Tt (Though You're Not My Lover)

194 17 2
                                    


"Wah, Kei. Udah hampir jadi," kata Sisil yang lagi memandang ke arah dinding belakang mereka.

Sedangkan orang yang disebut malah diam. Ia sedang berpikir bagaimana caranya agar Dikta bisa kembali lagi ke tim inti. Gadis itu menghela nafas, Kenapa takdir selalu membuat dia dan Dikta terkena masalah? Apakah mereka memang tidak ditakdirkan untuk bersama?

"Hei, Kei." Sisil kembali ke kursinya, setelah puas memandangi lukisan itu. "Lo kayak bingung gitu, ada apa?"

Keira menggeleng, "Gak ada apa-apa."

Ada baiknya gue gak usah ngomong ini ke Sisil, gue gak mau ngerepotin dia kayak kemaren, ucapnya dalam hati.

Keira bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan keluar. Awalnya, Sisil ingin ikut tapi Keira bilang kalau ia di panggil Bu Aya. Entahlah, Sisil percaya atau tidak. Tapi ia berhenti mengikuti Keira.

Keira berjalan menyusuri lorong sambil menggenggam tangannya--sedikit meremasnya. Ia tahu kalau tidak baik berjalan seperti ini--mata tidak melihat jalan dan pikiran melayang kemana-mana.

Namun langkahnya terhenti, ketika melihat Dikta berbicara dengan seorang guru, sekitar lima meter di depannya.

"Dikta, katanya lo gak masuk tim inti buat pertandingan bulan depan."

"Iya, Pak." Dikta sedikit menunduk, ada rasa kecewa di raut wajahnya.

Pria itu memegang pundak Dikta, "Gak usah khawatir, Dikta. Bapak akan coba bicara sama Pak Aldo mengenai hal ini."

"Nggak perlu, Pak. Saya gak apa-apa, gak masuk tim inti." Dikta mencoba menguatkan dirinya sendiri, "Yang penting saya gak di keluarin, Pak," ucapnya, sedikit bercanda. Pria itu hanya tersenyum.

Sekali lagi pria itu menepuk-nepuk pundak Dikta, "Kamu harus semangat, bapak pergi dulu."

"Siap, pak." Ketika Dikta berbalik, ia terkesiap melihat Keira yang sudah berada di depannya.

Keira berjalan mendekat. "Dikta, lo gak usah khawatir, gue bakalan bantuin lo, supaya lo bisa masuk tim inti."

Dikta mengeryit heran. Hari belum terlalu siang, dan tidak mungkin Keira makan yang aneh-aneh hingga membuat otaknya jadi korslet. Ah ... mungkin tadi pagi, ia tidak sarapan, makanya sikapnya jadi aneh seperti ini.

"Lo makan apa tadi?" tanya Dikta.

"Huh, maksud lo?"

"Gue heran aja, tiba-tiba lo pengen bantuin gue." Dikta tersenyum. Astaga, jangan lagi! teriak Keira dalam hati.

"Emang gak boleh gue bantuin lo?"

"Boleh sih." Dikta manggut-manggut, "Asal lo gak keterusan aja, entar makin biasa. Kayak istri yang berusaha nyari kerja buat bantuin suaminya." Dikta terkekeh, namun hal itu malah tidak lucu bagi Keira. Itu lebih seperti gombalan receh yang tidak berhasil.

"Apaan sih, gue cabut duluan ah." Keira berlalu pergi.

Dikta geleng-geleng kepala melihat Keira yang berubah begitu saja, hanya karena ia menggodanya.

🌵🌵🌵

Seusai pulang sekolah, Keira mulai melanjutkan gambarnya. Namun pikirannya selalu tertuju pada Dikta. Beberapa kali ia harus memperbaiki warna yang rusak akibat ulahnya sendiri.

Dikta tidak ikut menemani Keira, ia berbohong ke Dikta kalau Keira hari ini tidak bisa melanjutkan gambarnya.

Keira turun dan mengambil sebuah kaleng putih. Karena Dikta tidak ada hari ini, mau tidak mau ia sendiri yang harus membuka cat itu. Ia tiba-tiba meringis kesakitan ketika ia mencoba membuka kaleng itu dengan jarinya. Lalu ia mencoba mencongkelnya dengan pena namun juga tidak bisa terbuka sedikit pun.

The Hidden Feeling | ✔Where stories live. Discover now