bom? Apa tempat ini bahkan layak untuk didatangi teroris?

Si dokter merangkul bahuku dan menyuruhku duduk. Memandangi bekas petasan yang berserakan diteras kosan. Ditengah orang-orang yang ramai menduga-duga. Siapa yang begitu iseng melakukan ini?

Nabillah? Apa mungkin dia begitu nekat?

Beberapa hari ini dia memang menyumpahiku yang ditabrak tapi dia tak mungkin sebodoh itu melakukannya kalau tak ingin dicurigaikan? Hanya saja aku tak terpikirkan orang lain selain nabillah untuk saat ini.

Sore sabtu yang tenang langsung berubah heboh. Sepulangnya anak kosan membuat semuanya semakin heboh.

"meme dilemparin bom!" itu yang diteriakan Putri dihapeku.

Dia panic luar biasa dan marah aku tak menghubungi siapapun. karena itu, dia yang melakukannya. Menelpon semua orang dan bilang kalau aku baru saja di bom. Seharusnya dia menelpon tim gegana atau densus 88. Entah kenapa dia menelpon Garra.

"dia pacar kamu bego!" makinya padaku.

Anak itu tak muncul dengan cepat karena dia ada kumpul fotograpi dan datang berbarengan dengan Jedi sebagai rekan satu club. Farhan dan Miko yang sudah lebih dulu muncul menjadi pemberi detail.

"kamu sebaiknya ngungsi me." Mario, pacar Bianca yang jelas tertua diantara kami. Memberikan pendapat dengan sangat serius. Bianca langsung mendukungnya. Katanya aku bisa tinggal di rumah Mario kalau mau. Gadis itu mungkin tak sadar tapi Mario hampir terjungkang dari pinggir teras mendengarnya.

Ningrum belum selesai menangis. Dia dari tadi disebelahku dengan aku yang sibuk mencoba menenangkannya. Bukannya ini terbalik?

"kok ada ya kak orang sejahat itu..." isaknya. Ningrum kami yang baik hati. Aku ingin sekali bilang kalau ini Cuma petasan bukan bom jadi dia tak perlu buang-buang air mata. But well, dia menangis terlalu serius untuk ku cegah.

"me, kita cemas. Sebaiknya kamu benaran ngungsi dulu sebelum pelakunya tertangkap. Ini bukan Cuma iseng. Dia bisa aja ngelakuin yang lebih ekstrim lagi." aku Cuma memandangi Putri. Vina menyarankanku untuk pulang saja. Lagi pula aku belum akan masuk kuliah. Aku akan lebih aman dirumah.

Aku bahkan tak memberitahu siapapun apa yang kualami sekarang. Orang tuaku bisa pingsan ditempat. Mengelabui Naya bukan hal gampang. Aku yakin dia akan tahu sebentar lagi. Hanya saja, aku tak merasa ingin membuat mereka cemas. Demi apa, aku baru keluar dari rumah sakit atas nama gejala malaria. Kemudian masuk lagi sebagai korban tabrak lari. Sekarang, dilempari bom?

Memangnya aku kuliah dimana? Medan perang? Aku perlu ikut wamil.

"kamu bisa tinggal dirumah aku untuk sementara. Kamu bisa ajak teman. Dirumah aku cuma tinggal berdua tapi ada satpam yang jaga." Akhirnya Garra bicara.

"kenapa aku ke tempat kamu?"

"dia pacar kamu!" hardik Bianca. Aku melotot. Beraninya dia menghardikku?!

"me. Kita khawatir sama keselamatan kamu. Untuk sementara sebaiknya kamu ngungsi ketempat yang lebih aman." Jedi menyela membuatku bimbang.

Aku tak ingin merepotkan siapapun. Lagi pula aku yakin ini tak semenyeramkan yang mereka bayangkan. Ini Cuma petasan. Bukan bom. Tak semudah itu untuk menyewa pembunuh bayaran kan?

"kamu mau dilempar bom dulu baru mau nyelamatin diri?" Putri jelas marah. Dia bilang akan menyelamatkanku ke kuburan kalau sudah dilempar bom. Dengan sok dia mengabaikan pelototanku.

"kamu gak ngerepotin siapapun." Aku kira ini Jedi tapi ternyata Garra.

***

That time when we're together (completed)Where stories live. Discover now