Pp (Paint or Pain)

187 20 4
                                    


Keira baru saja duduk di atas kasur motif bintang dan berwarna biru tua itu. Ia kembali menatap sketsa-sketsa wajah Dikta di sana. Ada rasa tenang namun sakit disaat bersamaan.

Huh, gue kaku seperti coretan gue, batin Keira.

Entah kenapa, Keira teringat tiga tahun lalu saat menatap punggung Dikta tadi. Perasaan suka yang datang secara tiba-tiba membawa luka yang cukup membuatnya sadar. Bahwa cinta tak selamanya berakhir bahagia.

"Kei." Dina masuk sekenanya, tanpa mengetuk pintu. "Lo kok gak nungguin gue pulang tadi." Dina duduk di samping Keira.

"Gue pikir lo sama Zeyn."

Dina menggeleng, "Dia ada urusan." Perkataannya terdengar lemah membuat Keira mengangkat sebelah alisnya. Ada apa ini?

"Ama cewek lain?" tanya Keira, membuat Dina menoleh cepat.

"Nggaklah, nggak mungkin." Keira tertawa saat ia berhasil mengacaukan pikiran Dina.

"Eh, bantuin gue ya nyomotin ini semua," kata Keira, mencoba membuyarkan isi pikiran negatif Dina.

"Kenapa? Bukannya lo sayang sama cowok fiktif lo ini." Keira hanya menanggapinya dengan tertawa.

Keira bangkit dan mulai melepas satu persatu kertas gambar itu. Dina juga ikut membantunya.

"Emang kenapa sih harus di copot?" Dina sepertinya tidak puas dengan respon Keira tadi.

"Ng ... itu ..." Keira meletakkan satu sketsa di atas meja belajarnya. "Ibu mau ngecat ulang kamar ini."

"Oh," kata Dina. Tapi sepertinya ia masih berpikir mengenai alasan Keira tadi.

Satu persatu sketsa dengan berbagai ukuran itu berhasil dilepaskan. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Dina. Sebuah tanda 'D' di ujung bagian bawah kertas itu.

Selama ini, Dina hanya menduga-duganya. Tanpa tahu kalau orang yang Keira gambar ini beneran Dikta. Apa ia harus mengambil satu?

Semuanya sudah tertumpuk rapi di atas meja belajar. Dan dinding kamar Keira terlihat bersih walau masih ada sisa-sisa kertas gambar yang tertinggal.

Mereka kembali duduk di atas kasur lalu menatap dinding putih di sana. Kini kamar Keira terlihat lebih terang dari biasanya.

🌠🌠🌠

Dikta tahu, kalau Keira memang bersikap dingin kepadanya. Seperti pagi ini, saat Dikta menyapanya. Keira hanya tersenyum dan berlalu begitu saja.

Apa Dikta ingin dianggap?

Sepertinya mencairkan bongkahan es yang besar butuh waktu yang lama. Asal ada sesuatu yang membuatnya menghangat. Tapi jika bongkahan es itu tetap pada tempanya dan berusaha mempertahankan diri. Sampai kapanpun ia akan tetap seperti itu.

Dikta menatap Keira yang lagi membersihkan papan tulis. Ia menggoyangkan-goyangkan kaki berharap otaknya juga ikut bekerja. Keira sebenarnya kenapa? pertanyaan itulah yang ingin ia ketahui jawabannya.

Suasana kelas masih sepi dan tanpa disuruh, cowok itu berdiri lalu melangkah mendekat. Tanpa sadar Dikta sudah berada di belakangnya. Aroma bunga dari rambut hitam itu menyeruak masuk ke dalam hidung Dikta.

"Kei," panggilnya lembut. Keira secara otomatis berhenti, dengan tangan dan penghapus yang masih tertempel di papan tulis putih. "Gue ada salah sama lo ya?" Dikta dapat melihat kepala Keria menggeleng, walau cuma sesaat.

"Terus, kok lo bersikap dingin ke gue?"

Keira tidak pernah membayangkan bakal sedekat ini dengan Dikta. Tapi dalam suasana hati yang buruk. Ah ... sudahlah. Mungkin memang seharusnya begini. Atau saling memusuhi adalah cara yang terbaik untuk membuat Keira dah Dikta berpisah. Berpisah untuk tidak saling mengenal satu sama lain. Lebih dekat dari seorang teman.

The Hidden Feeling | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang